Aku benci dengan tidurku akhir-akhir ini. Tidur yang tak tenang, yang membangunkanku dengan segala sesuatu yang tak pernah berhenti melawanku entah sejak kapan. Ada kalanya ia berdiam, meyakinkanku bahwa semuanya sudah selesai dan akan ada kekekalan pagi-pagi yang baru. Pagi yang tak gelisah, pagi yang tak cemas, pagi yang tak takut. Namun mungkin ia memang sebebal itu atau mungkin senyumku pada pagi terlalu memuakkan untuknya. Lalu ia datang, mengguncang-guncangku sampai aku terbangun. Memperlihatkan taringnya lewat senyum yang tak indah, ketidakkasatmataannya membuatku ngeri. Karena hanya aku yang melihatnya, karena hanya aku yang diguncangnya.
Pagi ini ia kembali menyeringai.
Memamerkan otot-otot dengan lusinan senjata di tangan kanan-kirinya. Siap
merobek, siap menikam, siap membunuh. Aku bukannya Daud yang tak takut walau
hanya bersenjatakan tongkat dan lima batu licin. Aku tanpa senjata, kakiku
pincang, pikiranku kalut, pemandanganku gelap. Siapa yang sanggup melawan kalau
sudah seperti ini?
Lantas pagi ini, saat mentari
masih menyembul malu-malu dari balik kodratnya - dia yang tak pernah menjadi
sedarah namun membuatku mempersetankan hal-hal semacam itu berbicara tentang
apa yang membuatnya terjaga. Katanya si gagal sudah menanti, kacamata hitamnya
membenarkan, kacamata beningnya menyalahkan – namun ia bukan pemakai kacamata.
Katanya ia mau berjalan lagi.
Mengabaikan segala sakit dan pincang kalau nanti memang harus terperosok. Katanya,
ketidaksengajaan menjadi anugerahnya. Tentang siapapun yang ia punya karena
ketidaksengajaan yang tentu saja tak
tertebak. Katanya bakal ada tangan-tangan yang menarik saat lubang hitam
menjadi persinggahannya.
Lalu aku melihat siapa yang
menjadi ketidaksengajaanku. Tentang laki-laki yang membuatku rela merajam kelingking
kananku, tentang pemahamannya yang mendalam walau aku selalu memilih bungkam,
tentang keinginannya agar aku lebih menyayangi hidup. Ada dia juga. Kami yang
terpisahkan oleh jarak dan waktu. Tentang ketidaksengajaan yang bermula dari
perpanjangan tangan kecanggihan dunia maya. Walau sempat ada renggang dan
kecewa, dia sudah kembali. Membawaku kepada tawa tengah malam yang selalu aku
rindu.
Pada awalnya aku hanya sendiri di
kota ini. Waktu yang hampir berjalan kepada kuasa dini hari mempertemukan kami
di sebuah kedai kopi yang hampir tutup. Lalu ada kami di sana. Merangkai tawa
dan canda walau terkadang ada marah di antaranya. Tapi tak mengapa, selama tak
sendiri. Di tengah-tengah segala rasa muakku tentang fanatisme yang enggan
dewasa, aku juga menemukannya. Dia yang lama kelamaan mengaku muak, buatnya
lebih baik merengkuh kepastian daripada bergelimang puji atas segala sesuatu
yang tak akan menjadi milik kami. Aku mengiyakan, mengamini – lalu kami
berjalan menjauh. Meninggalkan mereka yang tak lelah berkoar atas nama pengaguman
yang tak pernah menjadi benar untukku.
Entah apa yang Tuhan mau. Mimpi
lama yang semakin menggebu. Membuatku mereka-reka kapan semuanya bermula.
Sebelas tahun yang lalu, saat gagal belum menyentuhnya. Mimpi yang hanya
menjadi khayalan saat aku jenuh dengan tuntutan mama yang seolah tak mau
berhenti. Kataku dia yang guratan wajahnya baru sanggup aku amati lewat foto
yang terpampang pada satu atau dua media
sosial – memang menyebalkan. Ada angkuh, ada keberhasilan yang membuatku
tertinggal jauh di belakang. Tapi nyatanya dia juga membawaku. Terkadang dia
sememuakkan itu, terkadang dia semanis itu. Aku bermimpi menghidupi mimpiku
lewat tangannya. Keberanian yang mulai membukakan tabirnya sendiri setelah
belasan tahun terkubur dalam realita. Ketidaksengajaan menyebalkan yang mulai
membuatku belajar untuk mensyukuri segala ketidaksengajaan.
Aku tak mau menghitung yang
terakhir ini. Tapi nyatanya ada gejolak kalau dia juga menjadi
ketidaksengajaanku. Ketidaksengajaan yang membuatku sedikit menyentuh apa yang
selama ini aku hindari. Ah, masa bodoh dengan kecewa dan ketidakpastian atau
cibiran mereka karena sedang ada dalam cerita baru. Mungkin akhirnya tak akan
terlalu berbeda, tapi tetap ada sejumput manis yang tak pernah kalian rasa.
Jadi, pagi hari ini tanpa kopi.
Aku ingin bersenggama bersama manisnya teh panas yang semoga saja membuatku
lebih berani untuk mengecap yang manis dan mempersetankan yang pahit. Mengacuhkan
rumah yang tetap belum bisa menjadi rumah untukku, yang membuatku selalu
menjauh. Namun cengkramannya membuatku tak bisa terlalu jauh karena tetap ada
paksaan agar aku terus mengalah. Aku tak
mau kalah lagi. Aku tak mau mendengar tarikan nafas panjang mereka, aku tak mau membaca pesan tentang abang yang tak mau
mengerti, aku tak mau berkorban lagi, aku mau mama berkata cukup, aku mau papa hidup kembali.
Tapi siapa aku yang bisa berkuasa
mengatur segalanya? Jadi anggap saja akan ada ketidaksengajaan baru yang
mungkin akan mempertemukanku dengan pagi yang baru. Ya, anggap saja seperti
itu.