Dear Eddward,
Bolehkah aku
menulisnya tanpa kata-kata “dengan hormat”? Bukannya tak ingin menghormatimu,
tapi aku sangat tersanjung dengan surat yang kau sampaikan kemarin. Surat
sederhana yang bagiku menjadi teman bernostalgia yang paling tepat tentang
segala sesuatu yang aku jalani selama ini. Dan terlebih lagi kau seorang
Milanista. Tak seorang Interista pun melakukan apa yang kau lakukan. Tapi
sudahlah, setiap orang punya cara sendiri untuk mencintai sesuatu – mungkin
cara mereka berbeda. Dan ya, atas surat sederhana yang kau kirimkan kemarin –
rasanya aku ingin mengenalmu secara dekat. Berbicara tanpa ada batasan
pesepakbola dan penonton, jadi tanpa kata-kata “dengan hormat” tadi – aku yakin
kita telah sepakat untuk memulai persahabatan yang menyenangkan walaupun jarak
antara Milan dan Indonesia masih terlalu jauh. Kapan-kapan mampirlah kemari,
kita akan bersenang-senang. Dan tentang acara musik itu, sudahlah jangan
diingat lagi. Aku sendiri tidak paham kenapa aku bisa berada di sana. Anggap
saja sebagai tuntutan profesionalitas seorang pesepakbola profesional.
Setidaknya aku belajar kalau ada hal yang lebih mengerikan dibandingkan
berhadapan dengan seorang Paolo Maldini.
Terima kasih kau
sudah berusaha mengenalku cukup lama. Lima belas tahun bukan waktu yang singkat
untuk melapangkan dada demi mengenal orang yang membela tim yang menjadi rival
dari tim kau puja. Bukannya aku bermaksud bersikap sinis terhadap fans lainnya.
Tapi terkadang aku merasa miris waktu melihat mereka yang seolah-olah menutup
mata tentang apa yang dilakukan pesepakbola lain yang tidak bermain untuk tim
yang mereka cintai. Well, mungkin kau
juga merasakannya. Tenang saja karena aku tidak bermaksud memaksa kalian untuk
mencintai pesepakbola tertentu, tapi jika kalian mau cobalah melihat bahwa tim
yang kalian puja sebagai bagian dari sepakbola – bukan sebaliknya. Piala Dunia
1998 ya? Ah, ternyata ada yang menganggap perhelatan itu sebagai moment berharga. Jujur rasanya tidak
mudah untuk menerima kekalahan seperti itu. Kekalahan yang didapat setelah kau
berjuang mati-matian. Terlebih lagi gol itu terjadi di menit 89. Dennis Bergkamp
memang seorang pesepakbola luar biasa. Boleh aku bercerita soal pengalaman
pahit lainnya?
Laga kontra Parma di
perhelatan Coppa Italia 1999 memberikan kenangan tidak menyenangkan tersendiri
bagiku. Aku mendapatkan kartu merah dalam pertandingan ini. Kalian sebagai
orang-orang yang hidup dalam cinta dan candu akan sepakbola pasti benar-benar
paham kalau posisi yang aku mainkan sangat rentan terhadap risiko dihujani
kartu. Terkadang saat di lapangan kau merasa gelap mata, terlebih jika kau
bermain sebagai seorang defender.
Rasanya kau rela mematahkan kaki lawan untuk menjamin keamanan siapapun yang
menjaga gawangmu. Aku sadar betul dengan hal ini. Tapi selama belasan tahun
bermain dengan seragam yang sama, aku juga sadar kalau kau tetap bisa membuat
orang lain tersenyum saat kau berusaha merebut bola dari kaki lawan atau saat
kau berusaha mengamankan si penjaga gawang dari hujatan-hujatan saat gawangmu
berhasil ditembus lawan. Ya, kau tidak perlu membuat orang lain bergidik ngeri
saat menyaksikanmu merebut bola. Masih ada cara-cara yang lebih manusiawi,
cara-cara yang akan membuatmu dilihat sebagai seorang defender berkelas. Aku tidak pernah main-main dengan prinsip ini
dan mungkin hal inilah yang membuat koleksi kartu merahku tidak banyak. Laga
kontra Udinese di bulan Desember 2011 kemarin menjadi kali pertama aku
dihadiahi kartu merah di ajang Serie A. Aku tidak mau menyalahkan wasit atau
siapapun. Kartu merah itu sendiri sudah membuatku merasa kotor, menyalahkan
orang lain tentu akan membuat siapapun bertambah jijik. Walaupun aku
benar-benar bersyukur saat Julius Cesar mampu menggagalkan tendangan penalti
yang diambil alih oleh Di Natale. Dan ya, semoga itu menjadi yang terakhir. Kau
mau ikut mendoakannya? Semoga begitu.
Aku hanya bisa
tersenyum geli saat membaca bagian suratmu yang berceloteh panjang soal tatanan
rambutku. Tampaknya kau benar-benar seorang pria yang mengerti fashion dan sebagainya. Jangan salahkan
Rodolfo Valentin tentang tatanan rambutku yang cenderung membosankan ini.
Sejujurnya dibandingkan meminta, dia lebih sering terlihat seperti
memohon-mohon kepadaku supaya diijinkan mengganti tatanan rambutku. “Kau akan terlihat lebih muda”, “Hey, aku tidak main-main. Kau akan jauh
lebih keren dibandingkan El-Shaarawy!” Dia bahkan pernah berbicara seperti
ini padaku, “Baiklah, bereksperimen gaya
rambut baru sama dengan bicara soal keberanian seorang pria.” Kadang aku
berpikir, sebegitu membosankannyakah tatanan rambutku? Dan kau tahu jawaban apa yang aku berikan
pada Rodolfo? Sejujurnya aku lebih sering diam dan menatap tajam padanya. Dan
saat itu juga dia akan berhenti berkomentar dan sibuk mengerjakan rambutku.
Mungkin dia terlalu takut untuk kehilangan pelanggan sepertiku.
Well Edward, dunia mungkin perduli
dengan tatanan rambut populer ala El Shaarawy ataupun style minyak rambut tumpah kebanggaan Ronaldo. Jujur, aku cukup
perduli. Kadang sebelum pertandingan yang melibatkan mereka dimulai, tanpa
disadari aku sering bertanya-tanya tentang kejutan tatanan rambut ala mereka
akan seperti apa. Cukup menghibur, setidaknya saat kau merasa kantuk sedang
mempermainkanmu - kau akan tersenyum geli saat mengalihkan sejenak perhatianmu padanya.
Jangan dianggap serius, aku tidak seserius itu. Satu hal yang ingin aku
tekankan padamu, dibandingkan gaya rambut mohawk
El Shaarawy yang tampaknya cukup sukses meracuni hampir seluruh penghuni San
Siro, aku lebih perduli dengan tingkahnya yang gentleman saat laga kontra Genoa musim ini. Kau pasti mengingat
dengan jelas saat laga itu berlangsung, bukan? Gol yang seharusnya ia rayakan
habis-habisan bersama teman-temannya. Tapi apa yang kau lihat saat itu? Dia
menolak untuk merayakannya. Mungkin dia merasa tidak ingin seperti kacang yang
lupa pada kulitnya karena bagaimanapun juga, mungkin tanpa Genoa tidak akan
pernah ada sepakbola untuknya. Ah, rasanya aku seperti menyindir rekan satu
timku sendiri. Dan dibandingkan dengan banyaknya jumlah minyak rambut yang
harus dihabiskan Ronaldo setiap harinya, aku lebih perduli dengan jumlah gol
yang ia torehkan untuk Real Madrid. Saat ada begitu banyak orang-orang yang
berprasangka buruk tentangnya, dia tampak seperti menutup telinga dan
mempersilahkan seorang anak kecil memasuki lapangan yang ingin memeluk atau
meminta tanda tangannya.
Saat kau memutuskan
untuk hidup sebagai pesepakbola, kau harus mampu menjadi seorang pesepakbola
berkelas. Pesepakbola yang mengutamakan prestasi dan behavior dibandingkan sensasi, karena sadar atau tidak sadar, dunia
sedang melihatmu. Mungkin kau bukan seorang pesepakbola, tapi belajarlah pada
Maldini yang tidak pernah tertangkap media menghabiskan malam-malamnya dengan
berpindah dari satu klub malam ke klub malam lain atau Inzaghi yang mengisi
waktu luangnya dengan menonton rekaman pertandingan Serie C atau mungkin si
garang Gattuso, yang selalu hadir di tempat latihan empat puluh lima menit
sebelum latihan dimulai.
Wah, kau bahkan paham
siapa itu Giuseppe Bergomi dan Gianluca Pagliuca! Aku sering mendengar istilah fans karbitan, tampaknya kau tidak
termasuk di dalamnya. Ya, enam ratus empat puluh tujuh laga bagi seorang Paolo
Maldini di Serie A merupakan pencapaian yang luar biasa. Dan siapa bilang aku
tidak perduli dengan rekor pribadi? Jelas aku perduli. Aku tidak ingin menjadi
munafik dengan menggembar-gemborkan kalau aku tidak perduli dengan rekor
pribadiku. Aku tidak paham tentang apa yang dipikirkan pesepakbola lainnya
tentang rekor pribadi mereka. Tapi rekor pribadi ini semacam tugu peringatan
buatku secara pribadi. Tugu peringatan yang membuatku sadar kalau kesuksesan
bukan sesuatu yang mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. Tapi percayalah
tidak ada yang lebih indah dibandingkan saat klub yang kau bela mampu
mengangkat trofi lainnya, mampu mengantongi gelar juara lainnya. Soal Mourinho?
Aku bersyukur karena Mourinho mempercayakanku untuk bermain di posisi yang
tidak pernah aku mainkan sebelumnya. Bayangkan sebesar apa rasa percayanya
padaku. Kalau perkataanmu yang menyebutkan kalau Inter adalah salah satu klub
kaya, dia pasti bisa membujuk Moratti untuk membeli pemain baru yang memang
sudah mumpuni untuk bermain sebagai gelandang kanan. Dan mungkin aku hanya akan
lebih sering mengunyah permen karet di bangku cadangan dibandingkan menggiring
bola ke gawang lawan.
Tak ubahnya
kehidupan, sepakbola adalah milik semua orang. Mungkin ini yang menjadi
alasanku terkait laga kontra Zapatista itu. Aku muak dengan penganiyaan
rasisme, aku jenuh dengan pembedaan-pembedaan yang kerap ditujukan kepada kaum
marjinal lainnya. Aku bukan seorang pria yang mampu berkoar-koar di atas podium
untuk mewujudkan misi perdamaian dunia, aku juga bukan seorang punggawa militer
yang mempunyai hak khusus untuk memberikan pelajaran kepada mereka yang bermain-main
dengan isu ini. Aku hanya seorang pesepakbola, satu-satunya hal yang bisa aku
lakukan adalah bermain sepakbola. Rasanya aku tidak perlu menjelaskan mengapa
laga Zapatista itu dibatalkan, terkadang ada hal-hal yang lebih baik tidak kita
ketahui. Tapi satu hal yang pasti, di
saat ada begitu banyak pesepakbola yang lebih perduli tentang bagaimana
menggaet sederet model cantik papan atas atau menambah isi garasinya (walaupun
itu tidak salah), aku hanya ingin membuktikan kepada mereka yang tertolak dan
tercemooh kalau masih ada segilintir orang yang perduli dengan mereka. Dan bisa
jadi orang itu adalah orang yang namanya mereka teriakkan setiap minggunya.
Maaf kalau surat ini
terlalu panjang. Tak jauh berbeda denganmu aku juga senang bisa berbicara dengan
orang sepertimu. Pembicaraan seperti ini membuatku sadar kalau kebahagiaan
dalam sepakbola tidak melulu soal bagaimana kau bertanding di lapangan hijau, tidak
melulu soal enam ratus pertandingan, tidak melulu soal ban kapten yang melingkar
di lenganku sejak 29 Agustus 1999.
Sebelum kau semakin
lelah membaca surat ini, bisakah aku meminta bantuanmu? Tolong sampaikan
salamku pada seorang perempuan bernama Marini Saragih. Dia yang berinisiatif
menerjemahkan suratmu sehingga aku bisa membalasnya. Kau tahu kemampuan bahasa
Indonesiaku yang menyedihkan. Dan sama sepertimu, dia juga seorang Milanista.
Ya Milanista, bukan Milanisti. Milanista untuk sebutan tunggal, Milanisti untuk
sebutan jamak. Tapi sepertinya aku belum pantas untuk mengkuliahimu soal tata bahasa.
Toh, aku juga belum mampu mengucapkan kalimat “Salam hangat terdahsyat bla bla bla” – ya, acara musik itu. Sekali
lagi maaf kalau surat ini terlalu klise (oh
well, bukan hanya panjang ternyata), anggaplah ini sebagai janji kalau
suatu saat kau akan berkunjung ke Milan dan kita akan berbicara tentang banyak
hal. Dan satu lagi, aku tidak terlalu paham dengan filosofi kehidupan dimulai
saat berumur empat puluh tahun. Karena yang aku paham, kehidupanku dimulai
sejak 27 Agustus 1995. Terima kasih untuk rasa cintamu terhadap sepakbola,
terima kasih karena kau sudah menjadi seorang fan yang dewasa.
Salam
hangat,
Javier
Zanetti
PS: This writing is also published here, this one is inspired by Eddward S. Kennedy's writing.