Aku ingat cerita sekitar empat
belas tahun lalu. Waktu itu aku masih bersekolah di kelas satu sekolah menengah
pertama. Mendiang papa memintaku untuk membuatkannya kopi sebagai sajian pulang
kerja. Aku menurut saja, tanpa memperdulikan takaran seberapa banyak kopi,
seberapa banyak gulanya. Bukannya tak pernah mempertanyakan seberapa manis atau
seberapa kental kopi yang menjadi seleranya. Katanya, ia tidak peduli dengan
hal-hal semacam itu. Buatnya yang terpenting, kopi itu tidak diseduh - tapi
direbus bersamaan airnya. Kata papa, rasanya bakal lebih nikmat. Aromanya juga
lebih harum. “Dek, yang terpenting bukan
rasa pahit atau kekentalannya, tapi matang atau tidaknya.”
Mana aku tahu apa enaknya kopi
waktu itu. Aku pernah mencicipinya. Kubilang padanya rasanya tak enak. Dia
tersenyum saja. Kalau dia masih hidup sampai hari ini, mungkin dia bakal
menjadi teman minum kopi terbaik. Tidak selalu menyenangkan memang. Tapi sama
seperti dia yang selalu menjadi tempat aku melihat tidak perduli seberapa
tinggi aku tumbuh, rasa-rasanya kalau saja bisa terjadi – acara minum kopi kami
akan seperti itu.
Aku ingat tentang pesan singkat
yang aku terima pada 24 Juli 2012. Dari sahabat. Dia laki-laki yang
menyenangkan sekaligus menyebalkan. Tapi jangan tanya seberapa besar aku
menyayanginya. Aku pernah mencoba mengira-ngira tentang ukuran rasa sayang itu.
Pada akhirnya, aku tak perduli. Sama seperti mendiang papa yang tak pernah
perduli dengan takaran kopi dan gulanya.
Pesan singkat itu aku terima di
tengah-tengah jam kerja yang memuakkan. Isinya seperti merengek, seperti
mengadu. Dia bilang, dia ingin minum kopi dan merokok bersamaku. Ingin
tertawa-tawa, butuh semangat – katanya. Lantas dia menyalahkanku. Katanya aku
terlambat datang ke kehidupannya.
Kalau aku pikir-pikir benar juga,
kami berdua baru menjadi akrab di hari-hari menjelang kepindahannya ke pulau
lain. Jujur, menyesal juga karena aku tidak mengenalnya dari dulu. Tapi kujawab
begini saja; “Kalau aku memang datang
terlambat di kehidupanmu, itu memang salahku. Tapi yang terpenting, aku datang
dan kamu tetap menerima tanpa perduli seberapa lama keterlambatanku.” Dia
tak membalas, tapi aku yakin dia juga setuju.
Malam hari tanggal 10 Januari
2014, aku menemukan paket di depan pintu kamar kosku. Begitu aku buka, ada kopi
di dalamnya. Pesan yang diselipkan di dalamnya sudah pernah aku tulis. “Katanya, kopi itu seperti hidup. Pahit,
tapi harus tetap dinikmati. Well... Selamat berbahagia – dengan kopi!!” Aku
memang aneh. Waktu pertama kali membacanya aku sedikit menyayangkan kata “well”. Waktu itu aku pikir, kalau
Bahasa Indonesia ya Bahasa Indonesia saja. Buat apa dicampur-campur?
Tapi malam itu aku baru saja menolak apa yang aku pikir sebagai hal yang aku mimpi-mimpikan dalam sepuluh tahun belakang. Malam itu aku baru saja menolak untuk meninggalkan hal yang sebenarnya memberikan banyak kebahagiaan buatku demi sebuah nama besar. Apa yang aku tolak adalah hal yang sebenarnya tak buruk. Hal yang sanggup membuatku paham dengan standar ini dan itu. Mungkin aku akan menjadi pintar, mungkin akan ada banyak orang yang melihat apa yang aku buat bersama mereka. Tapi buat apa kalau aku kehilangan kebahagiaannya? Memang bodoh, namun aku juga mempertanyakan pintar itu seperti apa. Lagipula, buat apa pintar kalau tak bahagia?
Jadi setelah memikirkan hal-hal
remeh seperti itu, aku tak ambil pusing lagi dengan bahasa campur aduk tadi.
Yang terpenting aku senang saat menerima dan membacanya. Yang terpenting, aku
punya tulisan tangannya. Kesenangan yang aneh memang, tapi apa boleh buat
karena memang seperti itu.
Pagi ini aku meneguk kopi pagiku
sambil menikmati rokok kesukaan. Kalau dipikir-pikir, belakangan aku mulai
jarang menulis. Jam kerja yang padat dan beban kerja yang menumpuk benar-benar
menguras energi. Saat energi benar-benar terkuras, menulis pun bisa menjadi
ketakutan. Bagaimana kalau otakku tak sanggup berpikir? Bagaimana kalau
hasilnya tak logis? Bagaimana kalau tak ada isinya? Bagaimana kalau aku hanya
menulis emosi? Bagaimana kalau tulisanku gagal?
Air untuk kopi pagi ini aku rebus
dengan pemanas listrik. Rasanya tak seenak kalau dimasak dengan kompor apalagi
tungku kuno. Tapi pada kenyataannya aku tetap meneguk kopi pagiku dengan segala
kenikmatannya yang tak sempurna. Karena yang terpenting, kopi panasnya tetap
ada. Karena yang terpenting, hal yang terpenting itu masih ada padaku.
Bandung, 21 Januari 2014
0 comments:
Post a Comment