Tuesday, February 18, 2014

Abang

Papa, aku punya seorang abang - tapi tak sedarah dengan kita. Ia tak pernah menendang-nendang perut mama dari dalam rahim yang ukurannya pun aku tak tahu. 

Aku bertanya macam-macam padanya, ia juga menjawab macam-macam. Kami bercerita ini dan itu, tertawa-tawa sambil sesekali mengisyaratkan kecewa pada sederet nama.

Papa, sudah lama aku tak berbicara dengan abang. Abang yang asli, yang sedarah dengan kita. Aku tak pernah rindu dia, besok-besok kami juga pasti bertemu. Sekarang kubiarkan saja dia sibuk dengan apa yang dikerjakannya. Toh, mau senyaring apapun suaraku juga tak akan didengarnya.

Sebentar lagi abang yang tak sedarah dengan kita itu akan punya anak kedua. Akan kubelikan buku dongeng, supaya nanti kalau sudah besar dia tak akan kaget mendengar omongan orang-orang yang tak ada habisnya. Supaya nanti kalau sudah besar matanya tak lagi mengerjap-ngerjap penuh harap pada kilau tawaran dunia.

Papa, berkenalanlah dulu dengan abangku yang satu ini. Meskipun tak memanggilmu "papa", tapi ia satu-satunya yang bilang; "Oalah, cepat sembuh ya," padaku.

Bandung, 18 Februari 2014
Read More

Saturday, February 15, 2014

60

Tadinya, aku juga tidak paham apa artinya 60. Angka 6 dan 0 yang diletakkan berdampingan, jadilah 60. 

Menurut numerologi yang entah apa maksud dan tujuannya, 60 itu berarti ibu dari segala angka. Angka yang berarti simbol dari prinsip mengemong, kepedulian. Katanya, 60 itu angka yang bekerja dan membangun, tugasnya menjaga harmoni.

Jenius-jenius teologi itu juga bilang kalau ada unsur manusia dalam 60. Angka 6 sering mereka terjemahkan sebagai angka manusia. Ingat ayat Alkitab kalau manusia diciptakan pada hari ke-6, bukan? Omongan mereka aku lanjutkan dengan melihat 0. 0 berarti kosong. Kata Tong Som Cong, kosong adalah berisi. Berarti 60 itu manusia kosong tapi ada isinya. Mungkin begini. Sejatinya, manusia itu tak ada apa-apanya, tapi bukan berarti ia tak bisa melakukan hal-hal yang bermakna.

Kalau ini omongan cendekia-cendekia Muslim. Kata mereka, saat berusia 60 tahun, Nabi Muhammad melaksanakan Haji Wada' yang disertai puluhan ribu umat Muslim dari entah berapa banyak suku dan kabilah yang telah memeluk Islam. Ia berangkat dari Madinah pada hari Sabtu tanggal 25 bulan Dzulqa'adah tahun ke-10 Hijriah. Aku pernah membaca kalau mereka meyakini bahwa tahun ini adalah tahun kemenangan Nabi Muhammad dan umat Muslim, pasalnya, di tahun ini mereka bisa melaksanakan ibadah haji dengan aman dan damai.

Astrologi Cina juga melihat peristiwa tadi lewat kacamatanya. Kalau tidak salah, ini bertepatan dengan tahun 631 Masehi, yang dalam kalender Cina berada dalam pengaruh shio kelinci berunsur logam emas. Mereka bilang dalam astrologi Cina, ini hanya terjadi dalam siklus 60 tahunan. Konon, orang akan memasuki tahun di mana shio dan unsurnya sama dengan shio dan unsur sewaktu mereka dilahirkan.  

Ah, membicarakan 60 saja sampai serumit itu. Dasar manusia-manusia kurang piknik! Itu istilah yang aku kenal dari Mas Zen, lengkapnya Zen Rachmat Sugito. Kamu tak perlu mengenalnya, dia hanya orang aneh yang mengingatkanku untuk selalu berpikir. Kurasa dia pun bukan orang yang menulis untuk dikenal di sana-sini. Mungkin di antara sekian banyak orang yang mengaku mengidolakan mendiang Pram, dia adalah bagian dari segelintir orang yang paham kalau seandainya mendiang Pram masih hidup - ia pun akan gulana sendiri melihat riuhnya gembar-gembor pengidolaan itu. Pram tak mau jadi idola, itu yang aku yakini. Tapi tunggu, sepertinya aku pun jadi kurang piknik.

Buatku, 60 itu sederhana saja. Ia memang angka biasa. Tapi terkadang hal-hal biasa juga jago dalam mengingatkan hal-hal tertentu.

Kamu tahu? Buatku, 60 itu berarti 15 tahun kita. Kita di sini tentu saja aku dan kamu. Aku yang membandel dan nekat melamar pekerjaan sebagai asisten manajer keuangan walau tak mahir menyembunyikan ke-4 tatoku. Aku dengan segala kedegilan yang tak mempedulikan "merokok membunuhmu". Aku yang menjadi tegar tengkuk tak mau berhenti menumpahkan kata demi kata di atas kertas - baik kertas secara harafiah, maupun kertas-kertas elektronik yang baru kelihatan wujudnya bila aku sudah mengisi paket internet bulanan. 

Tentang kamu, ya kamu. Kamu yang membuatku bertanya-tanya tentang apa yang sedang kamu terima sekarang, bahagia atau siksa. Hey, aku harap bukan kemungkinan yang terakhir. Kamu ya kamu, siapa lagi? Orang yang mengajariku tentang perasaan maha kurang ajar lagi memuakkan bernama rindu, yang teramat mahir membuat lidahku tak lagi terbiasa untuk mengucap kata "papa".

Ya sudah - bagaimanapun kamu sekarang - selamat jadi 60 tahun, Pa. Ternyata kamu dan Sócrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Oliveira dilahirkan pada tanggal yang benar-benar sama. Maaf karena aku tak menyimpan fotomu, maaf karena aku tak lulus kuliah.

Bandung, 19 Februari 2014




Read More

Saturday, February 1, 2014

Untuk Dua Perempuan

Hey perempuan pertama,

Datang juga harinya. Hari di mana kamu merasakan sendiri bagaimana rasanya menjadi seorang ibu, mama, bunda atau apapun namanya. Kamu masih kuat, bukan? Ah, pertanyaan bodoh. Aku tahu tak akan kamu jawab dengan "aku masih kuat". Aku tahu kamu akan menjawabnya dengan "aku semakin kuat".

Kalau boleh jujur, hari ini aku membayangkan rasanya menjadi kamu. Tapi nyatanya aku tak sanggup. Mungkin terkadang hal yang berkodrat untuk dirasakan memang tak berjodoh dengan dibayangkan. 

Sore ini aku kembali menggauli kopi pahit yang menjadi kesukaanku. Pekat sekali. Lucu juga waktu menyadari kalau aku bisa begitu menyukai cairan sepahit dan sepekat ini. Tapi kamu tahu, RW, pahitnya kopi selalu ampuh untuk menghilangkan kantukku. Gejala biologis kurang ajar yang tak jarang membuatku tak teliti dalam menuliskan sebuah kata dan terlambat dalam mengejar tenggat waktu pekerjaan. 

Oh, bukan. Aku bukannya akan memetaforkan pahitnya kopi dengan kalimat-kalimat moralis semacam itu. Aku pun muak dengan moral, RW. Muak sekali. Aku tak akan melanjutkan cerita kopi tadi dengan kalimat "rasa pahit itu akan membuatmu terjaga dan tak jatuh dalam kesalahan masa lalu". Sepahamku, RW, kamu adalah perempuan tangguh yang percaya bahwa kehidupan adalah hak bagi siapapun. Termasuk bayi cantik yang tadinya bersemayam dalam tubuhmu itu. Kamu menantang malu, menghajar tragedi dengan berani. Tak peduli langkahmu yang terseok-seok, kamu tetap melawan bandit-bandit itu walau tak berbekal senjata canggih. 

Yang mau aku sampaikan, sama seperti pahitnya kopi tadi, pahit dan pekat yang kamu rasakan akan membuatmu tetap terjaga. Lantas sanggup melihat dan merasakan sendiri cinta dari orang-orang yang bahkan belum pernah kamu dengar namanya.

Kamu mau membaca pengakuanku? Aku tak pernah membayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang ibu. Merasa pantas pun tidak. Aku perempuan yang gagal menjaga ini dan itu. Tapi, RW, sekarang kamu adalah seorang ibu. Benar-benar seorang ibu. Setahuku, ibu itu begitu mulia. Sepahamku, cinta itu berpihak pada sebentuk kemuliaan.

Jangan pernah takut apalagi jijik dengan cinta, RW. Buat apa? Toh, Tuhan sendiri yang berkata kalau cinta itu tak pernah gagal - karena cinta itu adalah Tuhan sendiri.

Kamu, RW, berbahagialah dengan segala cinta yang kamu dapat dari orang-orang yang tak peduli dengan nama lengkapmu - orang-orang yang tak peduli seperti apa wajahmu, orang-orang yang peduli bahwa kamu adalah manusia yang tak pantas diinjak-injak oleh apa dan siapapun.

Jadi, sekarang istirahatlah, kadang kebahagiaan itu membuat lelah. Selamat menjadi seorang ibu, selamat berbahagia dan membahagiakan. Peluk, cium dan cinta untukmu.


Hey perempuan kedua,

Aku penasaran dengan tangis pertamamu. Kalau aku ada di sana, mungkin aku akan segera berlari ke toilet. Ikut menangis di dalam bilik yang aku kunci pintunya. Aku tak berharap kalau tangisanmu akan serupa genderang perang di telinga moralis-moralis palsu itu. Aku berharap tangisanmu serupa nyanyian merdu yang menyejukkan telinga mereka yang diinjak-injak atas nama moral. Telinga-telinga yang sebenarnya juga merindu ketulusan dan nihilnya ucapan pura-pura.

Kita sama-sama perempuan. Suatu saat kamu akan ikut mengamini kalau menjadi perempuan itu tak mudah. Dikekang sana-sini, dijadikan boneka atas nama moral, agama, etika bahkan yang paling memuakkan, kebaikanmu sendiri. Nanti, kamu akan melihat seperti apa hidup itu. Tak semenyenangkan dongeng-dongeng pengantar tidurmu. Tapi kamu juga harus tahu, hidup itu tak semurahan kepalsuan mereka yang menghakimimu. Jadi berbahagialah karena kamu sudah menerima kehormatan bernama kehidupan.

Apa kata-kataku menakutimu? Jangan takut. Hidup itu memang kurang ajar, tapi kamu tak perlu menjadi kurang ajar untuk menghadapinya. Jadilah kuat dan berani. Dengan menjadi demikian, segala kekurangajaran itu akan ciut nyali dan takluk padamu. 

Kamu, bayi perempuan yang baru lahir, kamu lahir dengan begitu banyak cinta. Cinta yang membuat orang-orang tak perlu tahu namamu untuk ikut mendoakanmu. Aku dan mereka tak perlu hafal bentuk wajahmu untuk ikut menjagamu, tak perlu menjadi sedarah denganmu untuk ikut berbahagia atas kehadiranmu.

Kamu, bayi perempuan yang baru mengeluarkan tangisan pertamamu, kamu itu begitu murni dan ibumu begitu mulia. Kalian perpaduan sempurna yang menjadi bukti tentang sehebat apa cinta yang tak bersyarat itu.

Sekarang sudah malam. Kamu tidurlah yang nyenyak. Semoga nanti aku, kamu dan ibumu bisa menghabiskan sore dengan minum kopi bersama. Tapi sekarang kamu jangan minta kopi, susu adalah yang terbaik untukmu. Dan kalau kita bertemu nanti, berjanjilah kamu tak akan memanggilku tante. Aku tak suka, rasanya terlalu tua. Panggil Marini saja, itu namaku. Atau kalau kamu mau, Incun juga boleh. Itu panggilan aneh yang jadi kesayanganku. Nanti aku akan mengajakmu menonton sepakbola, kita akan bersenang-senang. Saranku, jangan mau menjadi penggemar AC Milan sepertiku, itu klub yang payah - tapi entahlah nanti.

Jadi, selamat datang ke dunia. Peluk, cium dan cinta untukmu.

Bandung, 1 Februari 2014
Read More
anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena