Hallo kamu, apa kabar? Sudah lama ya?
Tunggu, kalau melihat hitungan hari – belum menyentuh angka tiga puluh. Tapi
rasanya sudah lama. Memang tidak terlalu lama. Tapi ya, cukup lama.
Hari ini aku membaca Gandhi. Katanya, apa
yang kamu lakukan itu tidak penting – karena yang penting adalah kamu melakukan
hal itu. Rasanya sedikit melegakan karena aku bukan orang yang pintar. Terlalu
banyak yang tidak aku tahu apalagi pahami. Yang aku tahu hanya yang aku
inginkan, walau aku tak paham tentang pantas-tidaknya aku menginginkan hal itu.
Menunggu belasan tahun itu tidak terlalu
menyenangkan. Kadang ada takut karena ia terlampau jauh. Ada malu karena ia
terlalu hebat. Tapi terkadang juga ada riang, karena nyatanya ia tak pernah
menghilang. Kalau boleh jujur, mungkin hari ini aku sudah bisa menggapainya.
Tapi terkadang hidup hanya memperbolehkan untuk memilih satu. Dan kalau boleh
lebih jujur lagi, akhir-akhir ini ada sesal karena aku tak bergegas meraihnya.
Karena aku memilih untuk mendahulukan yang sampai detik ini masih menjadi ketidakjelasan. Selama
hidup aku tidak pernah menjadi penjudi ulung, dunia sering tertawa karena aku
sering kalah dalam bertaruh. Tapi sekeji apapun bayangan tawa mereka, tetap ada yakin di dalam sini untuk meraih apa yang tidak pernah hilang selama belasan tahun tadi - walau secara analogi, besarnya tak melebihi biji sesawi.
Pernah membaca tentang Marcuse? Aku
menyukai segala gagasannya. Katanya teknologi adalah penyakit yang
memporak-porandakan manusia dalam masyarakat modern. Teknologi membuat manusia
mengasingkan kemanusiaan dari dalam dirinya. Katanya merusak, karena manusia
menyerahkan kemerdekaannya kepada teknologi tadi. Lantas aku berpikir tentang
kita. Seandainya teknologi tidak mempertemukan dalam dunia maya, mungkin
kekonyolan ini tidak bakal ada. Kekonyolan yang sedikit menghidupkanku kembali,
kekonyolan yang pada kenyataannya membuatku tersenyum-senyum sendiri saat
mengingat setiap detail yang terlanjur terjadi.
Kalau kamu mau tahu, pada awalnya aku
sudah menjadi manusia yang teralienasi. Aku sendiri yang memutuskan untuk
menyingkirkan hal-hal semacam ini atas dasar masa lalu. Tapi nyatanya kamu
sehebat itu. Sanggup membuatku mengacuhkan segala hal pahit yang membuatku
jengah untuk kembali bersinggungan dengan segala jenis romantisme. Kalau
Marcuse bisa membaca ini, mungkin ia akan tersenyum lega. Karena pada dasarnya,
teknologi yang dikutuknya tak selamanya berlaku tak adil. Buktinya, aku bisa
kembali menjadi manusiawi. Manusia dengan segala keutuhannya yang terbentuk
dari ketidaksempurnaannya. Kentalnya kenaifan menggiringku kepada kemanusiaan
yang sebenarnya. Menolak untuk menjadi sempurna dengan mulai menyeimbangkan
logika dan perasaan pada puncak klasemen segala daftar kebutuhanku. Kalau
dipikir-pikir, siapa aku yang sanggup menolak mentah-mentah segala iming-iming
yang kerap ditawarkan romantisme? Bahkan Ricardo Kaka rela memangkas gaji atas
nama kerinduan untuk mengecap kembali setiap cerita manis yang sempat ia ukir
lewat permainan olah bola di lapangan hijau ala San Siro. Jadi rasanya sah-sah saja
saat terkadang aku mulai mencari penyeimbang logika.
Kamu bilang aku ini aneh. Aku mengamini
segala justifikasi tadi setelah berkaca dan melihat keanehan yang bercokol pada
setiap jengkal pikiran. Keanehan yang saat ini membuatku enggan menyentuh
kembali cara hidup mereka yang normal. Kalau boleh jujur, terkadang aku ingin
menjadi normal. Menjadi serupa dengan mereka yang pernah atau bahkan saat ini
membuat jantungmu bergerak sedikit di atas batas kewajaran setiap nama mereka
melintas di dalam otak. Entah aku yang terbiasa dengan ketidaknormalan, entah
aku yang terlanjur tenggelam dalam iming-iming idealisme – pada akhirnya aku
menolak untuk menjadi normal. Rasanya seperti menipu diri sendiri. Percaya saja kalau
aku sudah pernah mencoba. Tetapi pada akhirnya berpura-pura tidak tertarik kepada
apa yang menjadi isi kepala Theodor Adorno dan menggantinya dengan keinginan untuk
menjalani cerita seperti yang disuguhkan oleh drama-drama Korea sama saja dengan
menjebloskanku dalam kemunafikan. Berpura-pura mengawali hari dengan Sunday Morning dan mengacuhkan International You Day sama saja dengan mengakui kalau Massimiliano Allegri jauh lebih jenius dibandingkan dengan Brian Howard Clough. Berpura-pura mengamini bahwa pertandingan
sepakbola antarkampung tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sepakbola ala Eropa sama saja
dengan menyangkal keyakinanku tentang apa yang aku definisikan sebagai
kebahagiaan. Rasanya mencoba untuk sama seperti mereka yang memproklamirkan
kesiapan diri untuk tunduk dalam ikatan pernikahan itu sama saja dengan berkoar-koar
kalau aku adalah bagian dari ultras tribun selatan San Siro. Bukan karena tak
ingin, tapi karena masih terlalu sakral. Kesakralan yang buatku pribadi
dibuktikan oleh keharusan untuk mengganti "aku" dan "kamu" menjadi "kita".
Jadi pada akhirnya aku mengamini
perkataan Gandhi tadi. Mungkin segala sesuatu yang aku lakukan tentang kamu
tidak pernah menjadi penting. Tidak penting karena sampai detik ini aku masih
tak paham tentang ujung yang bakal aku temui. Tidak penting karena mungkin kamu
juga tidak pernah menganggapnya sebagai sesuatu yang penting. Tapi yang
terpenting aku sudah dan mungkin masih akan melakukannya. Kalau ditanya
tujuannya, aku juga tidak terlalu paham. Satu-satunya yang aku yakini sebagai
tujuan adalah karena aku memang menginginkannya.
Aku percaya kalau tidak ada jaminan
apapun yang mampu diberikan oleh hidup, karena bagaimanapun juga hidup bukanlah
gadget yang memberikan fasilitas garansi. Mungkin ke depannya akan ada sesal,
akan ada gerutu atau mungkin lega dan tawa. Tapi atas segala hal pahit dan
manis yang sama-sama menanti, aku juga meyakini kalau suatu saat aku akan
seperti Hitler. Hitler yang di balik segala kekejaman Holocaust-nya tetap
menulis “Aku bersyukur kepada Tuhan bahwa
sebagian kenanganku pada masa-masa bahagia
itu masih melekat padaku” di atas lembaran kedua puluh Mein Kampf volume satu.
Mungkin
tulisan ini menjadi salah satu
hal teraneh yang pernah kamu baca, seaneh rasa senang saat aku membaca
tanda senyum yang sering kamu selipkan dalam pesan singkat. Dan atas
segala keanehan itu, mungkin lebih baik aku segera menyelesaikan tulisan
ini
sebelum kamu menjadi atau bahkan bertambah mual. Tapi sebelum berakhir, jangan
lupa kamu sendiri yang
bilang kalau aku memang menaruh minat pada sejumlah keanehan. Berarti saat aku
mempersetankan sakit kepala yang kurang ajar dan merelakan jam-jam tengah malamku hanya untuk menulis ini, aku juga
mendefinisikanmu
ke dalam suatu keanehan – jadi jangan berbangga diri. Haha.
Ya sudahlah, di atas
segalanya - terima kasih untuk semua keanehannya. Dari sini mendoakan semoga mereka yang kamu puja dan bela bisa memberikan hadiah kemenangan. Lantas hari ini, jangan lupa untuk
berbahagia dan membahagiakan. *tanda senyum*
Read More