Tuesday, July 29, 2014

Belakangan

Belakangan aku semakin merasa aneh. Aneh karena semakin menyadari kalau aku mulai jenuh menjadi orang aneh. Dulu aku selalu bangga saat dicap aneh, tapi akhir-akhir ini aku ingin hidup normal. Tak membutuhkan kejutan di sana-sini. Tak perlu yang aneh-aneh. Tak jarang pula aku mendapati aku yang gerah dengan orang-orang yang melihatku dengan aneh. Rasanya aku mulai muak dengan ambisi untuk menjadi orang yang benar-benar berbeda. Atau barangkali aku hanya menyadari kalau aku menjadi orang aneh yang dibuat-buat, berusaha terlalu keras untuk menutupi apa-apa yang sebenarnya tak pernah bisa aku dapatkan.

Belakangan aku semakin cepat muak. Aku muak saat berpikir soal tulisan, aku muak saat menulis. Muak pula saat menunggu tulisanku diangkat. Padahal aku sudah punya kolom sendiri. Padahal editorku bilang aku pantas punya akun di media sosial yang menjadi wadah para pembaca tulisan-tulisanku mengumbar puja-puji atau sekadar menyapa. Belum lagi pimpinan portal tempat aku menulis yang berkata kalau mereka beruntung memiliki penulis sepertiku. Ah, belakangan aku semakin sulit membedakan pujian dan olok-olok.

Belakangan aku ingin menyiram muka satu-dua-tiga orang dengan campuran cuka, garam, dan potongan cabai rawit. Aku muak juga. Entah apa salah orang yang tak mau kusebutkan namanya. Bolehlah mereka tak suka dengan tulisannya. Bolehlah mereka bilang buku yang berisi tulisan-tulisan lamanya sebagai sampah belaka. Boleh, toh, itu hak mereka. Bolehlah mereka bilang kalau subyektivitas itu tak ada. Kalau ada, tak akan mungkin ada penghargaan sastra. Tapi, bukankah satu orang dari mereka juga menulis buku yang serupa? Lantas, mengapa tak dibilang sampah? Tunggu, ini bukan perkara hutang budi. Ini hanya menyoal aku yang mulai meragukan frasa "adil sejak dalam pikiran" yang termahsyur itu.

Belakangan aku sering bertindak konyol. Bermain perasaan dengan laki-laki yang usianya lebih muda tiga tahun, tidak suka membaca, tidak tertarik pada sepak bola, tidak pernah berharap untuk bisa menulis. Laki-laki yang seperti laki-laki lainnya. Menyukai sepatu bermerek, pekerja kantoran, suka pening bila melihat perempuan cantik, lupa daratan jika sedang mengulik lagu. 

Belakangan aku semakin sering mengkhianati kesepakatan yang kubuat dengan diri sendiri untuk tak bermain-main dengan laki-laki membosankan seperti itu. Melupakan mereka yang menulis, tergila-gila pada sejarah, menggilai pesona sepak bola, mengacuhkan mobil-mobil mewah lantas memberikan perhatian lebih kepada buku-buku langka. Bahkan, belakangan aku semakin tak bosan pada herosime tahi kucing. Membelanya mati-matian, mengusahakan apa-apa yang paling baik buatnya.

Belakangan aku semakin merasa tak nyaman. Belakangan aku semakin sering rindu. Ah, sontoloyo.

Read More
anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena