“We hoped, suffered, celebrated and rejoiced. We
lifted cups and won titles together in our hearts. We have always been on the
same wavelength. And no one can ever take that away from us.” (Filippo Inzaghi,
May 2012)
Hari ini, saat ini, tepat waktu aku memutuskan untuk kembali menulis, ada deadline-deadline yang sedikit tertunda. Tanggungjawab dan rutinitas yang memang penting berangsur-angsur berubah menjadi hal yang membosankan dan tidak menarik for something I’ve loved suddenly just filled my mind. Seorang teman yang aku temui di dunia maya yang membuatku mendadak melupakan tumpukan deadline tadi. Dia seorang penari dan penulis sekaligus, hidup dalam dua passion yang berbeda dan dia yang mengingatkanku tentang kegilaanku yang konyol akan sepakbola.
Waktu itu 24 Januari 1999. Lebih dari 13 tahun yang lalu aku pertama kali melihat mereka meliuk-liuk liar, mendengar mereka berteriak histeris, memikirkan apa yang membuat mereka rela bersakit-sakit menjatuhkan diri dan terdiam heran menyaksikan sorak-sorai sesaat setelah seorang pria berpakaian aneh lengkap dengan tulisan “GULY” di bagian punggung berhasil menyarangkan bola ke salah satu gawang. “Ini cuma tentang sebuah bola dan 90 menit di lapangan, mereka gila!” Aku bahkan tidak mengerti tentang apa yang sedang aku tonton.
Belum lagi kalau mengingat tentang apa yang terjadi beberapa tahun kemudian. Saat seorang bertajuk Carletto menjadi boss si iblis merah. Saat-saat semua orang ikut terpana menyaksikan penyelesaian magis Shevcenko dan Inzaghi maupun permainan tanpa kompromi Pirlo dan Kaka. Saat semua orang memahami keindahan sliding tackles Maldini dan Nesta serta mengakui ketangguhan seorang Abbiati. Dan tidak usah diragukan lagi soal permainan berkelas ala Rui Costa, Gattuso dan Seedorf. Milan yang aku (dan mungkin semua orang) lihat adalah keunikan bagi sepakbola Italia. Sebuah tim yang menggabungkan gaya bermain attractive tanpa mengabaikan kekokohan pertahanan. Dan yang pasti, Milan yang aku lihat saat itu adalah Milan yang mampu memberikan that safe feeling di setiap laga.
Namun sedikit demi sedikit perasaan aman itu semakin labil. Kadang yang datang cuma rasa was-was. Leonardo yang dulu selalu memanjakanku dengan pesonanya mendadak menjadi orang yang paling memuakkan. Pirlo dan Kaka memang belum berhenti menunjukkan aksi-aksi briliannya, tapi bukan untuk Milan. Dan Maldini, pada akhirnya dia memutuskan untuk gantung sepatu. Belum lagi Ibrahimovic dan Silva yang sempat mengembalikan perasaan aman itu, pada akhirnya mereka pun harus hengkang. Orang-orang bilang mereka bukan pengkhianat, tapi mereka yang dikhianati. Dan Cass.. Ah, lupakan saja nama itu!
Rasa was-was menjadi perasaan yang dominan saat melihat sederet nama yang didaulat untuk bertanding dari satu giornata ke giornata lain. Rasanya aneh waktu melihat nama-nama yang tidak tercantum pada posisi (yang mungkin) seharusnya menjadi signature mereka, seaneh saat mengakui kalau sejauh ini Milan hanya mampu berdiri di peringkat 15. Tapi di tengah-tengah this shitty condition, rasanya semakin aneh waktu menyadari kalau harapan itu masih ada. Semacam konyol waktu menyadari kalau harapan itu muncul saat menyaksikan seorang pemuda dengan potongan rambut aneh yang berkali-kali mempertontonkan Gangnam Style di lapangan atau saat membaca pujian bertubi-tubi atas kejeniusan seorang De Sciglio. Harapan yang mungkin terlalu dini (but who knows) juga muncul saat menyaksikan permainan akrobatis seorang bocah berumur 14 tahun, bocah yang sempat mengundang decak kagum berbagai kalangan karena berhasil melakukan juggle dengan menggunakan jeruk dan bola ping-pong. Dan harapan itu juga muncul bersamaan dengan rasa cemas karena semakin dekatnya nama Bryan Cristante dengan juara Champion League tahun lalu. Harapan ini bukan sekedar kepercayaan tentang gelar juara, tetapi sebuah harapan kalau 10 atau 12 tahun lagi akan ada nama-nama baru, nama-nama yang dengan seragam merah-hitamnya tercatat sebagai legenda sepakbola.
Read More
Hari ini, saat ini, tepat waktu aku memutuskan untuk kembali menulis, ada deadline-deadline yang sedikit tertunda. Tanggungjawab dan rutinitas yang memang penting berangsur-angsur berubah menjadi hal yang membosankan dan tidak menarik for something I’ve loved suddenly just filled my mind. Seorang teman yang aku temui di dunia maya yang membuatku mendadak melupakan tumpukan deadline tadi. Dia seorang penari dan penulis sekaligus, hidup dalam dua passion yang berbeda dan dia yang mengingatkanku tentang kegilaanku yang konyol akan sepakbola.
Waktu itu 24 Januari 1999. Lebih dari 13 tahun yang lalu aku pertama kali melihat mereka meliuk-liuk liar, mendengar mereka berteriak histeris, memikirkan apa yang membuat mereka rela bersakit-sakit menjatuhkan diri dan terdiam heran menyaksikan sorak-sorai sesaat setelah seorang pria berpakaian aneh lengkap dengan tulisan “GULY” di bagian punggung berhasil menyarangkan bola ke salah satu gawang. “Ini cuma tentang sebuah bola dan 90 menit di lapangan, mereka gila!” Aku bahkan tidak mengerti tentang apa yang sedang aku tonton.
I called them as
the magical first love
Aku masih bisa
mengingat dengan jelas tentang apa yang aku pikirkan waktu itu. Mungkin semacam
ungkapan ketidakpahaman tentang apa yang sedang aku saksikan, tentang dua kelompok
pria yang waktu itu berseragam putih-merah dan kombinasi biru-merah yang berlaga
di dalam satu lapangan. Sebuah ketidakpahaman yang tumbuh menjadi rasa
penasaran dan berkembang menjadi candu. Entah kebetulan atau memang takdir, tak
jarang ia hadir bersamaan dengan peristiwa-peristiwa kecil namun sentimentil
yang akhirnya mau tidak mau membuatku mengaku kalau ini semacam cinta pada
pandangan pertama. Tapi tenang saja karena ini bukan cinta remaja seumur
jagung, karena tetap humanis dan bukan cinta buta.
Lebih dari 13
tahun yang lalu aku membayangkan tentang sebuah tim yang akan selalu berada di atas
angin, tim yang akan selalu memberikan kebahagiaan berupa kemenangan bagi
setiap orang yang rela mengurangi jam tidur hanya untuk menonton mereka
menggiring si kulit bundar ke gawang lawan. Lebih dari 13 yang tahun lalu aku
membayangkan Milan yang tak akan terkalahkan, Milan yang akan selalu
membahagiakanku lewat gol-gol spektakuler George Weah dan penyelamatan dramatis
ala Rossi. Lebih dari 13 tahun yang lalu pula aku meyakini kalau
penjagaan-penjagaan ketat namun enjoyable
khas Paolo Maldini dan Costacurta, serta pesona seorang Leonardo dan Zvonimir
Boban akan selalu bergantian memanjakanku.
Il Meravigliosa,
how we miss that time
Belum lagi kalau mengingat tentang apa yang terjadi beberapa tahun kemudian. Saat seorang bertajuk Carletto menjadi boss si iblis merah. Saat-saat semua orang ikut terpana menyaksikan penyelesaian magis Shevcenko dan Inzaghi maupun permainan tanpa kompromi Pirlo dan Kaka. Saat semua orang memahami keindahan sliding tackles Maldini dan Nesta serta mengakui ketangguhan seorang Abbiati. Dan tidak usah diragukan lagi soal permainan berkelas ala Rui Costa, Gattuso dan Seedorf. Milan yang aku (dan mungkin semua orang) lihat adalah keunikan bagi sepakbola Italia. Sebuah tim yang menggabungkan gaya bermain attractive tanpa mengabaikan kekokohan pertahanan. Dan yang pasti, Milan yang aku lihat saat itu adalah Milan yang mampu memberikan that safe feeling di setiap laga.
Namun sedikit demi sedikit perasaan aman itu semakin labil. Kadang yang datang cuma rasa was-was. Leonardo yang dulu selalu memanjakanku dengan pesonanya mendadak menjadi orang yang paling memuakkan. Pirlo dan Kaka memang belum berhenti menunjukkan aksi-aksi briliannya, tapi bukan untuk Milan. Dan Maldini, pada akhirnya dia memutuskan untuk gantung sepatu. Belum lagi Ibrahimovic dan Silva yang sempat mengembalikan perasaan aman itu, pada akhirnya mereka pun harus hengkang. Orang-orang bilang mereka bukan pengkhianat, tapi mereka yang dikhianati. Dan Cass.. Ah, lupakan saja nama itu!
That feeling when
you try to make a deal with this picture
Rasa was-was menjadi perasaan yang dominan saat melihat sederet nama yang didaulat untuk bertanding dari satu giornata ke giornata lain. Rasanya aneh waktu melihat nama-nama yang tidak tercantum pada posisi (yang mungkin) seharusnya menjadi signature mereka, seaneh saat mengakui kalau sejauh ini Milan hanya mampu berdiri di peringkat 15. Tapi di tengah-tengah this shitty condition, rasanya semakin aneh waktu menyadari kalau harapan itu masih ada. Semacam konyol waktu menyadari kalau harapan itu muncul saat menyaksikan seorang pemuda dengan potongan rambut aneh yang berkali-kali mempertontonkan Gangnam Style di lapangan atau saat membaca pujian bertubi-tubi atas kejeniusan seorang De Sciglio. Harapan yang mungkin terlalu dini (but who knows) juga muncul saat menyaksikan permainan akrobatis seorang bocah berumur 14 tahun, bocah yang sempat mengundang decak kagum berbagai kalangan karena berhasil melakukan juggle dengan menggunakan jeruk dan bola ping-pong. Dan harapan itu juga muncul bersamaan dengan rasa cemas karena semakin dekatnya nama Bryan Cristante dengan juara Champion League tahun lalu. Harapan ini bukan sekedar kepercayaan tentang gelar juara, tetapi sebuah harapan kalau 10 atau 12 tahun lagi akan ada nama-nama baru, nama-nama yang dengan seragam merah-hitamnya tercatat sebagai legenda sepakbola.
Just like what
Nesta said, we still have some hope
Seorang teman
pernah berargumen kalau fanatisme itu bukan matematika, fanatisme itu muncul
karena alasan-alasan yang tidak bisa diukur. Karena fanatisme bukan berbicara
soal hitungan trophy atau jumlah
bintang pada jersey. Terkesan
diplomatis tapi ini adanya. Melihat separah apa kondisi Milan saat ini, semacam mustahil untuk tetap
menggantungkan harapan pada apa yang ada. Tapi sekali lagi, ini bukan soal
cinta remaja seumur jagung. Ini soal the
unconditional love yang pada akhirnya mendorong untuk tetap percaya, berharap
dan mendukung.
Masa depan Milan memang bicara soal
jangka panjang, bukan melulu soal scudetto
atau Champion League 2012-2013. Tapi
jangan lupakan kalau marah, kecewa dan mengkritik itu bagian dari dukungan dan
bentuk dari cinta. Tidak ada yang salah dengan dukungan berupa kata-kata manis,
tapi terkadang kritik adalah hal yang paling dibutuhkan untuk bisa bangkit dari
keterpurukan. Faktanya sering kali kata-kata manis yang membuat kita tertidur
dan tidak sadar dengan berbagai kesalahan dan kebodohan yang ada. Dan
membiarkan seseorang yang kita cintai tetap jatuh di kesalahan yang sama adalah
tindakan yang sebenarnya melenceng dari makna cinta itu sendiri.
“Just like what we face in life we also face
both good time and bad time in football, but the most important thing is how to
stick with the team.”, seorang Tony yang aku kenal dengan nama AC Milan
Sydney pernah berbicara hal ini denganku lewat akun Twitternya. Sepakbola itu
ajaib bagi siapapun yang mencintainya, begitupun dengan Milan. Kalimat ini bukan tentang rasa cinta
yang hiperbolis atau bagian dari pengagamaan sebuah klub, karena bagaimanapun
juga ini bukan cinta buta. Aku tidak paham dan tidak terlalu ingin memahami
cara kalian mencintai Milan.
Tapi buatku, pujian bukan hal yang pantas diberikan saat melakukan kesalahan.
Pujian pantas diberikan karena mengakui dan memperbaiki kesalahan.
Milan bukan tim seumur
jagung yang butuh cinta buta khas anak remaja, cinta yang mengkoar-koarkan
“Kalau kalian tidak bisa mendukung di saat kami kalah,………..” Ah, apapun itu
lanjutkan sendiri. Milan
yang sekarang membutuhkan Milanisti yang jujur dan mau menunjukkan kesalahan
yang sebenarnya terjadi, bukan yang ingin dicap sejati. Buat apa takut dicap
palsu atau karbitan karena mengkritik? Ukuran kesejatian Milanisti yang aku
tahu bukan ditentukan dari banyaknya kata-kata manis yang diberikan atau sejak
kapan kita menjadi Milanisti, tapi sampai kita percaya dan mendukung Milan dengan cara yang
dewasa.
Ah sudahlah, ini
bukan tulisan sekelas Matteo Bonetti atau Pete Acquaviva. Cuma sekedar tulisan karena
teringat kepada seorang pria yang hampir 13 tahun lalu berjanji untuk
menghadiahkanku jersey Paolo Maldini tapi
tidak pernah bisa mewujudkannya. And to
be honest I feel connected with that man everytime I watch and talk about
Milan, that’s why Milan means more than a football club to me and that’s why I
love to love Milan in my own way. Forza
Milan for real, for life, forever!