"There are very few Paolo Maldini’s in world football, much fewer than there ever has been." - Sam Lewis
Entah apa yang ada di dalam pikiranku pada 24 Januari 14 tahun yang lalu. Yang jelas
aku hanya menurut sewaktu orang yang beberapa bulan setelah tanggal itu memulai
kehidupannya yang baru mengajakku untuk menyaksikan salah satu tontonan yang
tak berarti apapun bagi sebagian orang, namun pada akhirnya menjadi salah satu
bagian besar buat hidupku. Jujur saja, pada awalnya aku membenci hal ini.
Baiklah, mungkin tidak sebenci itu hanya tidak tertarik sama sekali. Entah karena
karma atau cuma kebetulan atau memang sudah demikian jalannya, akhirnya aku
mulai menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana menakjubkannya hal
itu. Sebagian besar orang menyebut hal itu sepakbola, olahraga 90 menit yang
melibatkan 2 tim dan beberapa orang lainnya. Awalnya aku juga berpendapat sama,
namun lama kelamaan sepakbola bukan hanya menjadi sekedar olahraga dan tontonan
buatku. Sepakbola tidak melulu berbicara soal permainan 90 menit ataupun
berbagai aksi untuk memasukkan bola ke gawang lawan. Sepakbola pada akhirnya
tumbuh dengan berbagai makna yang jujur, cukup kompleks untuk aku jabarkan. Yang jelas
saat 90 menit itu berlangsung, aku tidak lagi merasa menjadi seorang penonton
yang duduk diam di depan televisi. Atmosfer 90 menit itu menjadi sangat nyata,
senyata rasa gurih keripik kentang yang menjadi teman selama pertandingan
berlangsung, senyata omelan mama yang semakin menjadi karena melihat anak
perempuannya lebih memilih untuk menonton sepakbola dibandingkan tayangan lain
yang mungkin lebih cocok untuk anak perempuan, senyata rasa cemas yang kerap
muncul saat pihak lawan mulai mendominasi pertandingan.
This is football! |
Ada begitu banyak pahlawan
lapangan hijau yang mampu membuatku melupakan rasa muak saat dituntut untuk
selalu menjadi yang pertama di sekolah. Ya, di sekolah bukan di kelas. Fabio Cannavaro, Sinisa
Mihajlovic, George Weah, Raul Gonzales, Le Tissier, Pavel Nedved, Alvaro Recoba, Robbie Fowler, Alan Shearer, Paolo Maldini, Zinadine Zidane, Dwight Yorke. Ah cukuplah,
sebelum tulisan ini terlalu penuh dengan nama mereka. Namun nama ke-3 dari
belakanglah yang paling memberikan pengaruh besar buatku. Di saat anak
perempuan seusiaku yang lain sibuk berkhayal menjadi oh-so-fairytale-princess, aku justru terlalu sibuk berandai-andai
bagaimana rasanya beraksi di lapangan hijau bersama dia yang mengenakan jersey
merah-hitam bernomor punggung 3 itu. Sewaktu anak perempuan lain mengisi
waktunya dengan bermain Barbie dan sejenisnya, aku mengisi waktu luang dengan
bermain sepakbola di halaman rumah bersama teman-teman sekelas kakak (2 menit) laki-lakiku sambil
mendengar teriakan mama yang menyuruhku untuk segera masuk ke dalam rumah.
Sewaktu anak perempuan lainnya meminta baju baru sebagai hadiah ranking 1, aku
meminta jersey merah-hitam lengkap dengan nama “Maldini” dan nomor punggung 3
sebagai hadiah. Orang yang aku mintai hanya tertawa, lalu mengiyakan setelah
menceritakan permintaanku kepada seluruh teman kerjanya. Tidak ada alasan
baginya untuk menolak, karena dia yang pertama kali membuatku melirik ke arah
televisi saat laga 90 menit itu berlangsung. Toh, dia juga senang karena anak
perempuannya juga menyukai apa yang dia sukai. Setidaknya dari sederetan
catatan family time yang buruk, ada
sedikit waktu-waktu manis yang sempat kami rasakan sendiri. Walaupun ternyata
dia tak pernah sempat membuatku tertawa bangga saat mengenakan jersey bernomor
punggung 3 itu, karena 3 hari setelahnya dia harus melanjutkan hidupnya yang baru.
Ah, lagi-lagi angka 3.
Paolo Maldini, the way I define how the class should be. |
Aku
bersyukur karena menjadi salah satu dari mereka yang menggilai sepakbola sejak
tahun 90-an. Tahun di mana ada begitu banyak nama besar, tahun di mana Paolo
Maldini semakin menunjukkan kualitasnya sebagai defender papan atas dari klub papan atas. Aku menjadi salah seorang
yang paling berbahagia saat melihatnya berhasil memimpin Milan meraih scudetto musim 1998-1999. Gelar pertama yang aku lihat sebagai
seorang pecandu sepakbola, gelar pertama yang aku lihat sebagai pengagum Il Capitano. 9 Agustus 2000, UEFA
Champion League saat Milan
harus menjamu Dinamo Zagreb – Maldini mempertontonkan salah satu tackle terbaik yang pernah aku lihat.
Merebut bola dari seorang Bosko Balaban yang kala itu bersiap untuk menyerang and it just freezed him that way. Dan bayangkan
sendiri apa yang aku rasakan saat melihatnya bertanding di laga final UEFA
Champion League 2005, saat ia menjadi pencetak gol tercepat dan tertua karena
hanya membutuhkan waktu 51 detik untuk membuat Rossoneri memimpin walaupun kalian juga paham bagaimana akhirnya. Zinadine Zidane, Diego Maradona, Ronaldo, Thierry Henry dan Rivaldo adalah sebagian kecil nama yang pernah merasakan sendiri the way he defended. I guess he made some best goals didn't look interesting by the way he defended. Belum lagi rasa bangga, haru dan respect saat membaca artikel tentang gelar "World Player of the Year" yang dianugerahkan World Soccer magazine untuknya, karena sampai musim panas tahun 1994 ia telah 3 kali mengangkat European Cup trophy dan memimpin Azzurri ke final Piala Dunia. Bukannya bermegah diri, saat itu ia malah membeberkan kekurangannya sebagai pesepakbola dan mempersembahkan gelar tersebut kepada Franco Baresi. Ah, legend.
We'll see ya! |
Buatku
nama Paolo Maldini tidak melulu soal defender,
tidak melulu soal Il Capitano ataupun
legenda dengan sejumlah rekor yang belum terpecahkan. Contoh nyata dari sebuah
loyalitas dan profesionalisme, bukti hidup dari sebuah kepemimpinan dan mental
juara. Melihat penampilan terakhirnya dalam laga perpisahan yang berakhir
dengan kemenangan 2-0 atas Fiorentina membuatku berpikir tentang apa yang
sebenarnya membuat seorang Paolo Maldini terlalu istimewa jika dibandingkan
dengan pesepakbola lainnya. Satu-satunya pesepakbola dengan kenangan personal
yang membuatku feel so connected with
someone really dear to me. Satu-satunya pesepakbola yang mampu mengalahkan
imajinasi-imajinasi fairytale
yang menjadi ciri khas anak perempuan seusiaku waktu itu, yang ada hanya
imajinasi bagaimana luar biasanya saat berada di dalam satu lapangan yang sama
dengannya atau paling tidak menontonnya bermain secara langsung. Ya, paling
tidak menontonnya bermain secara langsung. Langsung, di tribun penonton, tanpa layar
kaca, tanpa satelit. I want to feel that
breathless moment when I see him shows his magical tackle. Dan semoga apa
yang kudengar bukan hanya isapan jempol belaka. Semoga aku
benar-benar sedang berada dalam hitungan hari sebelum menyaksikan dengan
mata kepalaku sendiri bagaimana keajaiban seorang Paolo Maldini. Ya semoga,
tapi kalaupun belum - suatu saat pasti
akan tiba waktunya.
PS: Hey, have you
watched football too there? You have been missed, you have been loved.