Wednesday, August 28, 2013

Selamat Pagi



Aku benci dengan tidurku akhir-akhir ini. Tidur yang tak tenang, yang membangunkanku dengan segala sesuatu yang tak pernah berhenti melawanku entah sejak kapan. Ada kalanya ia berdiam, meyakinkanku bahwa semuanya sudah selesai dan akan ada kekekalan pagi-pagi yang baru. Pagi yang tak gelisah, pagi yang tak cemas, pagi yang tak takut. Namun mungkin ia memang sebebal itu atau mungkin senyumku pada pagi terlalu memuakkan untuknya. Lalu ia datang, mengguncang-guncangku sampai aku terbangun. Memperlihatkan taringnya lewat senyum yang tak indah, ketidakkasatmataannya membuatku ngeri. Karena hanya aku yang melihatnya, karena hanya aku yang diguncangnya.

Pagi ini ia kembali menyeringai. Memamerkan otot-otot dengan lusinan senjata di tangan kanan-kirinya. Siap merobek, siap menikam, siap membunuh. Aku bukannya Daud yang tak takut walau hanya bersenjatakan tongkat dan lima batu licin. Aku tanpa senjata, kakiku pincang, pikiranku kalut, pemandanganku gelap. Siapa yang sanggup melawan kalau sudah seperti ini?

Lantas pagi ini, saat mentari masih menyembul malu-malu dari balik kodratnya - dia yang tak pernah menjadi sedarah namun membuatku mempersetankan hal-hal semacam itu berbicara tentang apa yang membuatnya terjaga. Katanya si gagal sudah menanti, kacamata hitamnya membenarkan, kacamata beningnya menyalahkan – namun ia bukan pemakai kacamata.

Katanya ia mau berjalan lagi. Mengabaikan segala sakit dan pincang kalau nanti memang harus terperosok. Katanya, ketidaksengajaan menjadi anugerahnya. Tentang siapapun yang ia punya karena ketidaksengajaan yang tentu saja tak  tertebak. Katanya bakal ada tangan-tangan yang menarik saat lubang hitam menjadi persinggahannya.

Lalu aku melihat siapa yang menjadi ketidaksengajaanku. Tentang laki-laki yang membuatku rela merajam kelingking kananku, tentang pemahamannya yang mendalam walau aku selalu memilih bungkam, tentang keinginannya agar aku lebih menyayangi hidup. Ada dia juga. Kami yang terpisahkan oleh jarak dan waktu. Tentang ketidaksengajaan yang bermula dari perpanjangan tangan kecanggihan dunia maya. Walau sempat ada renggang dan kecewa, dia sudah kembali. Membawaku kepada tawa tengah malam yang selalu aku rindu.

Pada awalnya aku hanya sendiri di kota ini. Waktu yang hampir berjalan kepada kuasa dini hari mempertemukan kami di sebuah kedai kopi yang hampir tutup. Lalu ada kami di sana. Merangkai tawa dan canda walau terkadang ada marah di antaranya. Tapi tak mengapa, selama tak sendiri. Di tengah-tengah segala rasa muakku tentang fanatisme yang enggan dewasa, aku juga menemukannya. Dia yang lama kelamaan mengaku muak, buatnya lebih baik merengkuh kepastian daripada bergelimang puji atas segala sesuatu yang tak akan menjadi milik kami. Aku mengiyakan, mengamini – lalu kami berjalan menjauh. Meninggalkan mereka yang tak lelah berkoar atas nama pengaguman yang tak pernah menjadi benar untukku.

Entah apa yang Tuhan mau. Mimpi lama yang semakin menggebu. Membuatku mereka-reka kapan semuanya bermula. Sebelas tahun yang lalu, saat gagal belum menyentuhnya. Mimpi yang hanya menjadi khayalan saat aku jenuh dengan tuntutan mama yang seolah tak mau berhenti. Kataku dia yang guratan wajahnya baru sanggup aku amati lewat foto yang terpampang pada satu  atau dua media sosial – memang menyebalkan. Ada angkuh, ada keberhasilan yang membuatku tertinggal jauh di belakang. Tapi nyatanya dia juga membawaku. Terkadang dia sememuakkan itu, terkadang dia semanis itu. Aku bermimpi menghidupi mimpiku lewat tangannya. Keberanian yang mulai membukakan tabirnya sendiri setelah belasan tahun terkubur dalam realita. Ketidaksengajaan menyebalkan yang mulai membuatku belajar untuk mensyukuri segala ketidaksengajaan.

Aku tak mau menghitung yang terakhir ini. Tapi nyatanya ada gejolak kalau dia juga menjadi ketidaksengajaanku. Ketidaksengajaan yang membuatku sedikit menyentuh apa yang selama ini aku hindari. Ah, masa bodoh dengan kecewa dan ketidakpastian atau cibiran mereka karena sedang ada dalam cerita baru. Mungkin akhirnya tak akan terlalu berbeda, tapi tetap ada sejumput manis yang tak pernah kalian rasa.

Jadi, pagi hari ini tanpa kopi. Aku ingin bersenggama bersama manisnya teh panas yang semoga saja membuatku lebih berani untuk mengecap yang manis dan mempersetankan yang pahit. Mengacuhkan rumah yang tetap belum bisa menjadi rumah untukku, yang membuatku selalu menjauh. Namun cengkramannya membuatku tak bisa terlalu jauh karena tetap ada paksaan agar aku terus mengalah. Aku tak mau kalah lagi. Aku tak mau mendengar tarikan nafas panjang mereka, aku tak mau membaca pesan tentang abang yang tak mau mengerti, aku tak mau berkorban lagi, aku mau mama berkata cukup, aku mau papa hidup kembali.

Tapi siapa aku yang bisa berkuasa mengatur segalanya? Jadi anggap saja akan ada ketidaksengajaan baru yang mungkin akan mempertemukanku dengan pagi yang baru. Ya, anggap saja seperti itu.
Read More

Saturday, August 24, 2013

Sembilan


Aku mengacuhkan numerologi. Untuk apa percaya pada penafsiran angka kalau dunia menyuguhkan kepastian lewat matematika? Biasanya angka ini tak bermakna apapun, karena setelah sembilan selalu ada sepuluh yang menghidupi keberadaannya dengan wajar. Aku ingat tentang cerita di masa kanak-kanak dulu, sewaktu angka sembilan hanya berarti hafalan angka tunggal yang terakhir. Aku ingat tentang cerita di masa sekolah dulu, sewaktu angka sembilan merangsek naik menjadi cara terbaik untuk membanggakan papa.

Lantas umur terus bergulir, terasa lebih cepat daripada seharusnya. Angka sembilan aku harap tak menambah maknanya, karena aku muak dengan segala kerumitan yang tak kunjung enyah dari umur yang semakin menua. Kembali menjadi anak-anak semacam menjadi godaan terbesar, namun apa daya waktu punya aturannya sendiri. Hari ini angka sembilan berarti rindu. Rindu yang menyembul malu dari balik acuh tak acuh. Rindu yang terlanjur memekik di antara tawa dan kesal. Rindu yang membuyarkan kata-kata yang sempat terekam dalam otak untuk kemudian berbaris rapi di sini.

Tentang kamu aku tak bisa menulis panjang, karena ada rindu yang membentang panjang. Jadi, terima kasih untuk sembilannya - untuk semua yang ada di sembilan hari kemarin.
Read More

Friday, August 23, 2013

Yang Penting Ada Kita Di Sana


 Ada yang aneh dengan kita. Karena biasanya aku suka menghitung. Semacam kebiasaan aneh yang membuat otakku dipenuhi oleh angka dan angka. Angka tentang tanggal dimulainya yang tidak biasa. Angka tentang berapa kali mempersetankan jam malam, angka tentang usia dari objek terabstrak sekalipun. Tapi tentang kita sedikit berbeda. Aku tak perduli angka, aku tak mau tahu dengan umur, aku tak mengingat tanggal. Aku hanya paham yang penting ada kita di sana.

Tadi malam aku mendengar dia berbicara tentang kita. Katanya itu ucapanmu. Ucapan singkat yang membuatku tercekat walau berusaha mengacuhkannya. Semacam ada yang aneh, keanehan yang membawaku kepada tahun-tahun di belakang yang belum terlalu lama. Tentang keakraban yang mulai menjadi-jadi saat kita menginjak dunia maya. Lucu, karena di dunia nyata pun kita sudah sering bertemu. Tapi ya sudahlah, yang penting ada kita di sana.

Ada yang tak suka. Lantas telingaku mengatup rapat walau tanpa perintah, jadi biar saja mereka tak suka. Memaki setelah berputar-putar dalam ekspektasi yang terlalu jauh meninggalkan kenyataan. Toh, kamu juga tak perduli. Karena dahi kita memang tak layak untuk berkerut selama kita menjadi kita. Senyum yang mengembang, tawa yang meledak, hati yang menghangat - menjadi apa yang layak atas segala sesuatu tentang kita. Dunia mendoktrin, lidah mengintimidasi seolah tak rela akan apa yang kita jalin. Kata mereka kamu pengkhianat, kata mereka aku pencuri, kata mereka kita brengsek. Kamu hanya tertawa, meyakinkan kalau mereka tak pernah menjadi penting - karena yang penting ada kita di sana.

Hidup mungkin ingin menguji. Jarak menjadi hitungan tersulit, waktu menjadi rumus terumit, kamu menjadi luka tersakit. Walau kita tetap tak ingin, ada renggang di sana - ada kecewa di sini. Aku berpikir tentang kita. Tentang kita yang mungkin akan segera enyah, berganti menjadi aku dan kamu. Lalu aku menyendiri. Memaki segala sesuatu yang pernah aku anggap sebagai kita. Merutuk kebodohan karena aku selalu rela untuk menjadi satu dengan kita. Kata orang masa lalu jangan dianggap. Tapi dengan kita, dia berlaku lain. Mengingatkanku tentang kita. Ada muak yang mengancam, ada rindu yang menyergap, ada kita yang menjaga. Walau kamu ingin beranjak, tetap ada kita yang meraja. Semua menjadi utuh biarpun tak serupa dengan yang dulu. Aku tertawa, mengenyahkan semua yang menyerang  - semua yang menipu. Tak mengapa aku menjadi bodoh, tak masalah aku menjadi naif sebab yang penting ada kita di sana.

Aku mengagungkan Tuhan, terkesima dengan pikiranNya yang tak tertebak. Ada jalan yang berliku, ada tanjakan yang mencekam dan ada langkah yang berat. Namun di akhir segala lelah ada kita yang tetap menjadi kita. Jangan merutuk lagi, karena kita tak sejauh jarak - karena kita tak selampau waktu. Kekal yang pasti tetap masih terlalu jauh untuk direngkuh. Tapi biarkan saja dia terlalu jauh kalau memang harus seperti itu. Lantas lihat saja apa yang ada, tentang aku dan kamu yang ternyata tetap menjadi kita. Acuhkan saja kekal yang masih terlalu jauh dari pasti yang menjamin, percaya saja kalau yang penting ada kita di sana.


Read More

Tuesday, August 13, 2013

Metallica sebagai Antidot Keseragaman & Fetisisme Komoditas



Pada awalnya revolusi industri dan filsafat pencerahan. Pada awalnya kedua hal ini diyakini sebagai awal dari era modern melalui lahirnya konsep-konsep sekularisasi, humanisme dan kebebasan. Semacam usaha manusia untuk mengalahkan berbagai ketakutan serta menegakkan kedaulatannya atas alam dan masyarakat. Ilmu pengetahuan dan teknologi pun diciptakan untuk mempermudah manusia, namun entah bagaimana proses detailnya – keadaan ini mulai berbalik. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi mempermudah namun justru menjadi komponen vital pengendali manusia.


Revolusi industri yang pada awalnya diharapkan dapat membantu mengalahkan ketakutan akibat ketidakpastian kehidupan tradisional justru melahirkan efek bumerang bagi masyarakat sendiri. Layaknya euphoria yang meledak-ledak, pada saat itu Eropa mengalami pertumbuhan industri besar-besaran. Perubahan dalam hal ini tentu saja bukan hanya tentang pergeseran siklus kehidupan dari tradisional yang benar-benar bergantung kepada alam menuju modernisasi yang bergantung pada industrialisasi, tetapi juga berbicara tentang perubahan perilaku dan kesadaran manusia.



Aku bukan orang yang menentang industrialisasi. Menentang secara membabi-buta tanpa mengikutsertakan logika sama saja dengan menjadi naif. Dan tampaknya hidup juga mengajariku bahwa kenaifan bukanlah sesuatu yang pantas untuknya. Apa yang membuatku muak walau tak mampu sepenuhnya mengelak adalah industrialisasi yang pada akhirnya melahirkan fetisisme komoditas yang tentu saja berujung pada alienasi. Tentang sebuah kultur pendewaan komoditas yang menjadi penyebab keterasingan produksi atau buah karya manusia.


Rasa muak itu pada akhirnya menyentuh titik klimaks saat fenomena fetisisme komoditas juga menyentuh hal-hal yang aku anggap sakral. Fetisisme pada kenyataannya mengubah segala pola pikir, spiritual, adat kebiasaan, pengalaman estetis, cara hidup, keyakinan-keyakinan individu atau masyarakat melalui persinggungannya dengan nilai-nilai budaya dan estetika. Musik, contohnya.  Kalau kata Theodore Adorno, “Kekuatan ideologi industri budaya sudah sedemikian rupa hingga konformitas (keseragaman) menggantikan kesadaran.”



Aku tidak lahir dan tumbuh dalam keluarga ataupun lingkungan yang menyukai seni. Sepanjang yang aku ketahui, kedua orang tua’ku menjalani hidupnya dengan sangat serius. Aku tak pernah paham tentang musik yang menjadi kesukaan papa, aku tidak pernah diberitahu tentang siapa penyanyi favorit mama. Yang aku sadari, aku tidak pernah menjadi anak yang penurut. Hidup dalam idealisme yang mungkin menurut orang lain tidak wajar. Ada rasa muak saat aku dipaksa untuk menjalani hal-hal yang seragam. Bukannya membangkang, namun aku terlalu percaya kalau idealisme bukan keangkuhan. Bahwa idealisme adalah keteguhan untuk menjadi aku yang sebenar-benarnya.



Sepanjang hidup, aku membutuhkan perbedaan. Aku tidak mau melahap bacaan chick-lit ala remaja, aku tidak mau tenggelam dalam khayalan yang disuguh-suguhkan sejumlah drama komedi dan terlebih lagi aku tidak mau terhanyut dalam romantisme yang sama.


Entah apa yang ada di dalam pikiranku kira-kira lima atau enam tahun yang lalu. Yang jelas aku hanya menurut sewaktu intuisi memintaku untuk mendengar hal yang belum aku dengar sebelumnya. Sebagian orang menyebut hal itu Nothing Else Matters, sebagian lagi menyebutnya karya Metallica, sebagian lagi menyebutnya wujud penyembahan setan, sebagian lagi menyebutnya sebagai kebisingan. Awalnya aku datang tanpa persepsi apalagi ekspektasi. Namun lama kelamaan lagu itu tidak melulu berbicara soal alunan melodi enam menit tiga puluh detik. Lagu itu pada akhirnya tumbuh dengan berbagai makna – yang jujur, termasuk sulit untuk aku jabarkan. Aku tidak terlalu paham dengan musikalisasi, yang jelas saat enam menit tiga puluh detik itu berlangsung – aku tidak lagi merasa seperti penikmat musik yang duduk diam atau berjingkrak dalam irama. Entah bagaimana caranya, yang jelas atmosfer enam menit tiga puluh detik itu menjadi sangat nyata, senyata kekonyolan romantisme pertama yang aku alami di bangku kuliah, senyata cemooh mereka yang tak setuju dengan idealisme yang menjadi buah pikirku, senyata kejutan-kejutan yang diberikan oleh hidup tanpa henti.


Metallica tak pernah menjadi satu-satunya soundtrack buatku. Ada begitu banyak nama dan ada satu yang terbesar. Dan mungkin jika dibandingkan dengan yang lain, pengagumanku akan segala sesuatu yang datang dari Metallica begitu terlambat. Salahkan aku yang memang kurang peka terhadap keajaiban mereka. Namun satu hal yang aku paham, Nothing Else Matters datang sebagai antidot atas keseragaman romantisme yang ditawarkan dunia  dengan industri musiknya. Romantisme yang kalau boleh jujur telah direkayasa oleh fetisisme komoditas industri yang memuakkan. Mungkin Metallica belum pernah menyentuh sisi humanisku yang terdalam, namun lewat kegaharan dan kebisingannya – mereka dan musiknyalah yang mampu membawaku ke dalam romantisme yang tak meninggalkan hakikatnya untuk terbebas dari hingar-bingar fetisisme.

Read More
anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena