Sunday, September 8, 2013

Buat Kamu yang Sering Menyelipkan Tanda Senyum dalam Pesan Singkat

Hallo kamu, apa kabar? Sudah lama ya? Tunggu, kalau melihat hitungan hari – belum menyentuh angka tiga puluh. Tapi rasanya sudah lama. Memang tidak terlalu lama. Tapi ya, cukup lama.

Hari ini aku membaca Gandhi. Katanya, apa yang kamu lakukan itu tidak penting – karena yang penting adalah kamu melakukan hal itu. Rasanya sedikit melegakan karena aku bukan orang yang pintar. Terlalu banyak yang tidak aku tahu apalagi pahami. Yang aku tahu hanya yang aku inginkan, walau aku tak paham tentang pantas-tidaknya aku menginginkan hal itu.

Menunggu belasan tahun itu tidak terlalu menyenangkan. Kadang ada takut karena ia terlampau jauh. Ada malu karena ia terlalu hebat. Tapi terkadang juga ada riang, karena nyatanya ia tak pernah menghilang. Kalau boleh jujur, mungkin hari ini aku sudah bisa menggapainya. Tapi terkadang hidup hanya memperbolehkan untuk memilih satu. Dan kalau boleh lebih jujur lagi, akhir-akhir ini ada sesal karena aku tak bergegas meraihnya. Karena aku memilih untuk mendahulukan yang sampai detik ini masih menjadi ketidakjelasan. Selama hidup aku tidak pernah menjadi penjudi ulung, dunia sering tertawa karena aku sering kalah dalam bertaruh. Tapi sekeji apapun bayangan tawa mereka, tetap ada yakin di dalam sini untuk meraih apa yang tidak pernah hilang selama belasan tahun tadi - walau secara analogi, besarnya tak melebihi biji sesawi. 

Pernah membaca tentang Marcuse? Aku menyukai segala gagasannya. Katanya teknologi adalah penyakit yang memporak-porandakan manusia dalam masyarakat modern. Teknologi membuat manusia mengasingkan kemanusiaan dari dalam dirinya. Katanya merusak, karena manusia menyerahkan kemerdekaannya kepada teknologi tadi. Lantas aku berpikir tentang kita. Seandainya teknologi tidak mempertemukan dalam dunia maya, mungkin kekonyolan ini tidak bakal ada. Kekonyolan yang sedikit menghidupkanku kembali, kekonyolan yang pada kenyataannya membuatku tersenyum-senyum sendiri saat mengingat setiap detail yang terlanjur terjadi.

Kalau kamu mau tahu, pada awalnya aku sudah menjadi manusia yang teralienasi. Aku sendiri yang memutuskan untuk menyingkirkan hal-hal semacam ini atas dasar masa lalu. Tapi nyatanya kamu sehebat itu. Sanggup membuatku mengacuhkan segala hal pahit yang membuatku jengah untuk kembali bersinggungan dengan segala jenis romantisme. Kalau Marcuse bisa membaca ini, mungkin ia akan tersenyum lega. Karena pada dasarnya, teknologi yang dikutuknya tak selamanya berlaku tak adil. Buktinya, aku bisa kembali menjadi manusiawi. Manusia dengan segala keutuhannya yang terbentuk dari ketidaksempurnaannya. Kentalnya kenaifan menggiringku kepada kemanusiaan yang sebenarnya. Menolak untuk menjadi sempurna dengan mulai menyeimbangkan logika dan perasaan pada puncak klasemen segala daftar kebutuhanku. Kalau dipikir-pikir, siapa aku yang sanggup menolak mentah-mentah segala iming-iming yang kerap ditawarkan romantisme? Bahkan Ricardo Kaka rela memangkas gaji atas nama kerinduan untuk mengecap kembali setiap cerita manis yang sempat ia ukir lewat permainan olah bola di lapangan hijau ala San Siro. Jadi rasanya sah-sah saja saat terkadang aku mulai mencari penyeimbang logika.

Kamu bilang aku ini aneh. Aku mengamini segala justifikasi tadi setelah berkaca dan melihat keanehan yang bercokol pada setiap jengkal pikiran. Keanehan yang saat ini membuatku enggan menyentuh kembali cara hidup mereka yang normal. Kalau boleh jujur, terkadang aku ingin menjadi normal. Menjadi serupa dengan mereka yang pernah atau bahkan saat ini membuat jantungmu bergerak sedikit di atas batas kewajaran setiap nama mereka melintas di dalam otak. Entah aku yang terbiasa dengan ketidaknormalan, entah aku yang terlanjur tenggelam dalam iming-iming idealisme – pada akhirnya aku menolak untuk menjadi normal. Rasanya seperti menipu diri sendiri. Percaya saja kalau aku sudah pernah mencoba. Tetapi pada akhirnya berpura-pura tidak tertarik kepada apa yang menjadi isi kepala Theodor Adorno dan menggantinya dengan keinginan untuk menjalani cerita seperti yang disuguhkan oleh drama-drama Korea sama saja dengan menjebloskanku dalam kemunafikan. Berpura-pura mengawali hari dengan Sunday Morning dan mengacuhkan International You Day sama saja dengan mengakui kalau Massimiliano Allegri jauh lebih jenius dibandingkan dengan Brian Howard Clough. Berpura-pura mengamini bahwa pertandingan sepakbola antarkampung tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan sepakbola ala Eropa sama saja dengan menyangkal keyakinanku tentang apa yang aku definisikan sebagai kebahagiaan. Rasanya mencoba untuk sama seperti mereka yang memproklamirkan kesiapan diri untuk tunduk dalam ikatan pernikahan itu sama saja dengan berkoar-koar kalau aku adalah bagian dari ultras tribun selatan San Siro. Bukan karena tak ingin, tapi karena masih terlalu sakral. Kesakralan yang buatku pribadi dibuktikan oleh keharusan untuk mengganti "aku" dan "kamu" menjadi "kita".

Jadi pada akhirnya aku mengamini perkataan Gandhi tadi. Mungkin segala sesuatu yang aku lakukan tentang kamu tidak pernah menjadi penting. Tidak penting karena sampai detik ini aku masih tak paham tentang ujung yang bakal aku temui. Tidak penting karena mungkin kamu juga tidak pernah menganggapnya sebagai sesuatu yang penting. Tapi yang terpenting aku sudah dan mungkin masih akan melakukannya. Kalau ditanya tujuannya, aku juga tidak terlalu paham. Satu-satunya yang aku yakini sebagai tujuan adalah karena aku memang menginginkannya.

Aku percaya kalau tidak ada jaminan apapun yang mampu diberikan oleh hidup, karena bagaimanapun juga hidup bukanlah gadget yang memberikan fasilitas garansi. Mungkin ke depannya akan ada sesal, akan ada gerutu atau mungkin lega dan tawa. Tapi atas segala hal pahit dan manis yang sama-sama menanti, aku juga meyakini kalau suatu saat aku akan seperti Hitler. Hitler yang di balik segala kekejaman Holocaust-nya tetap menulis “Aku bersyukur kepada Tuhan bahwa sebagian kenanganku pada masa-masa bahagia itu masih melekat padaku” di atas lembaran kedua puluh Mein Kampf volume satu.

Mungkin tulisan ini menjadi salah satu hal teraneh yang pernah kamu baca, seaneh rasa senang saat aku membaca tanda senyum yang sering kamu selipkan dalam pesan singkat. Dan atas segala keanehan itu, mungkin lebih baik aku segera menyelesaikan tulisan ini sebelum kamu menjadi atau bahkan bertambah mual. Tapi sebelum berakhir, jangan lupa kamu sendiri yang bilang kalau aku memang menaruh minat pada sejumlah keanehan. Berarti saat aku mempersetankan sakit kepala yang kurang ajar dan merelakan jam-jam tengah malamku hanya untuk menulis ini, aku juga mendefinisikanmu ke dalam suatu keanehan – jadi jangan berbangga diri. Haha.
 
Ya sudahlah, di atas segalanya - terima kasih untuk semua keanehannya. Dari sini mendoakan semoga mereka yang kamu puja dan bela bisa memberikan hadiah kemenangan. Lantas hari ini, jangan lupa untuk berbahagia dan membahagiakan. *tanda senyum*

0 comments:

Post a Comment

anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena