Friday, January 31, 2014

Kami, Pukul Lima Sore

Mereka itu teman-temanku, tapi kau diam saja.
Jangan bilang orang lain, nanti mereka berkhotbah
sampai mulutnya berbusa-busa. Capek aku mendengarnya.

Kata mama, dulu papa mati karena teman-temanku itu.
Lalu dia menangis meraung-raung,
tak berhenti-berhenti sampai dua tahun.

Setiap sore aku bersama mereka.
Kami diam saja; tanpa suara.
Buat apa bersuara? Toh, mereka pun tahu kalau suaraku sumbang.

Yang aku lihat, suara itu hanya milk yang rupawan.
Kalau aku yang bersuara, nanti bakal diarak lagi keliling kampung,
seperti orang gila. Sudah dihina, dilempari pula.

Cih.

Sebentar lagi pukul lima, kau pulang sajalah.
Teman-temanku sudah mau datang, nanti kau jijik.
Karena biasanya mereka akan berubah jadi abu dan ampas.

Kalau aku jadi apa, katamu?
Jawablah sendiri, kau kan pintar.

Bandung, 31 Januari 2014
Read More

Sunday, January 26, 2014

Menulis yang Kamu Sampaikan



"Biarkan sejarawan mereka yang menulis, kalau aku yang menulis, terkesan bukan ranahnya.  Itu saja.”


Kalimat ini muncul pada fitur pesan singkat ponselku. Nama pengirimnya namamu. Kubaca sekali dua kali, kututup fiturnya. Kubuka, kubaca tiga empat kali. Kututup. Begitu selama lima sampai enam menit. Di menit ketujuh dan delapan aku mencoba mempersetankannya, tapi gagal. Jadi kuputuskan untuk menyimpan pesanmu itu. Di tempat tersembunyi, supaya tak terbaca orang lain. Tapi kalau dipikir-pikir, dibaca orang lain pun tak apa-apa. Toh, mereka tak tahu siapa namamu. Toh, mereka tak paham seperti apa kamu buat – ah, tak perlulah kutulis buat siapa.

Seorang penulis pernah berbicara seperti ini. Urusan pembaca adalah mengekalkan ingatan pada apa yang mereka sukai. Sebaliknya, urusan penulis adalah menghapus ingatan dari apa-apa yang sudah ia bikin. Entah id, entah ego – yang jelas, ada iming-iming akan kenikmatan menjadi pengadu pikiran. Pengadu pikiran lewat permainan kata dan pendiktean makna, yang konyolnya hanya menghidupi penalaran dengan menjadi seorang penyembah selera. Kalau kataku, tuhan yang ia ciptakan sendiri.

Percaya saja kalau aku tak tertampar dengan pesan singkatmu tadi. Aku hanya berpikir, kalau sejatinya kita sering berdebat atas dasar yang lemah. Mungkin sebenarnya tak ada perbedaan pendapat. Kita tak pernah benar-benar paham berpendapat karena sebenarnya kita tak pernah bergaul karib dengan dasarnya. Yang ada hanya perbedaan selera. Lantas menyembunyikan selera di balik logika. Dan apalah muara dari urat leher yang menegang dan tangan yang kaku tanpa kepala yang dingin? Aku pikir, kesia-siaan belaka. 

Tapi jangan kamu pikir aku menganggap kalau memiliki selera itu salah, apalagi meyakini kalau menjaga selera itu tak berbeda dengan menghidupi sebentuk laknat. Bukan seperti itu. Mungkin yang salah hanya kita yang menempatkan selera bukan pada ranahnya. Meyakini kalau kebenaran dan selera bisa bermukim pada tanah yang sama.

Ah, aku pikir aku tak perlu berpanjang-panjang di sini. Kata temanku, terkadang kata bisa mempersingkat makna. Jadi, tolong sampaikan salamku pada Mba Rita, juragan pomade itu. Bilang padanya, aku tak sabar makan es krim di Ragusa. 
Bandung, 26 Januari 2014
Read More

Tuesday, January 21, 2014

Kopi dan Yang Terpenting

Aku ingat cerita sekitar empat belas tahun lalu. Waktu itu aku masih bersekolah di kelas satu sekolah menengah pertama. Mendiang papa memintaku untuk membuatkannya kopi sebagai sajian pulang kerja. Aku menurut saja, tanpa memperdulikan takaran seberapa banyak kopi, seberapa banyak gulanya. Bukannya tak pernah mempertanyakan seberapa manis atau seberapa kental kopi yang menjadi seleranya. Katanya, ia tidak peduli dengan hal-hal semacam itu. Buatnya yang terpenting, kopi itu tidak diseduh - tapi direbus bersamaan airnya. Kata papa, rasanya bakal lebih nikmat. Aromanya juga lebih harum. “Dek, yang terpenting bukan rasa pahit atau kekentalannya, tapi matang atau tidaknya.”

Mana aku tahu apa enaknya kopi waktu itu. Aku pernah mencicipinya. Kubilang padanya rasanya tak enak. Dia tersenyum saja. Kalau dia masih hidup sampai hari ini, mungkin dia bakal menjadi teman minum kopi terbaik. Tidak selalu menyenangkan memang. Tapi sama seperti dia yang selalu menjadi tempat aku melihat tidak perduli seberapa tinggi aku tumbuh, rasa-rasanya kalau saja bisa terjadi – acara minum kopi kami akan seperti itu.

Aku ingat tentang pesan singkat yang aku terima pada 24 Juli 2012. Dari sahabat. Dia laki-laki yang menyenangkan sekaligus menyebalkan. Tapi jangan tanya seberapa besar aku menyayanginya. Aku pernah mencoba mengira-ngira tentang ukuran rasa sayang itu. Pada akhirnya, aku tak perduli. Sama seperti mendiang papa yang tak pernah perduli dengan takaran kopi dan gulanya.

Pesan singkat itu aku terima di tengah-tengah jam kerja yang memuakkan. Isinya seperti merengek, seperti mengadu. Dia bilang, dia ingin minum kopi dan merokok bersamaku. Ingin tertawa-tawa, butuh semangat – katanya. Lantas dia menyalahkanku. Katanya aku terlambat datang ke kehidupannya.

Kalau aku pikir-pikir benar juga, kami berdua baru menjadi akrab di hari-hari menjelang kepindahannya ke pulau lain. Jujur, menyesal juga karena aku tidak mengenalnya dari dulu. Tapi kujawab begini saja; “Kalau aku memang datang terlambat di kehidupanmu, itu memang salahku. Tapi yang terpenting, aku datang dan kamu tetap menerima tanpa perduli seberapa lama keterlambatanku.” Dia tak membalas, tapi aku yakin dia juga setuju.

Malam hari tanggal 10 Januari 2014, aku menemukan paket di depan pintu kamar kosku. Begitu aku buka, ada kopi di dalamnya. Pesan yang diselipkan di dalamnya sudah pernah aku tulis. “Katanya, kopi itu seperti hidup. Pahit, tapi harus tetap dinikmati. Well... Selamat berbahagia – dengan kopi!!” Aku memang aneh. Waktu pertama kali membacanya aku sedikit menyayangkan kata “well”. Waktu itu aku pikir, kalau Bahasa Indonesia ya Bahasa Indonesia saja. Buat apa dicampur-campur?


Tapi malam itu aku baru saja menolak apa yang aku pikir sebagai hal yang aku mimpi-mimpikan dalam sepuluh tahun belakang. Malam itu aku baru saja menolak untuk meninggalkan hal yang sebenarnya memberikan banyak kebahagiaan buatku demi sebuah nama besar. Apa yang aku tolak adalah hal yang sebenarnya tak buruk. Hal yang sanggup membuatku paham dengan standar ini dan itu. Mungkin aku akan menjadi pintar, mungkin akan ada banyak orang yang melihat apa yang aku buat bersama mereka. Tapi buat apa kalau aku kehilangan kebahagiaannya? Memang bodoh, namun aku juga mempertanyakan pintar itu seperti apa. Lagipula, buat apa pintar kalau tak bahagia?

Jadi setelah memikirkan hal-hal remeh seperti itu, aku tak ambil pusing lagi dengan bahasa campur aduk tadi. Yang terpenting aku senang saat menerima dan membacanya. Yang terpenting, aku punya tulisan tangannya. Kesenangan yang aneh memang, tapi apa boleh buat karena memang seperti itu.

Pagi ini aku meneguk kopi pagiku sambil menikmati rokok kesukaan. Kalau dipikir-pikir, belakangan aku mulai jarang menulis. Jam kerja yang padat dan beban kerja yang menumpuk benar-benar menguras energi. Saat energi benar-benar terkuras, menulis pun bisa menjadi ketakutan. Bagaimana kalau otakku tak sanggup berpikir? Bagaimana kalau hasilnya tak logis? Bagaimana kalau tak ada isinya? Bagaimana kalau aku hanya menulis emosi? Bagaimana kalau tulisanku gagal?

Air untuk kopi pagi ini aku rebus dengan pemanas listrik. Rasanya tak seenak kalau dimasak dengan kompor apalagi tungku kuno. Tapi pada kenyataannya aku tetap meneguk kopi pagiku dengan segala kenikmatannya yang tak sempurna. Karena yang terpenting, kopi panasnya tetap ada. Karena yang terpenting, hal yang terpenting itu masih ada padaku.

Bandung, 21 Januari 2014
Read More

Sunday, January 12, 2014

Kalau Bisa, Aku Mau Menjadi Rumah Saja

Kalau bisa, aku mau menjadi rumah saja. Supaya kamu punya tempat untuk berteduh.
Yang menaungimu dari panasnya hiruk-pikuk dunia dewasa. Kalaupun mereka menghujanimu dengan sumpah-serapah, kamu tak perlu bergegas mencari payung. Ada atap yang akan menjagamu dari kuyup. Tunggu saja sampai reda. Supaya tak kedinginan, jangan lupa teguk kopi panasmu.

Kalau bisa, aku mau menjadi rumah saja. Supaya kamu punya tempat untuk tertawa-tawa. 
Hidup ini lucu, bukan? Apalagi Tuhan gemar berkelakar. Saat orang-orang menghardik tawamu, tertawa saja di sini. Yang keras, terbahak-bahak sampai sakit perut. Tak akan ada tetangga yang datang menggedor-gedor pintu dengan amuk - yang memaki-maki tawamu, karena membuat bayi mereka menangis-nangis.

Kalau bisa, aku mau menjadi rumah saja. Supaya kamu punya tempat untuk mengamuk. 
Lampiaskan saja di sini. Lempar apa yang mau kamu lempar, pecahkan apa yang rela kamu pecahkan. Ingin muntab, ya muntablah. Toh, rumah ini jauh dari keramaian. Tak akan ada sirene mobil polisi karena laporan tetangga yang sebenarnya hanya cemas akan harta bendanya.

Kalau bisa, aku mau menjadi rumah saja. Supaya kamu punya tempat untuk menari-nari. 
Kalau saja wajahmu rupawan laiknya bintang film kenamaan, kamu boleh saja menari-nari di luar. Percaya saja kalau orang-orang akan terkagum dengan energimu yang seolah enggan habis. Tapi dunia ini terlalu sering menuntut apa yang sedap dipandang saja. Biar kamu tak dianggap gila, digiring ke rumah sakit jiwa - menari-nari saja di sini, di rumahmu yang jauh dari penghakiman.

Kalau bisa, aku mau menjadi rumah saja. Supaya kamu punya tempat untuk beristirahat. 
Apa yang mereka minta darimu? Apa yang membuatmu terlalu sering menahan kantuk di depan tumpukan kertas kerja, di sekeliling orang-orang cerewet nan munafik? Pulang saja ke mari. Gelar kasurmu, ambil bantal dan gulingmu lalu selimuti badanmu. Tutup mata dan telingamu, karena waktu tidur sudah memanggil. Ah, jangan lupa susu hangatmu.

Kalau bisa, aku mau menjadi rumah saja. Supaya kamu punya tempat untuk membaca. 
Membaca apa saja. Memahami apa yang gemar dilupakan orang, menikmati rayuan kalimat puitis yang membentuk puisi cantik. Abai saja terhadap cendekia-cendekia itu, acuhkan saja lusinan nama besar yang muncul mendadak. Ini rumahmu, kamu tak perlu menjadi pintar - namamu juga tak perlu menjadi besar.

Kalau bisa, aku mau menjadi rumah saja. Supaya kamu punya tempat untuk menulis.
Apa yang mau kamu tulis? Tulislah di sini. Tentang segala hal yang tak kamu percaya, tentang segala kisah pulang yang tak pernah ada di luar. Tentang siapa yang menyambutmu, tentang siapa yang tak sanggup menyembunyikan senangnya walau pulangmu hanya sebentar.

Bandung, 12 Januari 2014
Read More

Saturday, January 11, 2014

Buat Si Pengirim Kopi

Mungkin kamu menganggapku sebagai salah satu manusia paling labil yang belum pernah kamu temui. Benar-benar belum pernah, bukan? Toh, secara harafiah kita memang belum pernah bertemu.

Mempertanyakan ini, mempertanyakan itu. Mengambil keputusan ini, lantas berpikir dan mengubahnya. Ada kenaifan yang mungkin kamu lihat lahir akibat dangkalnya pemahaman. Tapi, semakin dewasa, yang bertambah banyak bukan hanya flek hitam pada wajah yang memang hampir tak pernah aku gubris ini. Tanda tanya juga semakin banyak. Dan semakin dewasa, rasa-rasanya aku tak lagi pantas untuk abai pada tanda tanya tadi. Harus segera menggantinya menjadi titik.

Tapi kodratnya mungkin memang seperti itu. Buatku, dua puluh enam tahun tak layak lagi disebut muda. Katakanlah aku tak mau membusuk karena menjadi membosankan laiknya orang-orang tua kebanyakan. Tapi ternyata, mencegah diri menjadi membosankan di waktu muda dan usia seperti ini memang berbeda. Kalau dulu aku menjalani semuanya dengan tabrak sini, tabrak sana. Hari ini tak ada lagi istilah tabrak sini, tabrak sana. Yang ada memutar balik, menelikung, melaju bahkan banting kemudi.

Jadi sejak akhir Desember kemarin aku mempertanyakan ini dan itu. Pada diri sendiri, pada orang-orang yang aku anggap bisa memberi jawaban. Termasuk kamu. Tapi ternyata aku salah. Orang-orang itu, termasuk kamu, memang bisa menjawab. Tapi itu jawaban kalian, bukan jawabanku. Ternyata memang harus kujawab sendiri. Menikmati kening-kening yang berkerut, mensyukuri tidur malam yang tak tenang, memuja pagi yang ditemani ketakutan - ketakutan untuk menyesal.

Tadi malam, sepulang kerja - yang disemarakkan oleh entah berapa puluh kali acungan jempol lengkap dengan seruan "very good," "brilliant," "how could you do that," dan iming-iming bonus menggiurkan dari pimpinanku - aku menemukan paket di depan pintu kamar yang harga sewanya tak sampai lima ratus ribu setiap bulannya.

"Katanya, kopi itu seperti hidup. Pahit tapi harus tetap dinikmati. Well... Selamat berbahagia - dengan kopi!!" Tanpa harus mencantumkan namamu, aku juga sudah paham itu darimu. Membacanya membuatku mengulang kembali apa yang aku dengar dua puluh empat jam sebelumnya. Yang aku dengar, aku tak boleh menari-nari. Yang aku dengar, aku tak boleh jatuh. Yang aku dengar, aku tak boleh menjadi aku. 

Lalu aku teringat tentang apa yang aku pikirkan hampir setiap hari sejak sepuluh tahun lalu. Dari dulu, aku mau menari-nari - biar saja seperti orang gila. Biar saja tak ada yang paham. Kalau Maradona boleh melakukan grand jeté untuk menciptakan gol tangan Tuhannya, aku pun mau menari-nari. Kalau Roland Barthes berusaha untuk membiarkan dirinya dilahirkan oleh kekuatan dari setiap kekuatan yang hidup - yang ia sebut sebagai melupakan - aku pun mau menjadi saudara seibu dengannya. Manusia-manusia yang dilahirkan oleh sapientia.

Memilih untuk hidup seperti itu menyenangkan, bukan? Mungkin kamu berpikir kalau aku tak berbeda dengan orang-orang pra sejarah. Yang tetap optimis untuk menanti apa yang akan terjadi dalam masa sejarah. Merawat hal-hal yang sepertinya tak sesuai untuk gaya hidup zaman sekarang. Tapi, entah ini benar atau salah - yang pasti aku sudah membuktikan kata penulis itu. Terkadang hal yang semakin tua akan semakin hidup dan berharga, asalkan dirawat dengan benar.

Pagi ini aku bangun dan siap untuk ditertawakan. Kamu pernah ditertawakan? Mungkin mulut kita akan ikut terkekeh, perut kita akan ikut menegang - tapi terkadang tetap saja ingin berganti peran. Menjadi yang menertawakan, bukan yang ditertawakan. Tapi kata orang-orang, Tuhan itu komedian terbaik. Jadi kalau mereka memang menertawakan, anggap saja semakin mendekati apa yang Dia mau.

Saat kamu membaca ini, mungkin kita sudah berada di pulau yang sama. Jadi, semoga hari Seninmu dan hari Seninku bisa bersahabat, kalaupun tidak - tak masalah. Toh, perjumpaan dan perpisahan serta segala sesuatu yang ada di dalamnya hanya masalah perasaan.

Ngomong-ngomong, kamu sudah minum kopi pagimu? Aku sedang menikmati kopi pagiku. Kopi yang kamu kirim jauh-jauh dari pulau yang berbeda. Jadi, terima kasih. Terbang dan tibalah dengan selamat serta bahagia. Kalaupun tak bahagia, yang penting selamat. 

Ingat kalimat terakhir pada omelanku Sabtu lalu?









Read More

Saturday, January 4, 2014

Kataku, Ini Sabtu Malam yang Memuakkan

Bagaimana Sabtu malammu? Menyenangkan? Ada berapa banyak kalimat yang kau baca hari ini? Seberapa kaku perutmu akibat terpingkal-pingkal dengan mereka yang menjadi karibmu? Apakah hari ini biasa saja untukmu? Berapa jam yang kau habiskan untuk berpikir tentang cara terbaik menghabiskan hari ini? Berapa kali kau mengganti saluran televisi karena tak ada satupun tayangan yang sanggup mengusir bosanmu? Atau jangan-jangan kau sama sepertiku yang hari ini merasa muak?

Kau tahu? Aku muak hari ini. Oh, tenang saja. Ini bukan karena tanpa laki-laki atau hal-hal semacam itu. Sampai malam ini aku masih mempersetankannya. Aku muak dengan mereka yang mungkin saja menjadi teman-temanmu. Ya, mana aku tahu kau mengenal mereka atau tidak. Mana aku tahu kalau ternyata kau sering berbagi meja dengan mereka di warung-warung nasi harga enam ribu sepiring. 

Aku mau muntab. Seperti ingin menghabisi mereka dengan persediaan kata-kata tak masuk akal lagi kurang ajar yang entah sejak kapan aku kumpulkan. Katakanlah mereka memang secerdas itu, menghabiskan entah berapa ribu jam untuk mencerna kata apapun yang tertulis pada buku yang menjadi santapan mereka. Katakanlah - ya Tuhan, aku benar-benar muak dengan istilah ini - jam membaca mereka memang tinggi. Setinggi apa memangnya? Katakanlah pengetahuan mereka memang luas. Seluas apa memangnya? Kalau memang secerdas seperti yang selalu mereka gembar-gemborkan, menjelaskan pengukuran semacam itu tentu tak akan sampai memakan waktu berhari-hari, tentu tak akan sampai membuat lidah kelu dan kening berkerut-kerut.

Seingatku, aku pun bisa membaca. Bahkan sebelum duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Lalu apa bedanya dengan mereka? Bukankah kami menghabiskan tahun-tahun yang tak jauh berbeda hanya untuk belajar membaca? Bukankah kami sama-sama bisa mengeja "megalomaniak" dengan lancar lagi benar? 

Jadi, apa hebatnya jam baca mereka yang tinggi? Apa yang membuat mereka lupa dengan tujuan penulis? Bukankah mereka menulis untuk memberitahukan, untuk menjelaskan bahkan untuk mengajar apapun yang ada dalam pikiran mereka? Bukankah pada awalnya untuk mengubah tidak tahu menjadi tahu, untuk bergerak dari tidak paham menjadi paham? Lantas, kalau mereka hanya berkoar-koar laiknya bocah baru dua hari bersunat yang membangga-banggakan kelaki-lakiannya - bukankah mereka sudah mengkhianati apa yang menjadi esensi mulia dari tulisan itu sendiri?

Kau pikir ini tentang mereka yang memberi kritik? Bukan. Tenanglah, karena aku meyakini tentang sifat ksatria pada mereka yang memberi kritik. Dan tenang jugalah, karena aku percaya kalau kritik itu tak harus membangun seketika. Bukankah terkadang sebuah rumah harus dihancurkan dulu sebelum dibangun? Tapi buat mereka yang hanya bisa mengolok-olok, yang hanya bisa bersembunyi di balik jam baca mereka yang - katanya - tinggi, merekalah yang membuatku muak. Kau tahu? Muak semuak-muaknya.

Kau tahu kalau aku juga muak dengan Durna dan murid-muridnya, para Pandawa yang tersohor itu? Dia yang menolak dan menganggap rendah seseorang hanya karena perbedaan kasta. Perbedaan kasta tahi kucing! Pada akhirnya para Pandawa memang menjadi penghuni surga, tapi ingat apa yang ada dalam Maha Prastanika Parma itu? Lihat siapa yang pada akhirnya juga tinggal bersama mereka dalam kemuliaan yang setara di surga! Karna! Anak sais yang mereka olok-olok dan anggap remeh. Jadi, tolong sampaikan cerita ini pada mereka yang mungkin saja menjadi teman-temanmu. Siapa tahu orang-orang yang dianggap rendah karena jam baca yang kurang pada akhirnya akan bersanding dengan mereka.

Ah, aku membaca tulisan-tulisanmu. Kau orang baik, setidaknya dari apa yang kau tulis aku yakin kau tak suka gembar-gembor kosong. Kalaupun berisi, untuk apa digembar-gemborkan? Sesaat setelah kau bertanya hal ini, bersiaplah untuk mendengar alasan maha intelektual nan mulia yang tak lain adalah tameng akan nafsu atas sebuah pengakuan. Lagi-lagi tahi kucing!

Sebelum aku menyulut rokok kesukaan dan menghentikan segala celoteh ini, jawablah dengan jujur. Kau hidup bersama mendiang Pram, bukan? Walaupun tidak secara fisik, tapi apa yang menjadi isi hati dan pikirannya begitu melekat denganmu, bukan? Aku harap kau menjawab "ya" dengan segala kejujuran. Ingat surat terbukanya untuk Keith Foulcher? Dia bilang, megalomaniak itu bisa keluar dari konsep inferiornya - bukan karena kekuatan yang berasal dari dalam, tapi karena dari luar dirinya. Makanya, aku harap kau tetap menjadi seperti ini. Alih-alih mencengangkan, aku lebih suka kau yang meneduhkan - setidaknya lewat tulisanmu.

 Jadi, apa aku sudah mengacau Sabtu malammu? Maafkan kalau memang begitu. Aku berjanji, Sabtu malam selanjutnya akan aku buat semanis mungkin untukmu.


Read More
anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena