Saturday, January 11, 2014

Buat Si Pengirim Kopi

Mungkin kamu menganggapku sebagai salah satu manusia paling labil yang belum pernah kamu temui. Benar-benar belum pernah, bukan? Toh, secara harafiah kita memang belum pernah bertemu.

Mempertanyakan ini, mempertanyakan itu. Mengambil keputusan ini, lantas berpikir dan mengubahnya. Ada kenaifan yang mungkin kamu lihat lahir akibat dangkalnya pemahaman. Tapi, semakin dewasa, yang bertambah banyak bukan hanya flek hitam pada wajah yang memang hampir tak pernah aku gubris ini. Tanda tanya juga semakin banyak. Dan semakin dewasa, rasa-rasanya aku tak lagi pantas untuk abai pada tanda tanya tadi. Harus segera menggantinya menjadi titik.

Tapi kodratnya mungkin memang seperti itu. Buatku, dua puluh enam tahun tak layak lagi disebut muda. Katakanlah aku tak mau membusuk karena menjadi membosankan laiknya orang-orang tua kebanyakan. Tapi ternyata, mencegah diri menjadi membosankan di waktu muda dan usia seperti ini memang berbeda. Kalau dulu aku menjalani semuanya dengan tabrak sini, tabrak sana. Hari ini tak ada lagi istilah tabrak sini, tabrak sana. Yang ada memutar balik, menelikung, melaju bahkan banting kemudi.

Jadi sejak akhir Desember kemarin aku mempertanyakan ini dan itu. Pada diri sendiri, pada orang-orang yang aku anggap bisa memberi jawaban. Termasuk kamu. Tapi ternyata aku salah. Orang-orang itu, termasuk kamu, memang bisa menjawab. Tapi itu jawaban kalian, bukan jawabanku. Ternyata memang harus kujawab sendiri. Menikmati kening-kening yang berkerut, mensyukuri tidur malam yang tak tenang, memuja pagi yang ditemani ketakutan - ketakutan untuk menyesal.

Tadi malam, sepulang kerja - yang disemarakkan oleh entah berapa puluh kali acungan jempol lengkap dengan seruan "very good," "brilliant," "how could you do that," dan iming-iming bonus menggiurkan dari pimpinanku - aku menemukan paket di depan pintu kamar yang harga sewanya tak sampai lima ratus ribu setiap bulannya.

"Katanya, kopi itu seperti hidup. Pahit tapi harus tetap dinikmati. Well... Selamat berbahagia - dengan kopi!!" Tanpa harus mencantumkan namamu, aku juga sudah paham itu darimu. Membacanya membuatku mengulang kembali apa yang aku dengar dua puluh empat jam sebelumnya. Yang aku dengar, aku tak boleh menari-nari. Yang aku dengar, aku tak boleh jatuh. Yang aku dengar, aku tak boleh menjadi aku. 

Lalu aku teringat tentang apa yang aku pikirkan hampir setiap hari sejak sepuluh tahun lalu. Dari dulu, aku mau menari-nari - biar saja seperti orang gila. Biar saja tak ada yang paham. Kalau Maradona boleh melakukan grand jeté untuk menciptakan gol tangan Tuhannya, aku pun mau menari-nari. Kalau Roland Barthes berusaha untuk membiarkan dirinya dilahirkan oleh kekuatan dari setiap kekuatan yang hidup - yang ia sebut sebagai melupakan - aku pun mau menjadi saudara seibu dengannya. Manusia-manusia yang dilahirkan oleh sapientia.

Memilih untuk hidup seperti itu menyenangkan, bukan? Mungkin kamu berpikir kalau aku tak berbeda dengan orang-orang pra sejarah. Yang tetap optimis untuk menanti apa yang akan terjadi dalam masa sejarah. Merawat hal-hal yang sepertinya tak sesuai untuk gaya hidup zaman sekarang. Tapi, entah ini benar atau salah - yang pasti aku sudah membuktikan kata penulis itu. Terkadang hal yang semakin tua akan semakin hidup dan berharga, asalkan dirawat dengan benar.

Pagi ini aku bangun dan siap untuk ditertawakan. Kamu pernah ditertawakan? Mungkin mulut kita akan ikut terkekeh, perut kita akan ikut menegang - tapi terkadang tetap saja ingin berganti peran. Menjadi yang menertawakan, bukan yang ditertawakan. Tapi kata orang-orang, Tuhan itu komedian terbaik. Jadi kalau mereka memang menertawakan, anggap saja semakin mendekati apa yang Dia mau.

Saat kamu membaca ini, mungkin kita sudah berada di pulau yang sama. Jadi, semoga hari Seninmu dan hari Seninku bisa bersahabat, kalaupun tidak - tak masalah. Toh, perjumpaan dan perpisahan serta segala sesuatu yang ada di dalamnya hanya masalah perasaan.

Ngomong-ngomong, kamu sudah minum kopi pagimu? Aku sedang menikmati kopi pagiku. Kopi yang kamu kirim jauh-jauh dari pulau yang berbeda. Jadi, terima kasih. Terbang dan tibalah dengan selamat serta bahagia. Kalaupun tak bahagia, yang penting selamat. 

Ingat kalimat terakhir pada omelanku Sabtu lalu?









0 comments:

Post a Comment

anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena