Tuesday, December 24, 2013

Pikiran Malam Natal



Malam Natal 2013. Siapa yang menyangka bakal secepat ini? Aku pun tak menyangka. Bukan malam Natal yang sempurna. Ah, bukan karena tak bersama keluarga, pacar, sahabat atau siapapun. Bukan pula karena tak ada pohon Natal, lagu-lagu Natal, kado-kado atau apapun. Aku bukan orang yang mempermasalahkan hal-hal semacam itu.

Terasa tak sempurna karena sebelum detik ini, ada hal-hal bodoh yang aku lakukan. Terasa bodoh karena hanyalah kesalahan yang sama. Aku pun merutuki diri sendiri karenanya. Entah apa yang ada di dalam otakku. Kekonyolan karena takut pada ketidakpastian. Padahal Albert Camus - salah seorang pemikir dan penulis kesayanganku - sudah berkali-kali menulis tentang ini. Aku pun mengamininya, jadi seharusnya aku sudah siap. Siap menghadapi absurditas dengan menjadi pemberontak, bukannya melawan dengan absurditas lain. Kalau dipikir-pikir, aku bukannya melawan, malah menambah ketidakjelasan dan kekacauan.

Tapi aku berpikir tentang ini. Tiba-tiba saja. Mungkin Camus juga pernah menjadi sama sepertiku. Eksistensialisme mengajarkanku banyak hal yang sangat humanis. 

Setiap manusia membutuhkan keberadaannya sendiri. Setiap manusia membutuhkan keyakinan bahwa ia benar-benar ada sebagai subyek. Segala macam ketidakpastian sering - atau mungkin selalu - menggerus kemanusiaan manusia itu sendiri. Ia bukannya tenggelam, tapi dipermainkan. Mungkin seperti boneka yang dimainkan sesukanya oleh para pemiliknya. Ia tetap ada, tapi tak bisa merasakan keberadaannya sendiri. Ia bukan menentukan, tapi ditentukan. 

Lantas aku berpikir tentang Yesus. Tentang apa yang ada di dalam pikiranNya sampai-sampai mau menjadi manusia. Aku pikir Dia itu pemberontak. Pemberontak yang melawan gagasan-gagasan manusia tentang Ia sendiri. Otak-otak manusialah yang membuatNya terasa terlalu jauh, tak terjangkau. 

Aku membaca Perjanjian Lama. Gila! Untuk beribadah saja terasa begitu rumit. Mereka membuat Tuhan hanya milik orang-orang tertentu. Ada ritual-ritual, ada kekhususan-kekhususan. Dalam Perjanjian Lama ditulis kalau hanya imam yang boleh masuk ke Ruang Maha Kudus. Ruang tempat Tuhan bertemu dan berbicara dengan manusia. Ruangan yang gelap. Karena saat Tuhan datang, cahayaNyalah yang akan menjadi penerang. Pinggang sang imam akan diberi tali panjang, kakinya diberi lonceng. Kalau ia tak cukup kudus ia akan mati. Kalau tak ada suara lonceng berarti ia sudah mati di dalam ruangan itu. Para pembantu yang menunggu di luar akan menyeretnya dengan tali yang diikat di pinggangnya. Belum lagi tentang upacara korban sembelihan untuk menghapus dosa. 

Kadang aku berpikir, untuk apa Tuhan menciptakan aturan-aturan semacam itu? Masa Ia tak cukup cerdas untuk mengetahui bahwa hal-hal semacam itu hanya akan menjauhkan manusia dariNya? Masa Tuhan keliru lalu merevisi semua keputusanNya dengan turun ke dunia dalam wujud dan kemanusiaan Yesus? Kalau begitu, Ia tak ubahnya Tuhan yang plin-plan. Atau Tuhan yang gemar mempermainkan manusia? Kasihan sekali mereka yang harus hidup pada zaman sebelum Yesus lahir.

Tapi entah ini benar atau salah, ini yang aku pikirkan. Manusialah yang menjauhkan diri. Dan mungkin, Ia juga Tuhan yang menghargai kemanusiaan. Toh, Ia bukan Tuhan yang tak pernah melarang atau memberitahu tentang ganjaran. Manusia-manusia itu pun tahu. Tapi entah karena naluri atau apapun, tetap saja dilanggar.

Lebih parah lagi, para imam yang pada awalnya menjadi pelayan Tuhan - justru menjadikan diri sebagai orang yang paling mendekati Tuhan. Orang-orang Farisi, ahli-ahli Taurat. Jadi dengan kata lain, kebebasan dan kemanusiaan itu sendiri yang menggiring manusia kepada absurditas.

Lantas hanya pemberontakan Tuhan-lah yang dapat menghentikan semuanya. Tuhan menjadi manusia dalam wujud Yesus. Ia memberontak terhadap tradisi, kekakuan prinsip bahwa Tuhan hanyalah milik orang-orang tertentu. Ia merusak struktur-struktur ekonomi yang mencekik leher. Para pedagang - kaum kelas menengah - itu menciptakan uang lewat konsep atau pengetahuan mereka tentang penebusan dosa. Mereka berdagang di bait suci. Seolah-olah Tuhan dapat dibeli dengan uang. Pengampunan Tuhan hanyalah seharga darah domba atau burung atau hewan lain yang mereka jual. Padahal pengampunan Tuhan itu gratis. Gratis, bukan karena murahan.

Yesus memberontak. Memberontak terhadap kemunafikan, kedangkalan, kesenjangan, ketidakadilan bahkan kekuasaan maut. Kalau dipikir-pikir, Ia dapat melibas semuanya tanpa harus bersusah-susah menanggung siksa, lalu mati, bangkit dan hidup kekal. Tapi Ia tak tanggung-tanggung, turun ke alam maut. Lalu memberikan keselamatan yang kata orang-orang dengan segala kedangkalan dan kesombongannya tak pasti. 

Jadi, menurutku Natal seperti ini. Natal itu awal pemberontakan. Keyakinan yang membuatku tak suka merayakannya dengan meriah. Aku butuh kesunyian untuk merayakannya. Karena buatku, pemberontakan adalah tentang kesunyian. 

Aku pun yakin kalau Yesus paham betul apa makna kesunyian itu. Kesunyian yang memberikanNya kekuatan. Kalau Ia tak paham, Ia tak akan meninggalkan murid-muridNya untuk berdoa dan bergumul sendirian di Taman Getsemani. Berdoa? Ya, sebagai manusia seutuhnya Yesus yang sejatinya adalah Tuhan itu sendiri butuh memberontak terhadap batasan-batasan yang manusiawi - yang pasti menggodaNya untuk menggunakan ketuhananNya sendiri. Mungkin kalau Ia bertindak seperti itu, yang selamat bukanlah manusia tapi Ia sendiri. Atau bisa saja manusia selamat, tapi tetap saja Ia tak menjadi Tuhan yang tersentuh dan menyentuh manusia lewat sesuatu yang substansif - cinta.

Aku pun tak paham, jadi aku belajar. Kalaupun nanti tak paham seutuhnya - ya, biar saja. Namanya juga manusia. 

Jadi - sekali  lagi - Natal buatku bukanlah tentang kehangatan. Kalau tentang kehangatan, rasanya tak mungkin Ia memilih kandang sebagai tempat dilahirkan dalam wujud manusia. Natal buatku adalah tentang pemberontakan melawan dingin. Bukan melarikan diri ke tempat yang hangat. Natal buatku adalah tentang pemberontakan terhadap kecongkakan manusia yang membunuh kaum marjinal. Saat orang-orang mengasingkan para pengidap kusta, saat orang-orang tak menggubris pengemis-pengemis buta, saat orang-orang menghakimi Maria Magdalena si pelacur, saat orang-orang mengutuk para pemungut cukai, saat orang-orang meremehkan anak kecil - Yesus justru ada bersama mereka. Bahkan sebelum mati Ia memberikan surga bagi penjahat yang ikut disalib di sebelah kananNya.

Jadi seperti itu, walaupun masih terlalu banyak pertanyaan yang belum aku pahami jawabannya. Bagaimana bisa paham kalau aku belum menemukannya? 

Tapi sudahlah, semoga aku bisa menjadi pemberontak sejati seperti Yesus. Memberontak terhadap batasan-batasan yang mengintimidasi, karena Yesus pun memberi kemerdekaan. Namun, penjajahan adalah syarat awal dari kemerdekaan. Bagaimana mungkin ada kemerdekaan kalau tak ada penjajahan? Dan syarat yang kedua, pemberontakan.

Selamat Natal, sambil mendengarkan Aftermath dari Hillsong United.

 
Read More

Tuesday, December 10, 2013

Untuk Selatan Senja


Senja hari ini sudah selesai. Senjanya tak biasa. Bukan hanya karena hujan yang tak sudi untuk segera pulang, tapi karena aku juga baru menyadari kalau aku ada di selatan kota ini. Kota yang baru. Kota yang katanya gemar mempermainkan isi dompet mereka yang menggilai hedonisme. Kota yang kataku senang mendewasakan mereka yang menantang absurditas.

Ada yang aneh di selatan kota ini. Tentang aku yang bersyukur karena sang atasan tak bosan menambah tumpukan berkas yang harus diteliti dan diperbarui. Hitungan-hitungan rumit, laporan angka terperinci yang memuakkan. Bukan karena banyaknya, tapi karena tak henti-henti mempertontonkan nominal yang membayangkannya pun aku tak pantas.

Seharusnya aku bersungut-sungut karena pusing tujuh keliling. Tapi aku tertawa saja karena ada yang menyulut si gelak. Memang tidak terbahak-bahak sampai rahang mendadak pegal dan perut menjadi kaku. Bukan pula tawa sinis karena tak sanggup melawan kuasa yang lebih besar, tuan yang lebih kaya dan otak yang lebih cemerlang. 

Tawa seadanya, bukan tawa akibat gelitik geli ataupun komedi kocak. Kalau kamu penasaran, tawa ini teduh. Teduh karena ada yang menemani, walau bertemu pun masih tak sampai.

Selatan dan senja sering mengagetkanku lewat rindu. Rindu picisan. Tapi aku tak pernah takut menjadi picisan. Siapalah aku yang berhak meminta menjadi mahakarya?

Rindunya konyol. Sekonyol cerita-cerita yang tak layak tayang. Tapi rasanya lebih baik menjadi konyol daripada mengerling genit apalagi bermuram munafik.

Di selatan sini, senjanya sudah selesai. Tapi hanya untuk hari ini, karena besok akan ada senja yang baru. Senja dengan kopi panas harga tiga ribu segelas. Senja dengan kesombongan kita sendiri, lengkap dengan kepul asap rokok masing-masing. 

Jadi, kamu ingat-ingatlah ini. Kita persetankan saja yang datang mengusik - karena besok, senja akan menjadi cantik.

Hey kamu, terima kasih untuk kicauan-kicauan manisnya.
Read More

Tuesday, December 3, 2013

Untuk RW

Maafkan karena pada akhirnya aku tahu namamu. Tapi percayalah hanya sampai di situ. Aku tak akan mencari tahu bagaimana wajahmu, di mana rumahmu atau apa mata kuliah favoritmu.

Rasanya mengucapkan "sama seperti aku yang bisa tetap kuat, kamu juga harus kuat" tidak akan pernah menjadi relevan. Kita sama-sama pernah dikhianati oleh orang yang kita salutkan, sama-sama pernah dilecehkan oleh apa yang kita anggap sakral. Sakitnya memang luar biasa, tapi tetap saja apa yang kamu rasakan jauh lebih sakit dari apa yang aku rasakan.

Ah, cukuplah membanding-bandingkan sakit dan beban. Karena kita menahan perih masing-masing, sebab kita melawan malu masing-masing.

Jadi, surat ini tak akan panjang. Akupun paham kalau kamu sudah terlalu muak dengan banyak hal. Dengan olok-olok yang menikammu, dengan belas kasihan yang merendahkanmu. Tapi di atas segala muakmu, di atas segala takutmu - kuatlah. Tetaplah kuat, karena mereka akan menerkammu saat kamu menolak untuk menjadi kuat.

-Marini Saragih-
Read More
anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena