Saturday, January 4, 2014

Kataku, Ini Sabtu Malam yang Memuakkan

Bagaimana Sabtu malammu? Menyenangkan? Ada berapa banyak kalimat yang kau baca hari ini? Seberapa kaku perutmu akibat terpingkal-pingkal dengan mereka yang menjadi karibmu? Apakah hari ini biasa saja untukmu? Berapa jam yang kau habiskan untuk berpikir tentang cara terbaik menghabiskan hari ini? Berapa kali kau mengganti saluran televisi karena tak ada satupun tayangan yang sanggup mengusir bosanmu? Atau jangan-jangan kau sama sepertiku yang hari ini merasa muak?

Kau tahu? Aku muak hari ini. Oh, tenang saja. Ini bukan karena tanpa laki-laki atau hal-hal semacam itu. Sampai malam ini aku masih mempersetankannya. Aku muak dengan mereka yang mungkin saja menjadi teman-temanmu. Ya, mana aku tahu kau mengenal mereka atau tidak. Mana aku tahu kalau ternyata kau sering berbagi meja dengan mereka di warung-warung nasi harga enam ribu sepiring. 

Aku mau muntab. Seperti ingin menghabisi mereka dengan persediaan kata-kata tak masuk akal lagi kurang ajar yang entah sejak kapan aku kumpulkan. Katakanlah mereka memang secerdas itu, menghabiskan entah berapa ribu jam untuk mencerna kata apapun yang tertulis pada buku yang menjadi santapan mereka. Katakanlah - ya Tuhan, aku benar-benar muak dengan istilah ini - jam membaca mereka memang tinggi. Setinggi apa memangnya? Katakanlah pengetahuan mereka memang luas. Seluas apa memangnya? Kalau memang secerdas seperti yang selalu mereka gembar-gemborkan, menjelaskan pengukuran semacam itu tentu tak akan sampai memakan waktu berhari-hari, tentu tak akan sampai membuat lidah kelu dan kening berkerut-kerut.

Seingatku, aku pun bisa membaca. Bahkan sebelum duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Lalu apa bedanya dengan mereka? Bukankah kami menghabiskan tahun-tahun yang tak jauh berbeda hanya untuk belajar membaca? Bukankah kami sama-sama bisa mengeja "megalomaniak" dengan lancar lagi benar? 

Jadi, apa hebatnya jam baca mereka yang tinggi? Apa yang membuat mereka lupa dengan tujuan penulis? Bukankah mereka menulis untuk memberitahukan, untuk menjelaskan bahkan untuk mengajar apapun yang ada dalam pikiran mereka? Bukankah pada awalnya untuk mengubah tidak tahu menjadi tahu, untuk bergerak dari tidak paham menjadi paham? Lantas, kalau mereka hanya berkoar-koar laiknya bocah baru dua hari bersunat yang membangga-banggakan kelaki-lakiannya - bukankah mereka sudah mengkhianati apa yang menjadi esensi mulia dari tulisan itu sendiri?

Kau pikir ini tentang mereka yang memberi kritik? Bukan. Tenanglah, karena aku meyakini tentang sifat ksatria pada mereka yang memberi kritik. Dan tenang jugalah, karena aku percaya kalau kritik itu tak harus membangun seketika. Bukankah terkadang sebuah rumah harus dihancurkan dulu sebelum dibangun? Tapi buat mereka yang hanya bisa mengolok-olok, yang hanya bisa bersembunyi di balik jam baca mereka yang - katanya - tinggi, merekalah yang membuatku muak. Kau tahu? Muak semuak-muaknya.

Kau tahu kalau aku juga muak dengan Durna dan murid-muridnya, para Pandawa yang tersohor itu? Dia yang menolak dan menganggap rendah seseorang hanya karena perbedaan kasta. Perbedaan kasta tahi kucing! Pada akhirnya para Pandawa memang menjadi penghuni surga, tapi ingat apa yang ada dalam Maha Prastanika Parma itu? Lihat siapa yang pada akhirnya juga tinggal bersama mereka dalam kemuliaan yang setara di surga! Karna! Anak sais yang mereka olok-olok dan anggap remeh. Jadi, tolong sampaikan cerita ini pada mereka yang mungkin saja menjadi teman-temanmu. Siapa tahu orang-orang yang dianggap rendah karena jam baca yang kurang pada akhirnya akan bersanding dengan mereka.

Ah, aku membaca tulisan-tulisanmu. Kau orang baik, setidaknya dari apa yang kau tulis aku yakin kau tak suka gembar-gembor kosong. Kalaupun berisi, untuk apa digembar-gemborkan? Sesaat setelah kau bertanya hal ini, bersiaplah untuk mendengar alasan maha intelektual nan mulia yang tak lain adalah tameng akan nafsu atas sebuah pengakuan. Lagi-lagi tahi kucing!

Sebelum aku menyulut rokok kesukaan dan menghentikan segala celoteh ini, jawablah dengan jujur. Kau hidup bersama mendiang Pram, bukan? Walaupun tidak secara fisik, tapi apa yang menjadi isi hati dan pikirannya begitu melekat denganmu, bukan? Aku harap kau menjawab "ya" dengan segala kejujuran. Ingat surat terbukanya untuk Keith Foulcher? Dia bilang, megalomaniak itu bisa keluar dari konsep inferiornya - bukan karena kekuatan yang berasal dari dalam, tapi karena dari luar dirinya. Makanya, aku harap kau tetap menjadi seperti ini. Alih-alih mencengangkan, aku lebih suka kau yang meneduhkan - setidaknya lewat tulisanmu.

 Jadi, apa aku sudah mengacau Sabtu malammu? Maafkan kalau memang begitu. Aku berjanji, Sabtu malam selanjutnya akan aku buat semanis mungkin untukmu.


1 comments:

anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena