Sunday, January 26, 2014

Menulis yang Kamu Sampaikan



"Biarkan sejarawan mereka yang menulis, kalau aku yang menulis, terkesan bukan ranahnya.  Itu saja.”


Kalimat ini muncul pada fitur pesan singkat ponselku. Nama pengirimnya namamu. Kubaca sekali dua kali, kututup fiturnya. Kubuka, kubaca tiga empat kali. Kututup. Begitu selama lima sampai enam menit. Di menit ketujuh dan delapan aku mencoba mempersetankannya, tapi gagal. Jadi kuputuskan untuk menyimpan pesanmu itu. Di tempat tersembunyi, supaya tak terbaca orang lain. Tapi kalau dipikir-pikir, dibaca orang lain pun tak apa-apa. Toh, mereka tak tahu siapa namamu. Toh, mereka tak paham seperti apa kamu buat – ah, tak perlulah kutulis buat siapa.

Seorang penulis pernah berbicara seperti ini. Urusan pembaca adalah mengekalkan ingatan pada apa yang mereka sukai. Sebaliknya, urusan penulis adalah menghapus ingatan dari apa-apa yang sudah ia bikin. Entah id, entah ego – yang jelas, ada iming-iming akan kenikmatan menjadi pengadu pikiran. Pengadu pikiran lewat permainan kata dan pendiktean makna, yang konyolnya hanya menghidupi penalaran dengan menjadi seorang penyembah selera. Kalau kataku, tuhan yang ia ciptakan sendiri.

Percaya saja kalau aku tak tertampar dengan pesan singkatmu tadi. Aku hanya berpikir, kalau sejatinya kita sering berdebat atas dasar yang lemah. Mungkin sebenarnya tak ada perbedaan pendapat. Kita tak pernah benar-benar paham berpendapat karena sebenarnya kita tak pernah bergaul karib dengan dasarnya. Yang ada hanya perbedaan selera. Lantas menyembunyikan selera di balik logika. Dan apalah muara dari urat leher yang menegang dan tangan yang kaku tanpa kepala yang dingin? Aku pikir, kesia-siaan belaka. 

Tapi jangan kamu pikir aku menganggap kalau memiliki selera itu salah, apalagi meyakini kalau menjaga selera itu tak berbeda dengan menghidupi sebentuk laknat. Bukan seperti itu. Mungkin yang salah hanya kita yang menempatkan selera bukan pada ranahnya. Meyakini kalau kebenaran dan selera bisa bermukim pada tanah yang sama.

Ah, aku pikir aku tak perlu berpanjang-panjang di sini. Kata temanku, terkadang kata bisa mempersingkat makna. Jadi, tolong sampaikan salamku pada Mba Rita, juragan pomade itu. Bilang padanya, aku tak sabar makan es krim di Ragusa. 
Bandung, 26 Januari 2014

0 comments:

Post a Comment

anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena