Saturday, February 1, 2014

Untuk Dua Perempuan

Hey perempuan pertama,

Datang juga harinya. Hari di mana kamu merasakan sendiri bagaimana rasanya menjadi seorang ibu, mama, bunda atau apapun namanya. Kamu masih kuat, bukan? Ah, pertanyaan bodoh. Aku tahu tak akan kamu jawab dengan "aku masih kuat". Aku tahu kamu akan menjawabnya dengan "aku semakin kuat".

Kalau boleh jujur, hari ini aku membayangkan rasanya menjadi kamu. Tapi nyatanya aku tak sanggup. Mungkin terkadang hal yang berkodrat untuk dirasakan memang tak berjodoh dengan dibayangkan. 

Sore ini aku kembali menggauli kopi pahit yang menjadi kesukaanku. Pekat sekali. Lucu juga waktu menyadari kalau aku bisa begitu menyukai cairan sepahit dan sepekat ini. Tapi kamu tahu, RW, pahitnya kopi selalu ampuh untuk menghilangkan kantukku. Gejala biologis kurang ajar yang tak jarang membuatku tak teliti dalam menuliskan sebuah kata dan terlambat dalam mengejar tenggat waktu pekerjaan. 

Oh, bukan. Aku bukannya akan memetaforkan pahitnya kopi dengan kalimat-kalimat moralis semacam itu. Aku pun muak dengan moral, RW. Muak sekali. Aku tak akan melanjutkan cerita kopi tadi dengan kalimat "rasa pahit itu akan membuatmu terjaga dan tak jatuh dalam kesalahan masa lalu". Sepahamku, RW, kamu adalah perempuan tangguh yang percaya bahwa kehidupan adalah hak bagi siapapun. Termasuk bayi cantik yang tadinya bersemayam dalam tubuhmu itu. Kamu menantang malu, menghajar tragedi dengan berani. Tak peduli langkahmu yang terseok-seok, kamu tetap melawan bandit-bandit itu walau tak berbekal senjata canggih. 

Yang mau aku sampaikan, sama seperti pahitnya kopi tadi, pahit dan pekat yang kamu rasakan akan membuatmu tetap terjaga. Lantas sanggup melihat dan merasakan sendiri cinta dari orang-orang yang bahkan belum pernah kamu dengar namanya.

Kamu mau membaca pengakuanku? Aku tak pernah membayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang ibu. Merasa pantas pun tidak. Aku perempuan yang gagal menjaga ini dan itu. Tapi, RW, sekarang kamu adalah seorang ibu. Benar-benar seorang ibu. Setahuku, ibu itu begitu mulia. Sepahamku, cinta itu berpihak pada sebentuk kemuliaan.

Jangan pernah takut apalagi jijik dengan cinta, RW. Buat apa? Toh, Tuhan sendiri yang berkata kalau cinta itu tak pernah gagal - karena cinta itu adalah Tuhan sendiri.

Kamu, RW, berbahagialah dengan segala cinta yang kamu dapat dari orang-orang yang tak peduli dengan nama lengkapmu - orang-orang yang tak peduli seperti apa wajahmu, orang-orang yang peduli bahwa kamu adalah manusia yang tak pantas diinjak-injak oleh apa dan siapapun.

Jadi, sekarang istirahatlah, kadang kebahagiaan itu membuat lelah. Selamat menjadi seorang ibu, selamat berbahagia dan membahagiakan. Peluk, cium dan cinta untukmu.


Hey perempuan kedua,

Aku penasaran dengan tangis pertamamu. Kalau aku ada di sana, mungkin aku akan segera berlari ke toilet. Ikut menangis di dalam bilik yang aku kunci pintunya. Aku tak berharap kalau tangisanmu akan serupa genderang perang di telinga moralis-moralis palsu itu. Aku berharap tangisanmu serupa nyanyian merdu yang menyejukkan telinga mereka yang diinjak-injak atas nama moral. Telinga-telinga yang sebenarnya juga merindu ketulusan dan nihilnya ucapan pura-pura.

Kita sama-sama perempuan. Suatu saat kamu akan ikut mengamini kalau menjadi perempuan itu tak mudah. Dikekang sana-sini, dijadikan boneka atas nama moral, agama, etika bahkan yang paling memuakkan, kebaikanmu sendiri. Nanti, kamu akan melihat seperti apa hidup itu. Tak semenyenangkan dongeng-dongeng pengantar tidurmu. Tapi kamu juga harus tahu, hidup itu tak semurahan kepalsuan mereka yang menghakimimu. Jadi berbahagialah karena kamu sudah menerima kehormatan bernama kehidupan.

Apa kata-kataku menakutimu? Jangan takut. Hidup itu memang kurang ajar, tapi kamu tak perlu menjadi kurang ajar untuk menghadapinya. Jadilah kuat dan berani. Dengan menjadi demikian, segala kekurangajaran itu akan ciut nyali dan takluk padamu. 

Kamu, bayi perempuan yang baru lahir, kamu lahir dengan begitu banyak cinta. Cinta yang membuat orang-orang tak perlu tahu namamu untuk ikut mendoakanmu. Aku dan mereka tak perlu hafal bentuk wajahmu untuk ikut menjagamu, tak perlu menjadi sedarah denganmu untuk ikut berbahagia atas kehadiranmu.

Kamu, bayi perempuan yang baru mengeluarkan tangisan pertamamu, kamu itu begitu murni dan ibumu begitu mulia. Kalian perpaduan sempurna yang menjadi bukti tentang sehebat apa cinta yang tak bersyarat itu.

Sekarang sudah malam. Kamu tidurlah yang nyenyak. Semoga nanti aku, kamu dan ibumu bisa menghabiskan sore dengan minum kopi bersama. Tapi sekarang kamu jangan minta kopi, susu adalah yang terbaik untukmu. Dan kalau kita bertemu nanti, berjanjilah kamu tak akan memanggilku tante. Aku tak suka, rasanya terlalu tua. Panggil Marini saja, itu namaku. Atau kalau kamu mau, Incun juga boleh. Itu panggilan aneh yang jadi kesayanganku. Nanti aku akan mengajakmu menonton sepakbola, kita akan bersenang-senang. Saranku, jangan mau menjadi penggemar AC Milan sepertiku, itu klub yang payah - tapi entahlah nanti.

Jadi, selamat datang ke dunia. Peluk, cium dan cinta untukmu.

Bandung, 1 Februari 2014

0 comments:

Post a Comment

anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena