Sunday, March 16, 2014

Gerald

Honestly, I thought to write it in Bahasa, but I was pretty sure that it would be something cheesy. You know how much I hate anything cheesy, though if we took the bigger guts, we had to say that we were also being cheesy.

So, how's life? It has been a little bit long time since we didn't have our talk hours. Our lives have been hectic in their ways. That's fucked up, but who are we to always deny anything fucked up?

I suddenly think of that last September, when life threw its shits on us. When we got insane at what we faced. I remember the night when we finally talked about God and His plans on us. I just couldn't believe it, after our dirty-punk-weird talk, we decided to think of what God exactly wanted from us.

I think of some "what ifs". What if we didn't attend the same church? What if we didn't throw some comments on Facebook? What if we didn't go to different cities? What if we didn't decide to be friends?

Well, I guess that would be no this weird friendship story. I guess I wouldn't have a mate who sang me New Found Glory's Too Good to Be by phone, though it sounded a little bit - sorry - horrible. For God's sake, you have to admit that you don't have the brilliant voice.Then I guess I wouldn't have a man who emailed me a reminder to keep going to the church every Sunday. And maybe, I wouldn't read a tweet about how blessed yourself because of me. Yea, me. The fucked up me.

So, can I stop it before getting worse? Just take a really good care there. I miss you even more, I love you even bigger - as a mate, absolutely. I will never ever get crush on you, noted it.

Read More

Tuesday, February 18, 2014

Abang

Papa, aku punya seorang abang - tapi tak sedarah dengan kita. Ia tak pernah menendang-nendang perut mama dari dalam rahim yang ukurannya pun aku tak tahu. 

Aku bertanya macam-macam padanya, ia juga menjawab macam-macam. Kami bercerita ini dan itu, tertawa-tawa sambil sesekali mengisyaratkan kecewa pada sederet nama.

Papa, sudah lama aku tak berbicara dengan abang. Abang yang asli, yang sedarah dengan kita. Aku tak pernah rindu dia, besok-besok kami juga pasti bertemu. Sekarang kubiarkan saja dia sibuk dengan apa yang dikerjakannya. Toh, mau senyaring apapun suaraku juga tak akan didengarnya.

Sebentar lagi abang yang tak sedarah dengan kita itu akan punya anak kedua. Akan kubelikan buku dongeng, supaya nanti kalau sudah besar dia tak akan kaget mendengar omongan orang-orang yang tak ada habisnya. Supaya nanti kalau sudah besar matanya tak lagi mengerjap-ngerjap penuh harap pada kilau tawaran dunia.

Papa, berkenalanlah dulu dengan abangku yang satu ini. Meskipun tak memanggilmu "papa", tapi ia satu-satunya yang bilang; "Oalah, cepat sembuh ya," padaku.

Bandung, 18 Februari 2014
Read More

Saturday, February 15, 2014

60

Tadinya, aku juga tidak paham apa artinya 60. Angka 6 dan 0 yang diletakkan berdampingan, jadilah 60. 

Menurut numerologi yang entah apa maksud dan tujuannya, 60 itu berarti ibu dari segala angka. Angka yang berarti simbol dari prinsip mengemong, kepedulian. Katanya, 60 itu angka yang bekerja dan membangun, tugasnya menjaga harmoni.

Jenius-jenius teologi itu juga bilang kalau ada unsur manusia dalam 60. Angka 6 sering mereka terjemahkan sebagai angka manusia. Ingat ayat Alkitab kalau manusia diciptakan pada hari ke-6, bukan? Omongan mereka aku lanjutkan dengan melihat 0. 0 berarti kosong. Kata Tong Som Cong, kosong adalah berisi. Berarti 60 itu manusia kosong tapi ada isinya. Mungkin begini. Sejatinya, manusia itu tak ada apa-apanya, tapi bukan berarti ia tak bisa melakukan hal-hal yang bermakna.

Kalau ini omongan cendekia-cendekia Muslim. Kata mereka, saat berusia 60 tahun, Nabi Muhammad melaksanakan Haji Wada' yang disertai puluhan ribu umat Muslim dari entah berapa banyak suku dan kabilah yang telah memeluk Islam. Ia berangkat dari Madinah pada hari Sabtu tanggal 25 bulan Dzulqa'adah tahun ke-10 Hijriah. Aku pernah membaca kalau mereka meyakini bahwa tahun ini adalah tahun kemenangan Nabi Muhammad dan umat Muslim, pasalnya, di tahun ini mereka bisa melaksanakan ibadah haji dengan aman dan damai.

Astrologi Cina juga melihat peristiwa tadi lewat kacamatanya. Kalau tidak salah, ini bertepatan dengan tahun 631 Masehi, yang dalam kalender Cina berada dalam pengaruh shio kelinci berunsur logam emas. Mereka bilang dalam astrologi Cina, ini hanya terjadi dalam siklus 60 tahunan. Konon, orang akan memasuki tahun di mana shio dan unsurnya sama dengan shio dan unsur sewaktu mereka dilahirkan.  

Ah, membicarakan 60 saja sampai serumit itu. Dasar manusia-manusia kurang piknik! Itu istilah yang aku kenal dari Mas Zen, lengkapnya Zen Rachmat Sugito. Kamu tak perlu mengenalnya, dia hanya orang aneh yang mengingatkanku untuk selalu berpikir. Kurasa dia pun bukan orang yang menulis untuk dikenal di sana-sini. Mungkin di antara sekian banyak orang yang mengaku mengidolakan mendiang Pram, dia adalah bagian dari segelintir orang yang paham kalau seandainya mendiang Pram masih hidup - ia pun akan gulana sendiri melihat riuhnya gembar-gembor pengidolaan itu. Pram tak mau jadi idola, itu yang aku yakini. Tapi tunggu, sepertinya aku pun jadi kurang piknik.

Buatku, 60 itu sederhana saja. Ia memang angka biasa. Tapi terkadang hal-hal biasa juga jago dalam mengingatkan hal-hal tertentu.

Kamu tahu? Buatku, 60 itu berarti 15 tahun kita. Kita di sini tentu saja aku dan kamu. Aku yang membandel dan nekat melamar pekerjaan sebagai asisten manajer keuangan walau tak mahir menyembunyikan ke-4 tatoku. Aku dengan segala kedegilan yang tak mempedulikan "merokok membunuhmu". Aku yang menjadi tegar tengkuk tak mau berhenti menumpahkan kata demi kata di atas kertas - baik kertas secara harafiah, maupun kertas-kertas elektronik yang baru kelihatan wujudnya bila aku sudah mengisi paket internet bulanan. 

Tentang kamu, ya kamu. Kamu yang membuatku bertanya-tanya tentang apa yang sedang kamu terima sekarang, bahagia atau siksa. Hey, aku harap bukan kemungkinan yang terakhir. Kamu ya kamu, siapa lagi? Orang yang mengajariku tentang perasaan maha kurang ajar lagi memuakkan bernama rindu, yang teramat mahir membuat lidahku tak lagi terbiasa untuk mengucap kata "papa".

Ya sudah - bagaimanapun kamu sekarang - selamat jadi 60 tahun, Pa. Ternyata kamu dan Sócrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Oliveira dilahirkan pada tanggal yang benar-benar sama. Maaf karena aku tak menyimpan fotomu, maaf karena aku tak lulus kuliah.

Bandung, 19 Februari 2014




Read More

Saturday, February 1, 2014

Untuk Dua Perempuan

Hey perempuan pertama,

Datang juga harinya. Hari di mana kamu merasakan sendiri bagaimana rasanya menjadi seorang ibu, mama, bunda atau apapun namanya. Kamu masih kuat, bukan? Ah, pertanyaan bodoh. Aku tahu tak akan kamu jawab dengan "aku masih kuat". Aku tahu kamu akan menjawabnya dengan "aku semakin kuat".

Kalau boleh jujur, hari ini aku membayangkan rasanya menjadi kamu. Tapi nyatanya aku tak sanggup. Mungkin terkadang hal yang berkodrat untuk dirasakan memang tak berjodoh dengan dibayangkan. 

Sore ini aku kembali menggauli kopi pahit yang menjadi kesukaanku. Pekat sekali. Lucu juga waktu menyadari kalau aku bisa begitu menyukai cairan sepahit dan sepekat ini. Tapi kamu tahu, RW, pahitnya kopi selalu ampuh untuk menghilangkan kantukku. Gejala biologis kurang ajar yang tak jarang membuatku tak teliti dalam menuliskan sebuah kata dan terlambat dalam mengejar tenggat waktu pekerjaan. 

Oh, bukan. Aku bukannya akan memetaforkan pahitnya kopi dengan kalimat-kalimat moralis semacam itu. Aku pun muak dengan moral, RW. Muak sekali. Aku tak akan melanjutkan cerita kopi tadi dengan kalimat "rasa pahit itu akan membuatmu terjaga dan tak jatuh dalam kesalahan masa lalu". Sepahamku, RW, kamu adalah perempuan tangguh yang percaya bahwa kehidupan adalah hak bagi siapapun. Termasuk bayi cantik yang tadinya bersemayam dalam tubuhmu itu. Kamu menantang malu, menghajar tragedi dengan berani. Tak peduli langkahmu yang terseok-seok, kamu tetap melawan bandit-bandit itu walau tak berbekal senjata canggih. 

Yang mau aku sampaikan, sama seperti pahitnya kopi tadi, pahit dan pekat yang kamu rasakan akan membuatmu tetap terjaga. Lantas sanggup melihat dan merasakan sendiri cinta dari orang-orang yang bahkan belum pernah kamu dengar namanya.

Kamu mau membaca pengakuanku? Aku tak pernah membayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang ibu. Merasa pantas pun tidak. Aku perempuan yang gagal menjaga ini dan itu. Tapi, RW, sekarang kamu adalah seorang ibu. Benar-benar seorang ibu. Setahuku, ibu itu begitu mulia. Sepahamku, cinta itu berpihak pada sebentuk kemuliaan.

Jangan pernah takut apalagi jijik dengan cinta, RW. Buat apa? Toh, Tuhan sendiri yang berkata kalau cinta itu tak pernah gagal - karena cinta itu adalah Tuhan sendiri.

Kamu, RW, berbahagialah dengan segala cinta yang kamu dapat dari orang-orang yang tak peduli dengan nama lengkapmu - orang-orang yang tak peduli seperti apa wajahmu, orang-orang yang peduli bahwa kamu adalah manusia yang tak pantas diinjak-injak oleh apa dan siapapun.

Jadi, sekarang istirahatlah, kadang kebahagiaan itu membuat lelah. Selamat menjadi seorang ibu, selamat berbahagia dan membahagiakan. Peluk, cium dan cinta untukmu.


Hey perempuan kedua,

Aku penasaran dengan tangis pertamamu. Kalau aku ada di sana, mungkin aku akan segera berlari ke toilet. Ikut menangis di dalam bilik yang aku kunci pintunya. Aku tak berharap kalau tangisanmu akan serupa genderang perang di telinga moralis-moralis palsu itu. Aku berharap tangisanmu serupa nyanyian merdu yang menyejukkan telinga mereka yang diinjak-injak atas nama moral. Telinga-telinga yang sebenarnya juga merindu ketulusan dan nihilnya ucapan pura-pura.

Kita sama-sama perempuan. Suatu saat kamu akan ikut mengamini kalau menjadi perempuan itu tak mudah. Dikekang sana-sini, dijadikan boneka atas nama moral, agama, etika bahkan yang paling memuakkan, kebaikanmu sendiri. Nanti, kamu akan melihat seperti apa hidup itu. Tak semenyenangkan dongeng-dongeng pengantar tidurmu. Tapi kamu juga harus tahu, hidup itu tak semurahan kepalsuan mereka yang menghakimimu. Jadi berbahagialah karena kamu sudah menerima kehormatan bernama kehidupan.

Apa kata-kataku menakutimu? Jangan takut. Hidup itu memang kurang ajar, tapi kamu tak perlu menjadi kurang ajar untuk menghadapinya. Jadilah kuat dan berani. Dengan menjadi demikian, segala kekurangajaran itu akan ciut nyali dan takluk padamu. 

Kamu, bayi perempuan yang baru lahir, kamu lahir dengan begitu banyak cinta. Cinta yang membuat orang-orang tak perlu tahu namamu untuk ikut mendoakanmu. Aku dan mereka tak perlu hafal bentuk wajahmu untuk ikut menjagamu, tak perlu menjadi sedarah denganmu untuk ikut berbahagia atas kehadiranmu.

Kamu, bayi perempuan yang baru mengeluarkan tangisan pertamamu, kamu itu begitu murni dan ibumu begitu mulia. Kalian perpaduan sempurna yang menjadi bukti tentang sehebat apa cinta yang tak bersyarat itu.

Sekarang sudah malam. Kamu tidurlah yang nyenyak. Semoga nanti aku, kamu dan ibumu bisa menghabiskan sore dengan minum kopi bersama. Tapi sekarang kamu jangan minta kopi, susu adalah yang terbaik untukmu. Dan kalau kita bertemu nanti, berjanjilah kamu tak akan memanggilku tante. Aku tak suka, rasanya terlalu tua. Panggil Marini saja, itu namaku. Atau kalau kamu mau, Incun juga boleh. Itu panggilan aneh yang jadi kesayanganku. Nanti aku akan mengajakmu menonton sepakbola, kita akan bersenang-senang. Saranku, jangan mau menjadi penggemar AC Milan sepertiku, itu klub yang payah - tapi entahlah nanti.

Jadi, selamat datang ke dunia. Peluk, cium dan cinta untukmu.

Bandung, 1 Februari 2014
Read More

Friday, January 31, 2014

Kami, Pukul Lima Sore

Mereka itu teman-temanku, tapi kau diam saja.
Jangan bilang orang lain, nanti mereka berkhotbah
sampai mulutnya berbusa-busa. Capek aku mendengarnya.

Kata mama, dulu papa mati karena teman-temanku itu.
Lalu dia menangis meraung-raung,
tak berhenti-berhenti sampai dua tahun.

Setiap sore aku bersama mereka.
Kami diam saja; tanpa suara.
Buat apa bersuara? Toh, mereka pun tahu kalau suaraku sumbang.

Yang aku lihat, suara itu hanya milk yang rupawan.
Kalau aku yang bersuara, nanti bakal diarak lagi keliling kampung,
seperti orang gila. Sudah dihina, dilempari pula.

Cih.

Sebentar lagi pukul lima, kau pulang sajalah.
Teman-temanku sudah mau datang, nanti kau jijik.
Karena biasanya mereka akan berubah jadi abu dan ampas.

Kalau aku jadi apa, katamu?
Jawablah sendiri, kau kan pintar.

Bandung, 31 Januari 2014
Read More

Sunday, January 26, 2014

Menulis yang Kamu Sampaikan



"Biarkan sejarawan mereka yang menulis, kalau aku yang menulis, terkesan bukan ranahnya.  Itu saja.”


Kalimat ini muncul pada fitur pesan singkat ponselku. Nama pengirimnya namamu. Kubaca sekali dua kali, kututup fiturnya. Kubuka, kubaca tiga empat kali. Kututup. Begitu selama lima sampai enam menit. Di menit ketujuh dan delapan aku mencoba mempersetankannya, tapi gagal. Jadi kuputuskan untuk menyimpan pesanmu itu. Di tempat tersembunyi, supaya tak terbaca orang lain. Tapi kalau dipikir-pikir, dibaca orang lain pun tak apa-apa. Toh, mereka tak tahu siapa namamu. Toh, mereka tak paham seperti apa kamu buat – ah, tak perlulah kutulis buat siapa.

Seorang penulis pernah berbicara seperti ini. Urusan pembaca adalah mengekalkan ingatan pada apa yang mereka sukai. Sebaliknya, urusan penulis adalah menghapus ingatan dari apa-apa yang sudah ia bikin. Entah id, entah ego – yang jelas, ada iming-iming akan kenikmatan menjadi pengadu pikiran. Pengadu pikiran lewat permainan kata dan pendiktean makna, yang konyolnya hanya menghidupi penalaran dengan menjadi seorang penyembah selera. Kalau kataku, tuhan yang ia ciptakan sendiri.

Percaya saja kalau aku tak tertampar dengan pesan singkatmu tadi. Aku hanya berpikir, kalau sejatinya kita sering berdebat atas dasar yang lemah. Mungkin sebenarnya tak ada perbedaan pendapat. Kita tak pernah benar-benar paham berpendapat karena sebenarnya kita tak pernah bergaul karib dengan dasarnya. Yang ada hanya perbedaan selera. Lantas menyembunyikan selera di balik logika. Dan apalah muara dari urat leher yang menegang dan tangan yang kaku tanpa kepala yang dingin? Aku pikir, kesia-siaan belaka. 

Tapi jangan kamu pikir aku menganggap kalau memiliki selera itu salah, apalagi meyakini kalau menjaga selera itu tak berbeda dengan menghidupi sebentuk laknat. Bukan seperti itu. Mungkin yang salah hanya kita yang menempatkan selera bukan pada ranahnya. Meyakini kalau kebenaran dan selera bisa bermukim pada tanah yang sama.

Ah, aku pikir aku tak perlu berpanjang-panjang di sini. Kata temanku, terkadang kata bisa mempersingkat makna. Jadi, tolong sampaikan salamku pada Mba Rita, juragan pomade itu. Bilang padanya, aku tak sabar makan es krim di Ragusa. 
Bandung, 26 Januari 2014
Read More

Tuesday, January 21, 2014

Kopi dan Yang Terpenting

Aku ingat cerita sekitar empat belas tahun lalu. Waktu itu aku masih bersekolah di kelas satu sekolah menengah pertama. Mendiang papa memintaku untuk membuatkannya kopi sebagai sajian pulang kerja. Aku menurut saja, tanpa memperdulikan takaran seberapa banyak kopi, seberapa banyak gulanya. Bukannya tak pernah mempertanyakan seberapa manis atau seberapa kental kopi yang menjadi seleranya. Katanya, ia tidak peduli dengan hal-hal semacam itu. Buatnya yang terpenting, kopi itu tidak diseduh - tapi direbus bersamaan airnya. Kata papa, rasanya bakal lebih nikmat. Aromanya juga lebih harum. “Dek, yang terpenting bukan rasa pahit atau kekentalannya, tapi matang atau tidaknya.”

Mana aku tahu apa enaknya kopi waktu itu. Aku pernah mencicipinya. Kubilang padanya rasanya tak enak. Dia tersenyum saja. Kalau dia masih hidup sampai hari ini, mungkin dia bakal menjadi teman minum kopi terbaik. Tidak selalu menyenangkan memang. Tapi sama seperti dia yang selalu menjadi tempat aku melihat tidak perduli seberapa tinggi aku tumbuh, rasa-rasanya kalau saja bisa terjadi – acara minum kopi kami akan seperti itu.

Aku ingat tentang pesan singkat yang aku terima pada 24 Juli 2012. Dari sahabat. Dia laki-laki yang menyenangkan sekaligus menyebalkan. Tapi jangan tanya seberapa besar aku menyayanginya. Aku pernah mencoba mengira-ngira tentang ukuran rasa sayang itu. Pada akhirnya, aku tak perduli. Sama seperti mendiang papa yang tak pernah perduli dengan takaran kopi dan gulanya.

Pesan singkat itu aku terima di tengah-tengah jam kerja yang memuakkan. Isinya seperti merengek, seperti mengadu. Dia bilang, dia ingin minum kopi dan merokok bersamaku. Ingin tertawa-tawa, butuh semangat – katanya. Lantas dia menyalahkanku. Katanya aku terlambat datang ke kehidupannya.

Kalau aku pikir-pikir benar juga, kami berdua baru menjadi akrab di hari-hari menjelang kepindahannya ke pulau lain. Jujur, menyesal juga karena aku tidak mengenalnya dari dulu. Tapi kujawab begini saja; “Kalau aku memang datang terlambat di kehidupanmu, itu memang salahku. Tapi yang terpenting, aku datang dan kamu tetap menerima tanpa perduli seberapa lama keterlambatanku.” Dia tak membalas, tapi aku yakin dia juga setuju.

Malam hari tanggal 10 Januari 2014, aku menemukan paket di depan pintu kamar kosku. Begitu aku buka, ada kopi di dalamnya. Pesan yang diselipkan di dalamnya sudah pernah aku tulis. “Katanya, kopi itu seperti hidup. Pahit, tapi harus tetap dinikmati. Well... Selamat berbahagia – dengan kopi!!” Aku memang aneh. Waktu pertama kali membacanya aku sedikit menyayangkan kata “well”. Waktu itu aku pikir, kalau Bahasa Indonesia ya Bahasa Indonesia saja. Buat apa dicampur-campur?


Tapi malam itu aku baru saja menolak apa yang aku pikir sebagai hal yang aku mimpi-mimpikan dalam sepuluh tahun belakang. Malam itu aku baru saja menolak untuk meninggalkan hal yang sebenarnya memberikan banyak kebahagiaan buatku demi sebuah nama besar. Apa yang aku tolak adalah hal yang sebenarnya tak buruk. Hal yang sanggup membuatku paham dengan standar ini dan itu. Mungkin aku akan menjadi pintar, mungkin akan ada banyak orang yang melihat apa yang aku buat bersama mereka. Tapi buat apa kalau aku kehilangan kebahagiaannya? Memang bodoh, namun aku juga mempertanyakan pintar itu seperti apa. Lagipula, buat apa pintar kalau tak bahagia?

Jadi setelah memikirkan hal-hal remeh seperti itu, aku tak ambil pusing lagi dengan bahasa campur aduk tadi. Yang terpenting aku senang saat menerima dan membacanya. Yang terpenting, aku punya tulisan tangannya. Kesenangan yang aneh memang, tapi apa boleh buat karena memang seperti itu.

Pagi ini aku meneguk kopi pagiku sambil menikmati rokok kesukaan. Kalau dipikir-pikir, belakangan aku mulai jarang menulis. Jam kerja yang padat dan beban kerja yang menumpuk benar-benar menguras energi. Saat energi benar-benar terkuras, menulis pun bisa menjadi ketakutan. Bagaimana kalau otakku tak sanggup berpikir? Bagaimana kalau hasilnya tak logis? Bagaimana kalau tak ada isinya? Bagaimana kalau aku hanya menulis emosi? Bagaimana kalau tulisanku gagal?

Air untuk kopi pagi ini aku rebus dengan pemanas listrik. Rasanya tak seenak kalau dimasak dengan kompor apalagi tungku kuno. Tapi pada kenyataannya aku tetap meneguk kopi pagiku dengan segala kenikmatannya yang tak sempurna. Karena yang terpenting, kopi panasnya tetap ada. Karena yang terpenting, hal yang terpenting itu masih ada padaku.

Bandung, 21 Januari 2014
Read More
anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena