Sunday, September 29, 2013

Dear Daddy,

Is the past bigger than the future? I have the fucked up past. No needs to put any drama, but you completely understand the way they went away after they got "what they wanted" from me.
Then someone just came. He made me happier, splashed bunch of glitter on my monochromatic days, he got me wonderstruck. 
He hasn't been the same with them, something has made me respect him more. He hasn't meant perfectness, something has let me to love him more. He has kept his horrible past too, something has gotten me want to protect him more. He hasn't taken anything further because of it, something has trapped me more in my fucked up past.
So Daddy, through all these shits - I wanna thank God for him. Unconditionally.
Read More

Monday, September 16, 2013

Pesan Buat Kamu, Teman Terbaik


Jadi, aku pun tak pernah menyangka kalau kita bakal berbicara tentang ini di jam-jam malam kita. Tentang hal yang menjadi ketakutanku, tentang hal yang bagimu masih terlalu jauh untuk dicapai. Rasanya seperti menelan ludah sendiri, memikirkan apa yang terlanjur kita persetankan – apa yang terlanjur kita sepelekan. Aku dengan ketakutanku, kamu dengan ketakutanmu. Lantas malam-malam kita menjadi tak biasa. Mungkin seperti orang tua yang bersiap menghadapi ajal, yang umurnya tinggal hitungan jari.

Ada setumpuk keterbatasan belum terpecahkan yang membuatku tak mampu berada di sampingmu. Yang menghalangiku untuk menepuk pundakmu, memberikan pelukan terhangat untuk membunuh kalut dan dingin. Lantas kita menjadi bingung di titik bumi kita masing-masing. Merutuki hari-hari di belakang yang tak kita lalui dengan bijak. Menghina diri sendiri karena terlalu banyak yang kita persetankan.

Ternyata terlalu banyak hal yang tidak kita pahami. Tentang sepenting apa seharusnya masa lalu, tentang seberharga apa seharusnya masa kini dan tentang semanis apa seharusnya masa depan. Senja ini, aku kembali kepada waktu yang sudah terlalu jauh kita tinggalkan. Saat ini ia tertawa licik. Menertawakan kebodohan kita, mengolok-olok kelabilan kita. Atas nama hidup yang tak akan terulang kita menerobos batas yang seharusnya tak pantas kita terobos. Lalu kita menyesal. Mengutuk diri sendiri, mempertanyakan apakah kematian bakal jauh lebih melegakan daripada ini semua.

Mungkin seharusnya tidak perlu sampai seperti ini. Tapi entah karena kita memang tidak paham atau berpura-pura tidak paham, ketakutan itu terasa semakin nyata. Memang belum senyata waktu-waktu yang selalu menjadi kesayangan kita, rangkaian waktu saat kita membunuh bosan dan penat dengan menyingkir sejenak dari hiruk-pikuk yang memusingkan - mengagumi malam sambil berbicara tentang apa yang tidak pernah menjadi kita. Kamu tahu? Saat ini aku terlalu merindukan waktu-waktu itu. Saat kita berlagak menjadi yang terhebat, saat kita mengacuhkan masa depan yang tak pasti.

Aku memang tak paham. Ketidakpahaman yang menyadarkanku bahwa ternyata kita tidak pernah menyingkirkan kemanusiaan kita. Mungkin tetap mensyukuri semuanya akan membuatku terlihat seperti manusia yang paling tidak tahu diri, mungkin kamu akan menganggap kalau aku tertawa atas kalutmu. Tapi apa lagi yang bisa kita lakukan? Di antara segala sesak karena aku tak bisa menggantikanmu, aku tetap melihat kita yang ternyata masih menjadi kita. Kita dengan segala kepasrahan untuk menjalani kodrat sebagai manusia yang terkadang harus diam dan menerima tanpa bersikeras untuk segera memahami.

Mungkin kamu menganggapku menyerah atau acuh tak acuh. Tak mengapa, karena aku juga tidak ingin menjejalimu dengan segala harapan yang meninabobokan. Tapi saat kamu mulai sanggup merengkuh logikamu kembali, ingat saja kalau aku belum berhenti dalam menjaga agar kita tetap menjadi kita. Tak mengapa kalau kamu ingin berhenti sejenak. Karena aku paham kamu bukan berhenti untuk mengakhiri semuanya, hanya berhenti untuk mengambil nafas dan meregangkan saraf yang tertekan akibat ulah kita sebagai manusia muda.

Dan ya, saat ini aku mengamini apa kata mereka. Kamu juga pasti masih mengingatnya, bahkan mulai memahaminya. Kata mereka dunia ini memang jahat dan kuat, tapi tenang saja karena kita akan mengalahkannya bersama-sama. Jadi malam ini kamu beristirahatlah, biar aku yang berjaga-jaga.
Read More

Sunday, September 8, 2013

Buat Kamu yang Sering Menyelipkan Tanda Senyum dalam Pesan Singkat

Hallo kamu, apa kabar? Sudah lama ya? Tunggu, kalau melihat hitungan hari – belum menyentuh angka tiga puluh. Tapi rasanya sudah lama. Memang tidak terlalu lama. Tapi ya, cukup lama.

Hari ini aku membaca Gandhi. Katanya, apa yang kamu lakukan itu tidak penting – karena yang penting adalah kamu melakukan hal itu. Rasanya sedikit melegakan karena aku bukan orang yang pintar. Terlalu banyak yang tidak aku tahu apalagi pahami. Yang aku tahu hanya yang aku inginkan, walau aku tak paham tentang pantas-tidaknya aku menginginkan hal itu.

Menunggu belasan tahun itu tidak terlalu menyenangkan. Kadang ada takut karena ia terlampau jauh. Ada malu karena ia terlalu hebat. Tapi terkadang juga ada riang, karena nyatanya ia tak pernah menghilang. Kalau boleh jujur, mungkin hari ini aku sudah bisa menggapainya. Tapi terkadang hidup hanya memperbolehkan untuk memilih satu. Dan kalau boleh lebih jujur lagi, akhir-akhir ini ada sesal karena aku tak bergegas meraihnya. Karena aku memilih untuk mendahulukan yang sampai detik ini masih menjadi ketidakjelasan. Selama hidup aku tidak pernah menjadi penjudi ulung, dunia sering tertawa karena aku sering kalah dalam bertaruh. Tapi sekeji apapun bayangan tawa mereka, tetap ada yakin di dalam sini untuk meraih apa yang tidak pernah hilang selama belasan tahun tadi - walau secara analogi, besarnya tak melebihi biji sesawi. 

Pernah membaca tentang Marcuse? Aku menyukai segala gagasannya. Katanya teknologi adalah penyakit yang memporak-porandakan manusia dalam masyarakat modern. Teknologi membuat manusia mengasingkan kemanusiaan dari dalam dirinya. Katanya merusak, karena manusia menyerahkan kemerdekaannya kepada teknologi tadi. Lantas aku berpikir tentang kita. Seandainya teknologi tidak mempertemukan dalam dunia maya, mungkin kekonyolan ini tidak bakal ada. Kekonyolan yang sedikit menghidupkanku kembali, kekonyolan yang pada kenyataannya membuatku tersenyum-senyum sendiri saat mengingat setiap detail yang terlanjur terjadi.

Kalau kamu mau tahu, pada awalnya aku sudah menjadi manusia yang teralienasi. Aku sendiri yang memutuskan untuk menyingkirkan hal-hal semacam ini atas dasar masa lalu. Tapi nyatanya kamu sehebat itu. Sanggup membuatku mengacuhkan segala hal pahit yang membuatku jengah untuk kembali bersinggungan dengan segala jenis romantisme. Kalau Marcuse bisa membaca ini, mungkin ia akan tersenyum lega. Karena pada dasarnya, teknologi yang dikutuknya tak selamanya berlaku tak adil. Buktinya, aku bisa kembali menjadi manusiawi. Manusia dengan segala keutuhannya yang terbentuk dari ketidaksempurnaannya. Kentalnya kenaifan menggiringku kepada kemanusiaan yang sebenarnya. Menolak untuk menjadi sempurna dengan mulai menyeimbangkan logika dan perasaan pada puncak klasemen segala daftar kebutuhanku. Kalau dipikir-pikir, siapa aku yang sanggup menolak mentah-mentah segala iming-iming yang kerap ditawarkan romantisme? Bahkan Ricardo Kaka rela memangkas gaji atas nama kerinduan untuk mengecap kembali setiap cerita manis yang sempat ia ukir lewat permainan olah bola di lapangan hijau ala San Siro. Jadi rasanya sah-sah saja saat terkadang aku mulai mencari penyeimbang logika.

Kamu bilang aku ini aneh. Aku mengamini segala justifikasi tadi setelah berkaca dan melihat keanehan yang bercokol pada setiap jengkal pikiran. Keanehan yang saat ini membuatku enggan menyentuh kembali cara hidup mereka yang normal. Kalau boleh jujur, terkadang aku ingin menjadi normal. Menjadi serupa dengan mereka yang pernah atau bahkan saat ini membuat jantungmu bergerak sedikit di atas batas kewajaran setiap nama mereka melintas di dalam otak. Entah aku yang terbiasa dengan ketidaknormalan, entah aku yang terlanjur tenggelam dalam iming-iming idealisme – pada akhirnya aku menolak untuk menjadi normal. Rasanya seperti menipu diri sendiri. Percaya saja kalau aku sudah pernah mencoba. Tetapi pada akhirnya berpura-pura tidak tertarik kepada apa yang menjadi isi kepala Theodor Adorno dan menggantinya dengan keinginan untuk menjalani cerita seperti yang disuguhkan oleh drama-drama Korea sama saja dengan menjebloskanku dalam kemunafikan. Berpura-pura mengawali hari dengan Sunday Morning dan mengacuhkan International You Day sama saja dengan mengakui kalau Massimiliano Allegri jauh lebih jenius dibandingkan dengan Brian Howard Clough. Berpura-pura mengamini bahwa pertandingan sepakbola antarkampung tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sepakbola ala Eropa sama saja dengan menyangkal keyakinanku tentang apa yang aku definisikan sebagai kebahagiaan. Rasanya mencoba untuk sama seperti mereka yang memproklamirkan kesiapan diri untuk tunduk dalam ikatan pernikahan itu sama saja dengan berkoar-koar kalau aku adalah bagian dari ultras tribun selatan San Siro. Bukan karena tak ingin, tapi karena masih terlalu sakral. Kesakralan yang buatku pribadi dibuktikan oleh keharusan untuk mengganti "aku" dan "kamu" menjadi "kita".

Jadi pada akhirnya aku mengamini perkataan Gandhi tadi. Mungkin segala sesuatu yang aku lakukan tentang kamu tidak pernah menjadi penting. Tidak penting karena sampai detik ini aku masih tak paham tentang ujung yang bakal aku temui. Tidak penting karena mungkin kamu juga tidak pernah menganggapnya sebagai sesuatu yang penting. Tapi yang terpenting aku sudah dan mungkin masih akan melakukannya. Kalau ditanya tujuannya, aku juga tidak terlalu paham. Satu-satunya yang aku yakini sebagai tujuan adalah karena aku memang menginginkannya.

Aku percaya kalau tidak ada jaminan apapun yang mampu diberikan oleh hidup, karena bagaimanapun juga hidup bukanlah gadget yang memberikan fasilitas garansi. Mungkin ke depannya akan ada sesal, akan ada gerutu atau mungkin lega dan tawa. Tapi atas segala hal pahit dan manis yang sama-sama menanti, aku juga meyakini kalau suatu saat aku akan seperti Hitler. Hitler yang di balik segala kekejaman Holocaust-nya tetap menulis “Aku bersyukur kepada Tuhan bahwa sebagian kenanganku pada masa-masa bahagia itu masih melekat padaku” di atas lembaran kedua puluh Mein Kampf volume satu.

Mungkin tulisan ini menjadi salah satu hal teraneh yang pernah kamu baca, seaneh rasa senang saat aku membaca tanda senyum yang sering kamu selipkan dalam pesan singkat. Dan atas segala keanehan itu, mungkin lebih baik aku segera menyelesaikan tulisan ini sebelum kamu menjadi atau bahkan bertambah mual. Tapi sebelum berakhir, jangan lupa kamu sendiri yang bilang kalau aku memang menaruh minat pada sejumlah keanehan. Berarti saat aku mempersetankan sakit kepala yang kurang ajar dan merelakan jam-jam tengah malamku hanya untuk menulis ini, aku juga mendefinisikanmu ke dalam suatu keanehan – jadi jangan berbangga diri. Haha.
 
Ya sudahlah, di atas segalanya - terima kasih untuk semua keanehannya. Dari sini mendoakan semoga mereka yang kamu puja dan bela bisa memberikan hadiah kemenangan. Lantas hari ini, jangan lupa untuk berbahagia dan membahagiakan. *tanda senyum*
Read More

Sunday, September 1, 2013

Dear Antonini,


So answer me, where is the good part in goodbye? It used to be easy to say goodbye. Something like a hope for something good through every single tear at any farewell. Then it also used to be easy to wish that there will be a new hello after goodbye.


Personally, it just snuck up on me to know that finally you found another club to play with. It feels that weird to imagine that you will dribble on another pitch immediately. It feels that weird to think of one day you will mark Milan strikers in your new jersey.   


Sometimes I curse my brain for it is so easy to play so many memories back. I don’t remember the first time I saw you play with Milan. What I remember is my first Milan match. But it has been crystal clear on my mind when I saw your goal against Juventus at home match on 15 May 2010. Completely sure that you still remember it too. It has felt that awesome till this second on this day. How you brought me into my highest adrenaline, how you made me scream like a crazy one. I remember that joy, I adore that satisfaction.


Can I be honest? You sometimes – well OK, often – made me crazy at almost of your matches. I admit that I was that mad everytime I saw you do some mistakes at crossing or when you were being late to mark your opponents. I could be very angry at every lost, but I could be overjoyed at any winning. That is why I adore football. Football has gotten me so honest. I’m angry when I want to be angry, I’m sad when I want to be sad, I’m disappointed when I want to be disappointed, I’m glad when I want to be glad. How every little thing in it brings me the real atmosphere of owning something. What I feel is, I become a part of what you play for. I know it sounds so naive even silly to feel that I also belong to Milan. But that is what you guys have made to me – and perhaps another Milanista.


And you know what? Your farewell just made me realize about a good thing in goodbye. It is not about finding someone new, it is about how it reminds me of every good thing – even though it is out of football context. It reminds me how you splashed some glitter on Milan Christmas video, how you got me laugh because of it. It reminds me about that El Shaarawy head-juggling-shoe video, how you added some backsound for it. “El El El Shaarawy....” Remember that part? I stole my office hours just to watch it over and over again. Thank God my boss was too stupid to realize it. Or about how you borrowed Balotelli’s “Why Always Me” words when you tweeted the-way-Llorente-broke-your-nose photo, not too long after Cristante broke your nose. And yes, your family Harlem Shake video. Be proud of it, only your Harlem Shake could make me laugh.


Note this, highlight this. Those little things convince me that a footballer is not only about scoring or tackling, not only about Big Ears Trophy or Ballon d’Or – but also about how to make me (and another fan) closer to you guys, to make me sure that you guys can be so touchable. Maybe my biggest lost feeling of you defines about how you make me waste every what-I-adore-is-too-far-to-reach thought.


So - grazie mille, terima kasih banyak, thank you very much. Good luck, the very best lucky and blessing are yours wherever you are now. I wish Genoa will also give you a good PlayStation rival just like El Shaarawy. Just look at his tweet, how he becomes sad because of your transfer. Once again, thank you for every single sweet memory. I’m being this cheesy and weird on behalf of them to apologize for every boo, for every anger, for every disappointment.


Above all, just be happy there for you have made me (and perhaps them) happy by your football and yourself. I have loved you for sure though I had not told it. Haha.


God bless you more, cheers!
Read More

Wednesday, August 28, 2013

Selamat Pagi



Aku benci dengan tidurku akhir-akhir ini. Tidur yang tak tenang, yang membangunkanku dengan segala sesuatu yang tak pernah berhenti melawanku entah sejak kapan. Ada kalanya ia berdiam, meyakinkanku bahwa semuanya sudah selesai dan akan ada kekekalan pagi-pagi yang baru. Pagi yang tak gelisah, pagi yang tak cemas, pagi yang tak takut. Namun mungkin ia memang sebebal itu atau mungkin senyumku pada pagi terlalu memuakkan untuknya. Lalu ia datang, mengguncang-guncangku sampai aku terbangun. Memperlihatkan taringnya lewat senyum yang tak indah, ketidakkasatmataannya membuatku ngeri. Karena hanya aku yang melihatnya, karena hanya aku yang diguncangnya.

Pagi ini ia kembali menyeringai. Memamerkan otot-otot dengan lusinan senjata di tangan kanan-kirinya. Siap merobek, siap menikam, siap membunuh. Aku bukannya Daud yang tak takut walau hanya bersenjatakan tongkat dan lima batu licin. Aku tanpa senjata, kakiku pincang, pikiranku kalut, pemandanganku gelap. Siapa yang sanggup melawan kalau sudah seperti ini?

Lantas pagi ini, saat mentari masih menyembul malu-malu dari balik kodratnya - dia yang tak pernah menjadi sedarah namun membuatku mempersetankan hal-hal semacam itu berbicara tentang apa yang membuatnya terjaga. Katanya si gagal sudah menanti, kacamata hitamnya membenarkan, kacamata beningnya menyalahkan – namun ia bukan pemakai kacamata.

Katanya ia mau berjalan lagi. Mengabaikan segala sakit dan pincang kalau nanti memang harus terperosok. Katanya, ketidaksengajaan menjadi anugerahnya. Tentang siapapun yang ia punya karena ketidaksengajaan yang tentu saja tak  tertebak. Katanya bakal ada tangan-tangan yang menarik saat lubang hitam menjadi persinggahannya.

Lalu aku melihat siapa yang menjadi ketidaksengajaanku. Tentang laki-laki yang membuatku rela merajam kelingking kananku, tentang pemahamannya yang mendalam walau aku selalu memilih bungkam, tentang keinginannya agar aku lebih menyayangi hidup. Ada dia juga. Kami yang terpisahkan oleh jarak dan waktu. Tentang ketidaksengajaan yang bermula dari perpanjangan tangan kecanggihan dunia maya. Walau sempat ada renggang dan kecewa, dia sudah kembali. Membawaku kepada tawa tengah malam yang selalu aku rindu.

Pada awalnya aku hanya sendiri di kota ini. Waktu yang hampir berjalan kepada kuasa dini hari mempertemukan kami di sebuah kedai kopi yang hampir tutup. Lalu ada kami di sana. Merangkai tawa dan canda walau terkadang ada marah di antaranya. Tapi tak mengapa, selama tak sendiri. Di tengah-tengah segala rasa muakku tentang fanatisme yang enggan dewasa, aku juga menemukannya. Dia yang lama kelamaan mengaku muak, buatnya lebih baik merengkuh kepastian daripada bergelimang puji atas segala sesuatu yang tak akan menjadi milik kami. Aku mengiyakan, mengamini – lalu kami berjalan menjauh. Meninggalkan mereka yang tak lelah berkoar atas nama pengaguman yang tak pernah menjadi benar untukku.

Entah apa yang Tuhan mau. Mimpi lama yang semakin menggebu. Membuatku mereka-reka kapan semuanya bermula. Sebelas tahun yang lalu, saat gagal belum menyentuhnya. Mimpi yang hanya menjadi khayalan saat aku jenuh dengan tuntutan mama yang seolah tak mau berhenti. Kataku dia yang guratan wajahnya baru sanggup aku amati lewat foto yang terpampang pada satu  atau dua media sosial – memang menyebalkan. Ada angkuh, ada keberhasilan yang membuatku tertinggal jauh di belakang. Tapi nyatanya dia juga membawaku. Terkadang dia sememuakkan itu, terkadang dia semanis itu. Aku bermimpi menghidupi mimpiku lewat tangannya. Keberanian yang mulai membukakan tabirnya sendiri setelah belasan tahun terkubur dalam realita. Ketidaksengajaan menyebalkan yang mulai membuatku belajar untuk mensyukuri segala ketidaksengajaan.

Aku tak mau menghitung yang terakhir ini. Tapi nyatanya ada gejolak kalau dia juga menjadi ketidaksengajaanku. Ketidaksengajaan yang membuatku sedikit menyentuh apa yang selama ini aku hindari. Ah, masa bodoh dengan kecewa dan ketidakpastian atau cibiran mereka karena sedang ada dalam cerita baru. Mungkin akhirnya tak akan terlalu berbeda, tapi tetap ada sejumput manis yang tak pernah kalian rasa.

Jadi, pagi hari ini tanpa kopi. Aku ingin bersenggama bersama manisnya teh panas yang semoga saja membuatku lebih berani untuk mengecap yang manis dan mempersetankan yang pahit. Mengacuhkan rumah yang tetap belum bisa menjadi rumah untukku, yang membuatku selalu menjauh. Namun cengkramannya membuatku tak bisa terlalu jauh karena tetap ada paksaan agar aku terus mengalah. Aku tak mau kalah lagi. Aku tak mau mendengar tarikan nafas panjang mereka, aku tak mau membaca pesan tentang abang yang tak mau mengerti, aku tak mau berkorban lagi, aku mau mama berkata cukup, aku mau papa hidup kembali.

Tapi siapa aku yang bisa berkuasa mengatur segalanya? Jadi anggap saja akan ada ketidaksengajaan baru yang mungkin akan mempertemukanku dengan pagi yang baru. Ya, anggap saja seperti itu.
Read More

Saturday, August 24, 2013

Sembilan


Aku mengacuhkan numerologi. Untuk apa percaya pada penafsiran angka kalau dunia menyuguhkan kepastian lewat matematika? Biasanya angka ini tak bermakna apapun, karena setelah sembilan selalu ada sepuluh yang menghidupi keberadaannya dengan wajar. Aku ingat tentang cerita di masa kanak-kanak dulu, sewaktu angka sembilan hanya berarti hafalan angka tunggal yang terakhir. Aku ingat tentang cerita di masa sekolah dulu, sewaktu angka sembilan merangsek naik menjadi cara terbaik untuk membanggakan papa.

Lantas umur terus bergulir, terasa lebih cepat daripada seharusnya. Angka sembilan aku harap tak menambah maknanya, karena aku muak dengan segala kerumitan yang tak kunjung enyah dari umur yang semakin menua. Kembali menjadi anak-anak semacam menjadi godaan terbesar, namun apa daya waktu punya aturannya sendiri. Hari ini angka sembilan berarti rindu. Rindu yang menyembul malu dari balik acuh tak acuh. Rindu yang terlanjur memekik di antara tawa dan kesal. Rindu yang membuyarkan kata-kata yang sempat terekam dalam otak untuk kemudian berbaris rapi di sini.

Tentang kamu aku tak bisa menulis panjang, karena ada rindu yang membentang panjang. Jadi, terima kasih untuk sembilannya - untuk semua yang ada di sembilan hari kemarin.
Read More

Friday, August 23, 2013

Yang Penting Ada Kita Di Sana


 Ada yang aneh dengan kita. Karena biasanya aku suka menghitung. Semacam kebiasaan aneh yang membuat otakku dipenuhi oleh angka dan angka. Angka tentang tanggal dimulainya yang tidak biasa. Angka tentang berapa kali mempersetankan jam malam, angka tentang usia dari objek terabstrak sekalipun. Tapi tentang kita sedikit berbeda. Aku tak perduli angka, aku tak mau tahu dengan umur, aku tak mengingat tanggal. Aku hanya paham yang penting ada kita di sana.

Tadi malam aku mendengar dia berbicara tentang kita. Katanya itu ucapanmu. Ucapan singkat yang membuatku tercekat walau berusaha mengacuhkannya. Semacam ada yang aneh, keanehan yang membawaku kepada tahun-tahun di belakang yang belum terlalu lama. Tentang keakraban yang mulai menjadi-jadi saat kita menginjak dunia maya. Lucu, karena di dunia nyata pun kita sudah sering bertemu. Tapi ya sudahlah, yang penting ada kita di sana.

Ada yang tak suka. Lantas telingaku mengatup rapat walau tanpa perintah, jadi biar saja mereka tak suka. Memaki setelah berputar-putar dalam ekspektasi yang terlalu jauh meninggalkan kenyataan. Toh, kamu juga tak perduli. Karena dahi kita memang tak layak untuk berkerut selama kita menjadi kita. Senyum yang mengembang, tawa yang meledak, hati yang menghangat - menjadi apa yang layak atas segala sesuatu tentang kita. Dunia mendoktrin, lidah mengintimidasi seolah tak rela akan apa yang kita jalin. Kata mereka kamu pengkhianat, kata mereka aku pencuri, kata mereka kita brengsek. Kamu hanya tertawa, meyakinkan kalau mereka tak pernah menjadi penting - karena yang penting ada kita di sana.

Hidup mungkin ingin menguji. Jarak menjadi hitungan tersulit, waktu menjadi rumus terumit, kamu menjadi luka tersakit. Walau kita tetap tak ingin, ada renggang di sana - ada kecewa di sini. Aku berpikir tentang kita. Tentang kita yang mungkin akan segera enyah, berganti menjadi aku dan kamu. Lalu aku menyendiri. Memaki segala sesuatu yang pernah aku anggap sebagai kita. Merutuk kebodohan karena aku selalu rela untuk menjadi satu dengan kita. Kata orang masa lalu jangan dianggap. Tapi dengan kita, dia berlaku lain. Mengingatkanku tentang kita. Ada muak yang mengancam, ada rindu yang menyergap, ada kita yang menjaga. Walau kamu ingin beranjak, tetap ada kita yang meraja. Semua menjadi utuh biarpun tak serupa dengan yang dulu. Aku tertawa, mengenyahkan semua yang menyerang  - semua yang menipu. Tak mengapa aku menjadi bodoh, tak masalah aku menjadi naif sebab yang penting ada kita di sana.

Aku mengagungkan Tuhan, terkesima dengan pikiranNya yang tak tertebak. Ada jalan yang berliku, ada tanjakan yang mencekam dan ada langkah yang berat. Namun di akhir segala lelah ada kita yang tetap menjadi kita. Jangan merutuk lagi, karena kita tak sejauh jarak - karena kita tak selampau waktu. Kekal yang pasti tetap masih terlalu jauh untuk direngkuh. Tapi biarkan saja dia terlalu jauh kalau memang harus seperti itu. Lantas lihat saja apa yang ada, tentang aku dan kamu yang ternyata tetap menjadi kita. Acuhkan saja kekal yang masih terlalu jauh dari pasti yang menjamin, percaya saja kalau yang penting ada kita di sana.


Read More
anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena