Monday, February 25, 2013

Hail Mr. President!

"The difference between you and me is that, if tomorrow there was no more money in football, I'd still be here but not you." - Arsene Wenger

Sepakbola bukan tentang uang ataupun kekuasaan, bukan tentang menjadikan apa yang kalian miliki sebagai hal yang terutama. Sepakbola tentang apa yang kalian lakukan di lapangan hijau, tentang apa yang kalian pelajari dengan bola di atas kaki kalian. Ini yang aku yakini selama 14 tahun belakangan. Sepakbola adalah miniatur dari kehidupan itu sendiri, tentang pertandingan yang tidak akan berakhir sampai peluit panjang berbunyi, baik yang dibunyikan oleh dia yang berhak untuk mensahkan dan menganulir sebuah gol ataupun Dia yang berhak untuk membawa kalian (dan aku) ke kehidupan yang seperti apa.
Aku sendiri tidak paham bagaimana pria itu datang pertama kalinya. Mungkin saat itu dia belum mengendarai helikopter pribadinya, mungkin kedatangannya tidak terlalu mencolok. Tapi yang pasti, dia datang dengan berbagai hal yang mungkin masih belum mampu diterima oleh sebagian besar orang yang berkecimpung dalam sepakbola. Bukannya bermaksud menyinggung suatu agama tertentu, but I guess he came like when Jesus came into the front of the Scribes for the first time. Ada banyak dahi yang berkerut di awal kedatangannya. Ada sejumlah hal tak biasa yang terselip rapi di dalam tas kerjanya, ada catatan-catatan penuh kontroversi yang tersimpan rapat dalam saku jas ala mafia negeri pizza kebanggaannya.

Seriously? Was that you, Sir?
Yang jelas dia datang atas nama misi penyelamatan. Semacam menjadi juruselamat bagi klub adidaya yang kala itu tengah terseok-seok akibat tersandung masalah klasik yang tak pernah menjadi klasik. Kondisi darurat yang dialami Milan seperti menjadi pintu yang terbuka lebar bagi pebisnis yang tumbuh dari kalangan menengah ini. Entah apa yang merasukinya, tapi tak jauh berbeda dengan penjudi papan atas ia bersikukuh untuk memproklamirkan nama Arrigo Sacchi sebagai satu-satunya yang pantas mempersiapkan Milan dalam menghadapi setiap laga. Publik tertawa, dunia mencemooh. Bukan tanpa alasan, tahun 1986-1987 Arrigo Sacchi bukanlah pelatih papan atas. Mungkin satu-satunya prestasi yang dapat ia cantumkan di lampiran riwayat hidupnya adalah kesuksesannya membawa Parma sebagai juara Serie C1. I repeat, C1 – not Serie A even B. Dan faktanya, publik terdiam dunia ternganga. Arrigo Sacchi tidak menjadi satu-satunya kejutan yang mampu disuguhkan pria yang tampaknya memang terlahir untuk menjadi kontroversi kelas kakap ini. Nama-nama yang selanjutnya seperti menjadi berhala bagi setiap pecandu sepakbola berada di baris paling depan dalam setiap laga. Franco Baresi, Carlo Ancelotti, Paolo Maldini, Frank Rijkaard, Ruud Gullit dan Marco van Basten adalah mereka yang mampu membuat panji Rossoneri berkibar kembali. Ya, publik terdiam dan dunia ternganga – pria itu yang tertawa. Layaknya Bellini my most favorite Italian cocktail in case you don’t get it - terbaik yang mampu membuatmu melupakan sejenak setiap hal pahit tetapi tetap menjagamu pada koridor elegansi, racikan jenius dari tangan dingin Sacchi menjadikan Milan sebagai klub terbaik yang pernah ada. Gli Invincibili? Pa dentro!
Sepeninggal Sacchi, tampuk kekuasaan pebisnis dan politikus papan atas ini tidak terhenti begitu saja. Komentator bola yang cukup tersohor namun miskin pengalaman sebagai pelatih menjadi pilihannya. Harga taruhan yang semakin tinggi? Bisa jadi. Fabio Capello mungkin tak sefenomenal Sacchi, tapi di eranya tak hanya Donadoni, Costacurta dan Albertini yang menjadi sorotan dunia. Sejumlah legiun asing seperti Savicevic dan Zvonimir Boban turut menjadi bintang di lapangan hijau dan mata publik Italia. Belum cukup? Bertanyalah pada Johan Cruyff atau Philip Don tentang apa yang terjadi tanggal 18 Mei 1994 di Olympic Stadium, Athens – dan aku rasa mereka akan bergidik ngeri saat mengingat kembali tentang semenakjubkan apa arti angka 4 pada saat itu.
Perjalanan mulus bukan menjadi nama tengahnya. Di tengah-tengah era gemilang yang berhasil dilahirkannya, ada saja hal-hal yang membuat dunia yakin kalau ia hanyalah manusia biasa. Kadang berhasil, kadang gagal. Sebut saja era Tabarez ataupun ketidakmampuan Mr. Zac dalam mengkonsistenkan ungkapan vini vidi vici. Kalau boleh jujur, aku bersyukur akan era pasang-surut ini. Kembali bangkit setelah kegagalan akan membuat dunia yakin kalau mental juara memang merupakan modal yang tak ada bandingannya. Adalah Carlo Ancelotti yang disebut-sebut sebagai salah satu penyelamat Milan. Superioritas bukan menjadi satu-satunya hal yang diusung di eranya, bagaimana menciptakan sepakbola yang superior dan indah – well, it made Ancelotti as another biggest love affair for every Milanista.
Perombakan jenius ala Carletto di musim keduanya, membuat Milan tampil sebagai tim yang benar-benar disegani. The real devil. Formasi 4-3-1-2 yang menjadi formasi kebesarannya membuat Rui Costa dan Seedorf bermain apik dalam peran The Classic Number 10. Kejelian Carletto tidak hanya berhenti sampai di situ. Pirlo layaknya menjadi the hidden diamond, penyambung dari lini depan pertahanan. Di era ini pula aku semakin menyadari bagaimana sempurnanya peran Pirlo dan Gattuso. Gattuso dengan tenaga badaknya merebut bola dan menahan serangan lawan, sementara Pirlo dengan kreatifitasnya memastikan pasokan bola yang konsisten bagi para penghuni lini depan. Karya Ancelotti juga tak melulu soal 4-3-1-2. Kepergian Shevchenko justru membuat Kaka beralih fungsi sebagai gelandang sayap dengan Seedorf sebagai pendamping setia dan Pippo Inzaghi ataupun Gilardino sebagai striker tunggal. Kekalahan di laga kontra Deportivo La Coruna dan oh-so-heartbreaking Liverpool dibayar manis dengan diangkatnya trofi Piala Champion ke-7. Prestasi yang membuktikan bahwa keindahan sepakbola tetap tidak mampu dikalahkan oleh busuknya skandal Calciopoli yang menghebohkan kancah persepakbolaan dunia saat itu.
Ujian bagi dia yang berpredikat sebagai kunci di balik kesuksesan Milan seperti tak ada habisnya. Tersandung masalah finansial membuatnya kembali mengambil berbagai langkah kontroversial. Milan tak lagi menjadi tim dengan sederet nama superior. Tak ada lagi pemain sekaliber Seedorf, Nesta, Gattuso, Ibrahimovic ataupun Silva. Yang ada hanya skuad muda semacam Shaarawy, Niang ataupun De Sciglio. Yang ada hanya pemain kurang ternama seperti Kevin Constant atau Christian Zapata. Pertaruhan di meja judi tetap berlangsung. Slogan “Milan yang menciptakan legenda” menjadi hal yang semakin sering dielu-elukan. Entah memang seperti itu adanya, entah hanya berfungsi sebagai perban yang menutupi luka sebenarnya. 

Someone who makes believe that mafia is not only on movie.
Penjudi memanglah penjudi. Intuisi dan permainan licik menjadi hal yang paling bisa diandalkan. Entah apa yang ada di pikirannya saat datang ke sesi latihan tim dengan helikopter pribadinya, mengomentari potongan rambut aneh khas El Shaarawy dan memberikan mandat kepada allenatore Massimiliano Allegri bahwa Boateng akan bermain sempurna sebagai mezz’ala.  Are you really that sweet, Mister? Dan belakangan bersama pria berdasi kuning yang sering mengejutkan dunia dengan langkah-langkahnya di bursa transfer, ia tampil bagaikan ayah yang siap memeluk pemuda homesick yang menutupi kepahitannya dengan berbagai tingkah yang tidak masuk akal. Pemuda homesick itu kini telah pulang. Entah kebahagiaan seperti apa yang dirasakannya saat ia tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi mengenakan jersey yang dipujanya sejak pertama kali mengenal sepakbola. Pemuda homesick itu kini telah pulang, membuktikan sebengal apapun dia di luar sana – menjadi anak manis dan membanggakan adalah hal yang utama jika kau telah berada di rumah. Tidak ada pukulan balik untuk Coda, yang ada justru pelukan manis bagi sang adik – M’Baye Niang – yang sempat tidak terima saat sang kakak ditunjuk sebagai eksekutor tendangan bebas. Entah apa yang terjadi dengannya. Seburuk apapun cap The Rotten Apple ataupun sarkasme rasis tak terpuji yang sempat terdengar, pemuda bertajuk Super Mario ini tetap menjadi bagian dari rencana masa depan publik San Siro. Rencana masa depan yang membuat 27 tahun masih terlalu dini untuk pergi dari dunia yang sangat mengagung-agungkan sang presiden, dunia penuh intrik tapi dicintai oleh banyak orang, dunia yang tak mengenal kompromi tapi memberikan arti mendalam bagi kehidupan banyak orang.
Entah apa yang dilakukan pria itu saat ini. Mungkin dia sedang meninggalkan meja kerjanya, membiarkan tumpukan kertas kerja berserakan tak tersentuh begitu saja dan sejenak bersenang-senang setelah menyaksikan bagaimana megahnya kemenangan atas skuad yang hampir 19 tahun lalu juga dikalahkannya sambil membayangkan minggu yang sempurna seandainya kemenangan adalah hasil yang diperoleh di akhir laga panas Derby Della Madonnina kemarin. Mungkin saat ini dia sedang tersenyum, licik khas mafia kelas kakap Italia, menghisap cerutu mahal dengan 2-3 orang perempuan muda di kanan dan kirinya. Ah, siapa yang perduli? Yang aku tahu, dia selalu ada untuk Milan – dengan atau tanpa motif di baliknya. Hail Mr. President, Forza Magico Milan!

Read More

Monday, February 11, 2013

A Story from Indonesia: The Way We Treated Our Legends



"I learned all about life with a ball at my feet." - Ronaldinho
          
              
             Everyone deserves to make their dreams come true. And that is what we realized too. A lot of  us – Indonesian Milanisti have never made our first steps yet at San Siro. But apparently, there is something we could do to make it closer. We made our San Siro. Yes, here – in Indonesia. It was 9 February 2013, one of our very best memorable days ever. We watched our legends there, live with no satellite and television. We chanted for our legends there, with pride with no fear. We treated our legends there, with the timeless love and respect with no something made up.
                 
There were Massimo Taibi, Paolo Maldini, Franco Baresi, Roque Junior, Alessandro Costacurta, Stevano Nava, Pietro Vierchowod, Roberto Mussi, Massimo Oddo, Stefano Eranio, Ibrahim Ba, Angelo Carbone, Sérgio Cláudio dos Santos, Maurizio Ganz, Andriy Shevchenko and Daniele Massaro that time. It was an honor to watch them fought for the Rossoneri pride. Maybe it was only kind of charity match, with no trophy and prize but no matter what it was – it became the most glittery match for us. The way they dribbled the ball, the way they tackled and marked the opponents, the way they showed their gestures, the way they scored and celebrated the goals – everything just felt more magical than any fairytale we had ever known. We realized that there is always the romance between us and those legends. So who said romance doesn’t exist in football? Those 90 minutes were for us, they were for us and we were for them. Ah, did we really deserve it?

That feeling when you just were at it.

We even felt its (San Siro) atmosphere before the match began. Chanted in language we even couldn’t understand to prove the world how proud we were to be a part of this. It was our way to tell Milan that our love is timeless. Nothing can change it. Even the most horrible seasons can’t do it. Some of us went back to our childhoods, the times when we took our first Rossoneri matches. We felt that first love again, both love at the first sight or not. Maybe it was just like a flashback for us. It reminded us when our dads told us some players names, when we bought some sport magazines just to know more about those players. We remembered our first Maldini’s tackles and Shevchenko’s goals. Ah, God just  blessed us by sent Milan in our lives. Sounds so cheesy? Who cares, for this is what it is.

And then, that was our turn to see them by our own eyes. The goosebumps came when those legends entered the pitch. We had gotten a feeling that it would be the incredible day for us since Taibi made some warming up on the pitch. And yes, it was true.  In the 16th minute we got our first breathless moment. It was Serginho who showed his class. He started it by his perfect solo run and something boom just happened after it. A powerful goal from the right side. We took the deep breaths. We stood up, clapped our hands. The drummers made some huger and faster beats, we chanted more and more. The flags were flying higher, the flares were getting wilder. Apparently this was what Curva Sud felt when the goal just happened. But later, Indonesia All Stars didn’t want to make it easy for Milan Glorie. Bambang Pamungkas, one of the great Indonesian footballers only took 19 minutes to shock Taibi. The first goal for Indonesia, the hotter match for us. 

        Some of us maybe just remembered what happened when Milan fought against Lecce on 29 August 1999. Andriy Shevchenko made his debut and first goal for Milan at the same time. We got this feeling again. He scored a goal for Milan, a right footed goal. Il fenomeno lo lasciamo la’ qui c’e’ Sheva.. La la la la la la la la la Sheva Sheva!! We sang this one with no commandments for the King, it just happened. We were suddenly be at San Siro, we were Curva Sud Milano! Bambang Pamungkas showed his class again. He equalized the match in the 63th minute, accepted a passing from Gusnaedi then a sharp header goal drove us into 2-2. Legends are legends, they proved us there. 2-2 didn’t make them down. They faced something too much worse than this one. Age really doesn’t any matter. Ganz really deserved to be called as a legend. He had to thank to Ba for his goal in around 70th. 2-3 for Milan Glorie. It didn’t stop yet. The atmosphere was getting hotter. The banners and flags were flying higher, we threw some smoke bombs and lighted some flares up. A sweet ending just came to us. Serginho made his second goal at this match. 2-4 for Milan Glorie until the final whistle.

       The match is over but the feeling has been exist till now, till we write this one. Maybe it sounds so silly for we - the Indonesian, didn’t cheered for Indonesia All Stars Team. Maybe it makes us so much far from the nationalism criteria. But people, this is football. Sometimes something out of logic happens in football. Football is more than any nationalism stuff. Football is about the love we choose and the choice we live up. And yes, we chose Milan. Apparently our love is that timeless. The fast regeneration doesn’t change our respect for them, the horrible seasons don’t make us cheat from our love. And yes, it is true that we weren’t on the pitch, we were just on the stadium stands. We indeed didn’t help Maldini to grab that ball from the opponents, we indeed didn’t give some passing for Shevchenko. But most of all, we came from East Java, Sumatra, Borneo and the whole Indonesia to Jakarta just to cheer for them on the stands. We were there for them and they were there for us. As simple as that, as wonderful as that. Ah, thank you for football. We mean - thank you for your legendary football, legends. We’ve adored, we’ve loved, we’ve supported you unconditionally. Hail the legends!

Photo credits to Billy Sebastian
Read More

Saturday, February 2, 2013

Catatan Musim Dingin

“A strange day, leaving Milano for London. Tomorrow we know more. Goodnight everyone.” – Urby Emanuelson

“I don’t really like drama”, setidaknya kalimat tadi bisa menjadi satu kesimpulan aman tentang seperti apa aku. Tapi ternyata aku  tidak bisa sepenuhnya terlepas dari drama, karena bagaimanapun juga hidupku penuh dengan drama – drama yang aku buat sendiri dan drama yang memang terjadi begitu saja di luar kendaliku. Mungkin hal ini yang membuatku tidak bisa membenci drama, membenci drama tidak akan jauh berbeda dengan membenci sebagian besar hal yang memang sudah digariskan dalam hidup.
Dan tampaknya salah satu hal yang paling aku cintai di dunia ini juga penuh dengan drama. Ya, sepakbola penuh dengan drama. Milan penuh dengan drama. Kadang aku merasa konyol saat menyadari bahwa ada begitu banyak hal dalam sepakbola dan Milan yang mampu mempermainkan emosiku. Konyol, karena aku sendiri tidak terlibat langsung di dalamnya. Jika diibaratkan sebagai sebuah film, ada satu scene dalam drama sepakbola yang memancing timbulnya dua emosi yang bertentangan. Senang dan sedih. Scene itu terjadi di setiap musim, scene itu terbalut rapi dalam skenario kebutuhan untuk menjadi tim yang lebih baik, scene itu diiringi dengan megahnya soundtrack berirama rumor dan ekspektasi, scene itu memang bukan klimaks tetapi mampu menjadi awal dan akhir sekaligus. Scene itu bernama bursa transfer.
Bursa transfer musim dingin tahun ini memang tidak sedramatis saat para senator meninggalkan San Siro. Tetapi selama ada yang datang dan pergi, tetap saja ada emosi yang dipermainkan. Drama ini dimulai dari kepergian Pato. Rasanya tidak adil karena cidera berkepanjangan sudah tentu bukan menjadi keinginannya. Seperti habis manis sepah dibuang, menurutku. Pato memiliki catatan rekor yang baik, kemampuannya dalam mencetak gol dan kecepatannya luar biasa, bahkan dalam laga come back ia masih mampu membuktikan publik akan predikatnya sebagai salah striker terbaik yang pernah dimiliki Milan. Ditambah lagi dia tidak pernah berkelakuan buruk, semiring apapun rumor hubungannya dengan Barbara Berlusconi, toh masih belum ada pemberitaan yang menyatakan kebenaran rumor ini. He deserves more faith and love, as simple as that maybe. Dan tentang video perpisahannya, ah sudahlah – frankly saying it just made me feel that bad to him.
 
Stay awesome anywhere, Duck.
Aku cukup muak dengan scene selanjutnya. Scene lama yang kembali diulang. Kali ini dengan bumbu ekspektasi yang lebih tajam. Membuat setiap Milanista berharap bahwa klub yang mereka elu-elukan bakal membawa kembali sang (mantan) bintang lapangan. The Kaka Saga. Ceritanya memang tak se’cheesy The Twilight Saga, tapi cukup membuktikan kalau ada begitu banyak cinta lama yang bersemi kembali untuknya atau lebih tepatnya, cinta lama yang tetap bersemi. Drama membawa pulang The Prodigal Son memang selalu seperti ini. Ada banyak adegan yang terlihat sebagai rangkaian plot yang akan membawa penonton pada sebuah happy ending. Kaka kembali ke Milan, sebagian besar dari kalian pasti berharap happy ending yang seperti ini. Namun drama tetaplah drama, kadang ujung ceritanya tidak seperti yang kita harapkan. Tapi kalau boleh jujur, drama seperti ini lebih menarik. Cerita dengan ending yang dapat ditebak kadang membuat sebuah cerita menjadi membosankan. Lagi-lagi masalah finansial menjadi akar dari ditundanya atau mungkin gagalnya usaha membawa pulang seorang Kaka. Harga yang dipatok terlalu tinggi, jumlah uang yang menurutku mungkin akan lebih worth it untuk dihabiskan pada hal-hal yang lebih menjanjikan. Bukannya bermaksud mencap Kaka tidak layak lagi untuk Milan, he still really deserves it. Tapi jika kita berbicara tentang drama dengan durasi bertahun-tahun, drama yang di dalamnya terdapat kebutuhan akan adegan klimaks dengan setting kondisi di masa depan yang lebih baik, keputusan untuk membawa pulang Kaka mungkin bisa berujung pada berbagai adegan antiklimaks. Mungkin, karena bagaimanapun juga drama ini bukan drama yang mudah untuk diprediksi.
Kedatangan Riccardo Saponara dan Zaccardo tampaknya cukup mampu menjadi pemanis di tengah-tengah rasa pahit yang muncul akibat gagalnya mendatangkan Kaka ke Milan. Aku tidak terlalu paham dengan kedua orang ini. Tapi aku cukup berharap kalau ke depannya mereka tidak hanya akan menjadi cameo yang lebih sering memerankan adegan-adegan kurang penting. Ya semoga, karena jujur saja I have some good feelings with them. Dan dipermanenkannya Kevin Constant, I'm bouncing excitement! Setelah sejumlah penampilan mengesankan yang berhasil ditunjukkannya, aku sangat setuju kalau ia layak mendapatkan ini. Ada seorang Diego Armando Maraconstant di Milan, I hail you management!

Ah, I'm sorry. The very best luck for you.
Dan scene yang mengundang sejumlah emosi yang tidak aku sukai itu muncul kembali. Berbanding terbalik dengan apa yang diraih Kevin Constant - Mesbah, Strassser dan Acerbi harus rela melepaskan kostum merah-hitam yang selama ini mereka kenakan. Walaupun di antara mereka status kepindahannya hanya bersifat sementara, rasa miris itu tetap saja ada. Ya, aku termasuk orang yang has faith in Acerbi. Banyak yang menyebutnya sebagai defender yang lamban. Tapi berbicara defender, bukan hanya bicara soal kecepatan. Mungkin lebih kepada bagaimana membaca sebuah pertandingan. Kepercayaanku juga bukan tanpa alasan dan atas cinta buta yang bodoh. Setidaknya aku telah membaca sejumlah catatan statistik yang menunjukkan kalau ia punya potensi untuk tampil lebih baik lagi. Dan Mesbah. Cukuplah semua abusement untuknya. Dia tidak seburuk itu. Semoga kalian sudah menonton video yang dibuat sebagai bentuk penolakan terhadap sejumlah abusement yang ditujukan untuknya.

No more another "Balo chokes or slaps or punches coach" headline, please.
Lalu seseorang yang dianggap sebagai lakon utama itu datang. Mario “Rotten Apple” Balotelli. Siapa yang tidak menginginkannya? Kelakukannya yang kadang mengundang tanda tanya justru menjadi pelengkap dari besarnya bakat dan potensi yang dimilikinya. Muda, bertalenta, sensasional. 3 kata tadi cukup menggambarkan bagaimana seorang Balotelli. “Balo has never been failed to amuse me. Still gutted he left Premier League.” Bahkan my-dream-on-going-sister-in-law yang menjadi seorang penggila EPL dan sama sekali tidak punya cinta untuk Manchester City mengatakan hal ini. Di tengah-tengah kelakuannya yang cukup absurd, Balo memiliki tempat tersendiri bagi penikmat sepakbola. Dan mungkin Milan adalah yang paling berbahagia untuk saat ini. Gagalnya membawa Kaka, justru berlanjut dengan kedatangan bocah 22 tahun yang mengaku sudah mencintai Milan sejak pertama kali ia bermain sepakbola. Jujur, aku sempat merasa bahwa penyambutan seorang Balotelli sedikit berlebihan. Bandingkan dengan apa yang terjadi saat pemain lain datang. Curva Sud bahkan rela untuk bentrok dengan polisi, Galliani bahkan bersedia melompat-lompat bersama Curva Sud yang menyerukan “Chi Non Salta Nerrazzuroe”. Tapi tampaknya tidak akan ada yang berlebihan jika Balo benar-benar mampu membuktikan siapa dirinya.
   Well, satu hal yang membuat miris. Kedatangan Balotelli harus berbarengan dengan kepergian Urby untuk sementara waktu ke barat daya kota London. Fulham Football Club. Ya, seorang Urby harus bermain di sana sampai akhir musim ini. Alasannya sederhana, ia ingin lebih banyak berada di tengah-tengah lapangan. Ya Urby, seorang pesepakbola yang cukup dekat dengan pengagum-pengagumnya. Seorang pesepakbola yang kerap membuat sebagian besar Milanisti merasa dekat dengan Milan karena apa yang dibagikannya di Twitter, seorang pesepakbola yang tidak pernah mengeluh walaupun jarang dimainkan, seorang pesepakbola yang pernah memberikan tiket gratis kepada Milanista asal Meksiko yang datang untuk menyaksikan laga persahabatan kontra Real Madrid di New York. Kadang aku berpikir, kenapa pesepakbola sebaik Urby harus hengkang dan pesepakbola sebengal Balotelli harus datang. Dan ya, Urby adalah pesepakbola yang baik. Pesepakbola yang baik pantas untuk lebih sering berada di lapangan dibandingkan duduk di bangku cadangan. Yea, he deserves anything better than this

Heartbreaking!
 Galliani tidak pernah berhenti memberi kejutan. Apa yang terjadi di hari terakhir justru menjadi hal yang paling melegakanku. Bartosz Salamon, gigantic centre back muda berumur 21 tahun berkebangsaan Polandia berhasil diboyong dari Brescia. Aku bersyukur karena Galliani paham betul dengan kebutuhan Milan akan centre back yang mumpuni. Ah, bicara apa aku? Tentu saja ia yang paling paham. Dan inilah sejumput drama yang terbungkus rapi dalam skenario bursa transfer musim dingin. Ada yang datang dan yang pergi. Ada yang bahagia dan kecewa. Tapi seperti yang aku katakan sebelumnya - bagian ini bukan klimaks, bagian ini bisa menjadi awal sekaligus akhir tergantung sepiawai apa para lakon memerankan adegan-adegan yang dibebankan untuknya. Ya, semoga saja ada senyum dan kebanggaan yang muncul sebagai reaksi dari happy ending yang bakal terjadi akhir musim ini. Dan lagi-lagi, Forza Magico Milan!
Read More
anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena