Saturday, January 4, 2014

Kataku, Ini Sabtu Malam yang Memuakkan

Bagaimana Sabtu malammu? Menyenangkan? Ada berapa banyak kalimat yang kau baca hari ini? Seberapa kaku perutmu akibat terpingkal-pingkal dengan mereka yang menjadi karibmu? Apakah hari ini biasa saja untukmu? Berapa jam yang kau habiskan untuk berpikir tentang cara terbaik menghabiskan hari ini? Berapa kali kau mengganti saluran televisi karena tak ada satupun tayangan yang sanggup mengusir bosanmu? Atau jangan-jangan kau sama sepertiku yang hari ini merasa muak?

Kau tahu? Aku muak hari ini. Oh, tenang saja. Ini bukan karena tanpa laki-laki atau hal-hal semacam itu. Sampai malam ini aku masih mempersetankannya. Aku muak dengan mereka yang mungkin saja menjadi teman-temanmu. Ya, mana aku tahu kau mengenal mereka atau tidak. Mana aku tahu kalau ternyata kau sering berbagi meja dengan mereka di warung-warung nasi harga enam ribu sepiring. 

Aku mau muntab. Seperti ingin menghabisi mereka dengan persediaan kata-kata tak masuk akal lagi kurang ajar yang entah sejak kapan aku kumpulkan. Katakanlah mereka memang secerdas itu, menghabiskan entah berapa ribu jam untuk mencerna kata apapun yang tertulis pada buku yang menjadi santapan mereka. Katakanlah - ya Tuhan, aku benar-benar muak dengan istilah ini - jam membaca mereka memang tinggi. Setinggi apa memangnya? Katakanlah pengetahuan mereka memang luas. Seluas apa memangnya? Kalau memang secerdas seperti yang selalu mereka gembar-gemborkan, menjelaskan pengukuran semacam itu tentu tak akan sampai memakan waktu berhari-hari, tentu tak akan sampai membuat lidah kelu dan kening berkerut-kerut.

Seingatku, aku pun bisa membaca. Bahkan sebelum duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Lalu apa bedanya dengan mereka? Bukankah kami menghabiskan tahun-tahun yang tak jauh berbeda hanya untuk belajar membaca? Bukankah kami sama-sama bisa mengeja "megalomaniak" dengan lancar lagi benar? 

Jadi, apa hebatnya jam baca mereka yang tinggi? Apa yang membuat mereka lupa dengan tujuan penulis? Bukankah mereka menulis untuk memberitahukan, untuk menjelaskan bahkan untuk mengajar apapun yang ada dalam pikiran mereka? Bukankah pada awalnya untuk mengubah tidak tahu menjadi tahu, untuk bergerak dari tidak paham menjadi paham? Lantas, kalau mereka hanya berkoar-koar laiknya bocah baru dua hari bersunat yang membangga-banggakan kelaki-lakiannya - bukankah mereka sudah mengkhianati apa yang menjadi esensi mulia dari tulisan itu sendiri?

Kau pikir ini tentang mereka yang memberi kritik? Bukan. Tenanglah, karena aku meyakini tentang sifat ksatria pada mereka yang memberi kritik. Dan tenang jugalah, karena aku percaya kalau kritik itu tak harus membangun seketika. Bukankah terkadang sebuah rumah harus dihancurkan dulu sebelum dibangun? Tapi buat mereka yang hanya bisa mengolok-olok, yang hanya bisa bersembunyi di balik jam baca mereka yang - katanya - tinggi, merekalah yang membuatku muak. Kau tahu? Muak semuak-muaknya.

Kau tahu kalau aku juga muak dengan Durna dan murid-muridnya, para Pandawa yang tersohor itu? Dia yang menolak dan menganggap rendah seseorang hanya karena perbedaan kasta. Perbedaan kasta tahi kucing! Pada akhirnya para Pandawa memang menjadi penghuni surga, tapi ingat apa yang ada dalam Maha Prastanika Parma itu? Lihat siapa yang pada akhirnya juga tinggal bersama mereka dalam kemuliaan yang setara di surga! Karna! Anak sais yang mereka olok-olok dan anggap remeh. Jadi, tolong sampaikan cerita ini pada mereka yang mungkin saja menjadi teman-temanmu. Siapa tahu orang-orang yang dianggap rendah karena jam baca yang kurang pada akhirnya akan bersanding dengan mereka.

Ah, aku membaca tulisan-tulisanmu. Kau orang baik, setidaknya dari apa yang kau tulis aku yakin kau tak suka gembar-gembor kosong. Kalaupun berisi, untuk apa digembar-gemborkan? Sesaat setelah kau bertanya hal ini, bersiaplah untuk mendengar alasan maha intelektual nan mulia yang tak lain adalah tameng akan nafsu atas sebuah pengakuan. Lagi-lagi tahi kucing!

Sebelum aku menyulut rokok kesukaan dan menghentikan segala celoteh ini, jawablah dengan jujur. Kau hidup bersama mendiang Pram, bukan? Walaupun tidak secara fisik, tapi apa yang menjadi isi hati dan pikirannya begitu melekat denganmu, bukan? Aku harap kau menjawab "ya" dengan segala kejujuran. Ingat surat terbukanya untuk Keith Foulcher? Dia bilang, megalomaniak itu bisa keluar dari konsep inferiornya - bukan karena kekuatan yang berasal dari dalam, tapi karena dari luar dirinya. Makanya, aku harap kau tetap menjadi seperti ini. Alih-alih mencengangkan, aku lebih suka kau yang meneduhkan - setidaknya lewat tulisanmu.

 Jadi, apa aku sudah mengacau Sabtu malammu? Maafkan kalau memang begitu. Aku berjanji, Sabtu malam selanjutnya akan aku buat semanis mungkin untukmu.


Read More

Tuesday, December 24, 2013

Pikiran Malam Natal



Malam Natal 2013. Siapa yang menyangka bakal secepat ini? Aku pun tak menyangka. Bukan malam Natal yang sempurna. Ah, bukan karena tak bersama keluarga, pacar, sahabat atau siapapun. Bukan pula karena tak ada pohon Natal, lagu-lagu Natal, kado-kado atau apapun. Aku bukan orang yang mempermasalahkan hal-hal semacam itu.

Terasa tak sempurna karena sebelum detik ini, ada hal-hal bodoh yang aku lakukan. Terasa bodoh karena hanyalah kesalahan yang sama. Aku pun merutuki diri sendiri karenanya. Entah apa yang ada di dalam otakku. Kekonyolan karena takut pada ketidakpastian. Padahal Albert Camus - salah seorang pemikir dan penulis kesayanganku - sudah berkali-kali menulis tentang ini. Aku pun mengamininya, jadi seharusnya aku sudah siap. Siap menghadapi absurditas dengan menjadi pemberontak, bukannya melawan dengan absurditas lain. Kalau dipikir-pikir, aku bukannya melawan, malah menambah ketidakjelasan dan kekacauan.

Tapi aku berpikir tentang ini. Tiba-tiba saja. Mungkin Camus juga pernah menjadi sama sepertiku. Eksistensialisme mengajarkanku banyak hal yang sangat humanis. 

Setiap manusia membutuhkan keberadaannya sendiri. Setiap manusia membutuhkan keyakinan bahwa ia benar-benar ada sebagai subyek. Segala macam ketidakpastian sering - atau mungkin selalu - menggerus kemanusiaan manusia itu sendiri. Ia bukannya tenggelam, tapi dipermainkan. Mungkin seperti boneka yang dimainkan sesukanya oleh para pemiliknya. Ia tetap ada, tapi tak bisa merasakan keberadaannya sendiri. Ia bukan menentukan, tapi ditentukan. 

Lantas aku berpikir tentang Yesus. Tentang apa yang ada di dalam pikiranNya sampai-sampai mau menjadi manusia. Aku pikir Dia itu pemberontak. Pemberontak yang melawan gagasan-gagasan manusia tentang Ia sendiri. Otak-otak manusialah yang membuatNya terasa terlalu jauh, tak terjangkau. 

Aku membaca Perjanjian Lama. Gila! Untuk beribadah saja terasa begitu rumit. Mereka membuat Tuhan hanya milik orang-orang tertentu. Ada ritual-ritual, ada kekhususan-kekhususan. Dalam Perjanjian Lama ditulis kalau hanya imam yang boleh masuk ke Ruang Maha Kudus. Ruang tempat Tuhan bertemu dan berbicara dengan manusia. Ruangan yang gelap. Karena saat Tuhan datang, cahayaNyalah yang akan menjadi penerang. Pinggang sang imam akan diberi tali panjang, kakinya diberi lonceng. Kalau ia tak cukup kudus ia akan mati. Kalau tak ada suara lonceng berarti ia sudah mati di dalam ruangan itu. Para pembantu yang menunggu di luar akan menyeretnya dengan tali yang diikat di pinggangnya. Belum lagi tentang upacara korban sembelihan untuk menghapus dosa. 

Kadang aku berpikir, untuk apa Tuhan menciptakan aturan-aturan semacam itu? Masa Ia tak cukup cerdas untuk mengetahui bahwa hal-hal semacam itu hanya akan menjauhkan manusia dariNya? Masa Tuhan keliru lalu merevisi semua keputusanNya dengan turun ke dunia dalam wujud dan kemanusiaan Yesus? Kalau begitu, Ia tak ubahnya Tuhan yang plin-plan. Atau Tuhan yang gemar mempermainkan manusia? Kasihan sekali mereka yang harus hidup pada zaman sebelum Yesus lahir.

Tapi entah ini benar atau salah, ini yang aku pikirkan. Manusialah yang menjauhkan diri. Dan mungkin, Ia juga Tuhan yang menghargai kemanusiaan. Toh, Ia bukan Tuhan yang tak pernah melarang atau memberitahu tentang ganjaran. Manusia-manusia itu pun tahu. Tapi entah karena naluri atau apapun, tetap saja dilanggar.

Lebih parah lagi, para imam yang pada awalnya menjadi pelayan Tuhan - justru menjadikan diri sebagai orang yang paling mendekati Tuhan. Orang-orang Farisi, ahli-ahli Taurat. Jadi dengan kata lain, kebebasan dan kemanusiaan itu sendiri yang menggiring manusia kepada absurditas.

Lantas hanya pemberontakan Tuhan-lah yang dapat menghentikan semuanya. Tuhan menjadi manusia dalam wujud Yesus. Ia memberontak terhadap tradisi, kekakuan prinsip bahwa Tuhan hanyalah milik orang-orang tertentu. Ia merusak struktur-struktur ekonomi yang mencekik leher. Para pedagang - kaum kelas menengah - itu menciptakan uang lewat konsep atau pengetahuan mereka tentang penebusan dosa. Mereka berdagang di bait suci. Seolah-olah Tuhan dapat dibeli dengan uang. Pengampunan Tuhan hanyalah seharga darah domba atau burung atau hewan lain yang mereka jual. Padahal pengampunan Tuhan itu gratis. Gratis, bukan karena murahan.

Yesus memberontak. Memberontak terhadap kemunafikan, kedangkalan, kesenjangan, ketidakadilan bahkan kekuasaan maut. Kalau dipikir-pikir, Ia dapat melibas semuanya tanpa harus bersusah-susah menanggung siksa, lalu mati, bangkit dan hidup kekal. Tapi Ia tak tanggung-tanggung, turun ke alam maut. Lalu memberikan keselamatan yang kata orang-orang dengan segala kedangkalan dan kesombongannya tak pasti. 

Jadi, menurutku Natal seperti ini. Natal itu awal pemberontakan. Keyakinan yang membuatku tak suka merayakannya dengan meriah. Aku butuh kesunyian untuk merayakannya. Karena buatku, pemberontakan adalah tentang kesunyian. 

Aku pun yakin kalau Yesus paham betul apa makna kesunyian itu. Kesunyian yang memberikanNya kekuatan. Kalau Ia tak paham, Ia tak akan meninggalkan murid-muridNya untuk berdoa dan bergumul sendirian di Taman Getsemani. Berdoa? Ya, sebagai manusia seutuhnya Yesus yang sejatinya adalah Tuhan itu sendiri butuh memberontak terhadap batasan-batasan yang manusiawi - yang pasti menggodaNya untuk menggunakan ketuhananNya sendiri. Mungkin kalau Ia bertindak seperti itu, yang selamat bukanlah manusia tapi Ia sendiri. Atau bisa saja manusia selamat, tapi tetap saja Ia tak menjadi Tuhan yang tersentuh dan menyentuh manusia lewat sesuatu yang substansif - cinta.

Aku pun tak paham, jadi aku belajar. Kalaupun nanti tak paham seutuhnya - ya, biar saja. Namanya juga manusia. 

Jadi - sekali  lagi - Natal buatku bukanlah tentang kehangatan. Kalau tentang kehangatan, rasanya tak mungkin Ia memilih kandang sebagai tempat dilahirkan dalam wujud manusia. Natal buatku adalah tentang pemberontakan melawan dingin. Bukan melarikan diri ke tempat yang hangat. Natal buatku adalah tentang pemberontakan terhadap kecongkakan manusia yang membunuh kaum marjinal. Saat orang-orang mengasingkan para pengidap kusta, saat orang-orang tak menggubris pengemis-pengemis buta, saat orang-orang menghakimi Maria Magdalena si pelacur, saat orang-orang mengutuk para pemungut cukai, saat orang-orang meremehkan anak kecil - Yesus justru ada bersama mereka. Bahkan sebelum mati Ia memberikan surga bagi penjahat yang ikut disalib di sebelah kananNya.

Jadi seperti itu, walaupun masih terlalu banyak pertanyaan yang belum aku pahami jawabannya. Bagaimana bisa paham kalau aku belum menemukannya? 

Tapi sudahlah, semoga aku bisa menjadi pemberontak sejati seperti Yesus. Memberontak terhadap batasan-batasan yang mengintimidasi, karena Yesus pun memberi kemerdekaan. Namun, penjajahan adalah syarat awal dari kemerdekaan. Bagaimana mungkin ada kemerdekaan kalau tak ada penjajahan? Dan syarat yang kedua, pemberontakan.

Selamat Natal, sambil mendengarkan Aftermath dari Hillsong United.

 
Read More

Tuesday, December 10, 2013

Untuk Selatan Senja


Senja hari ini sudah selesai. Senjanya tak biasa. Bukan hanya karena hujan yang tak sudi untuk segera pulang, tapi karena aku juga baru menyadari kalau aku ada di selatan kota ini. Kota yang baru. Kota yang katanya gemar mempermainkan isi dompet mereka yang menggilai hedonisme. Kota yang kataku senang mendewasakan mereka yang menantang absurditas.

Ada yang aneh di selatan kota ini. Tentang aku yang bersyukur karena sang atasan tak bosan menambah tumpukan berkas yang harus diteliti dan diperbarui. Hitungan-hitungan rumit, laporan angka terperinci yang memuakkan. Bukan karena banyaknya, tapi karena tak henti-henti mempertontonkan nominal yang membayangkannya pun aku tak pantas.

Seharusnya aku bersungut-sungut karena pusing tujuh keliling. Tapi aku tertawa saja karena ada yang menyulut si gelak. Memang tidak terbahak-bahak sampai rahang mendadak pegal dan perut menjadi kaku. Bukan pula tawa sinis karena tak sanggup melawan kuasa yang lebih besar, tuan yang lebih kaya dan otak yang lebih cemerlang. 

Tawa seadanya, bukan tawa akibat gelitik geli ataupun komedi kocak. Kalau kamu penasaran, tawa ini teduh. Teduh karena ada yang menemani, walau bertemu pun masih tak sampai.

Selatan dan senja sering mengagetkanku lewat rindu. Rindu picisan. Tapi aku tak pernah takut menjadi picisan. Siapalah aku yang berhak meminta menjadi mahakarya?

Rindunya konyol. Sekonyol cerita-cerita yang tak layak tayang. Tapi rasanya lebih baik menjadi konyol daripada mengerling genit apalagi bermuram munafik.

Di selatan sini, senjanya sudah selesai. Tapi hanya untuk hari ini, karena besok akan ada senja yang baru. Senja dengan kopi panas harga tiga ribu segelas. Senja dengan kesombongan kita sendiri, lengkap dengan kepul asap rokok masing-masing. 

Jadi, kamu ingat-ingatlah ini. Kita persetankan saja yang datang mengusik - karena besok, senja akan menjadi cantik.

Hey kamu, terima kasih untuk kicauan-kicauan manisnya.
Read More

Tuesday, December 3, 2013

Untuk RW

Maafkan karena pada akhirnya aku tahu namamu. Tapi percayalah hanya sampai di situ. Aku tak akan mencari tahu bagaimana wajahmu, di mana rumahmu atau apa mata kuliah favoritmu.

Rasanya mengucapkan "sama seperti aku yang bisa tetap kuat, kamu juga harus kuat" tidak akan pernah menjadi relevan. Kita sama-sama pernah dikhianati oleh orang yang kita salutkan, sama-sama pernah dilecehkan oleh apa yang kita anggap sakral. Sakitnya memang luar biasa, tapi tetap saja apa yang kamu rasakan jauh lebih sakit dari apa yang aku rasakan.

Ah, cukuplah membanding-bandingkan sakit dan beban. Karena kita menahan perih masing-masing, sebab kita melawan malu masing-masing.

Jadi, surat ini tak akan panjang. Akupun paham kalau kamu sudah terlalu muak dengan banyak hal. Dengan olok-olok yang menikammu, dengan belas kasihan yang merendahkanmu. Tapi di atas segala muakmu, di atas segala takutmu - kuatlah. Tetaplah kuat, karena mereka akan menerkammu saat kamu menolak untuk menjadi kuat.

-Marini Saragih-
Read More

Tuesday, November 26, 2013

Kediri

Ada yang aneh dengan kota ini. Bukan kota besar, bukan kota yang dipenuhi oleh seabrek tempat menyenangkan – tapi memberikan banyak hal. Sejumlah pemberian yang pada akhirnya dapat aku simpulkan menjadi satu kalimat – masalah panjang atau pendek biar itu menjadi persepsi masing-masing. Toh, semua berhak punya ukuran sendiri-sendiri sesuai hemat. Jadi, tepat tiga tahun tiga bulan yang lalu dengan berbagai alasan mendetail yang tak lagi aku ingat – atau jangan-jangan aku sama sekali tak punya alasan detail – aku memutuskan untuk menghidupi apa yang harus aku hidupi dari kota ini.

Bukan kota pertama, sejatinya ini kota kedua sejak aku memutuskan untuk hidup berpisah dengan mereka yang disebut sebagai keluarga. Dengan kenaifan khas orang muda aku membayangkan kebebasan yang bakal menjadi santapan sehari-hari. Pulang malam tanpa amukan mama, melakukan apa yang menjadi kesenanganku tanpa cibiran abang, memberikan hal besar kepada mereka yang menjadi sedarah denganku tanpa pengawasan memuakkan namun ada sedikit rindu kepada papa.

Iming-iming kemerdekaan lengkap dengan bumbu melankolis ala anak perempuan yang ditinggal mati papanya adalah hal yang waktu itu membuatku yakin bahwa segala sesuatunya akan menjadi menyenangkan untukku. Berbagai kalimat yang diawali dengan “akhirnya” membuatku tak sabar untuk segera melangkahkan kaki dan berpindah pulau.

Lantas semuanya memang tak mulus. Lucunya hari ini aku menyadari bahwa kota pertama yang awalnya berarti kebebasan justru menjadi benang kusut yang tak bisa aku rapikan kembali. Bukan jalan buntu, karena pada akhirnya tetap menemukan jalan untuk melarikan diri. Aku pun mengakui kepengecutanku. Tapi aku juga tak menyangkal kalau rasanya tak ada yang lebih baik lagi jika dibandingkan dengan melarikan diri.

Melarikan diri dari segala hal yang tak bisa aku selesaikan, melarikan diri dari hal-hal berharga yang mau tak mau harus aku tinggalkan di sana. Tentang sahabat, tentang cerita manis, tentang mimpi masa muda, tentang iming-iming keberhasilan. Sebaik apapun mungkin terlalu berat untuk dibawa. Pergi dalam gamang itu benar-benar memuakkan. Entah menyesal, entah bersyukur – aku pun tak paham. Yang jelas aku lari saja.

Kata temanku, jogging dari kenyataan. Kataku, yang namanya jogging sudah pasti sehat. Hehe.

Pada akhirnya umur memang mempengaruhi pola pikir. Mengikis mimpi-mimpi naif dan memaksa semuanya jadi lebih realistis. Kata orang, logika tak seluas itu. Ruangannya tak pernah cukup untuk memuat hal-hal yang terlampau besar. Daripada rubuh, lebih baik menyimpan secukupnya.

Jadi, di kota ini aku tanpa mereka yang dulu hampir setiap hari bisa aku lihat. Berat juga. Tapi menjadi sendiri memang keahlianku. Toh, semuanya juga bakal mati sendiri-sendiri nantinya. Anggap saja latihan, pikirku waktu itu.

Dibilang tak rumit, jelas tak akan mungkin - karena di sini memang tak seperti itu. Awalnya aku mengutuk lantas memaki. Yang terjadi di sini, berkorban itu tak menyenangkan. Apalagi setelah berkorban mereka menikam dan hariku jadi berbelit. Rasanya ingin merebut nafas mereka yang melega dan menggantinya dengan nafasku. Tapi Tuhan memang sudah memberikan jatah nafas masing-masing - apa boleh buat, hadapi saja.

Di sini memang tak ramai, di sini jauh dari hingar tapi aku bertemu dengan orang ini. Ayah dari dua orang anak, suami dari seorang istri. Waktu bertemu kami memang tak lama. Tapi satu dua menit darinya membuatku berani untuk mengakui kalau sebenarnya kota kecil ini pintar mengundang gelak tawa. Bukan tawa sinis, memang karena senang walaupun aku masih belum puas. Ada takut yang mengajariku cara menjadi berani, ada yang meninggalkan lalu aku bertemu dengan yang baru. Ada kebodohan yang menyadarkanku cara menjadi pintar – jauh lebih pintar daripada telepon-telepon pintar kebanggaan mereka. Ada ketidakadilan yang mempersetankan segala iming untuk menjadi tak adil, ada olok-olok yang justru sanggup membuatku bersyukur. Ada gelap yang berangsur menjadi remang menyenangkan, ada rendah diri yang meyakinkan kalau nantinya aku bakal ditinggikan. Semacam kontradiksi dengan segala nikmatnya yang menjadi candu.

Sepertinya hari ini menjadi salah satu hari paling melankolis. Melankoli yang ironis, melankoli yang melegakan tanpa sedu-sedan. Melankolinya menyenangkan karena bisa aku nikmati bersama logika. Lantas, besok ada kota yang baru. Entah selama apa, aku tak mau ambil pusing. Karena yang terpenting aku sudah tahu apa yang aku mau. Dan akan jadi seperti apa, lihat saja nanti.

Hari ini kopiku nikmat, hari ini rokokku ringan – jadi aku pun senang, apalagi senjanya sudah datang.



Read More

Saturday, November 16, 2013

Saturday, a Minute after I Listened to May 16


I look into their eyes then find something queer. The queerness I’ve never had, the queerness I’ve never felt. I don’t understand about it. But as I rush to reach what they preach as something worth having, it is crystal clear that it doesn’t suit me at all. It is like a manifestation of privilege. Something brings them into a safe place. They applause it, they are devoted to it. But to me, it means a prick smile that skews me inside.

Friday night I was in a fight, the same old vexing argument that used to stab my back. Now I’m wounded, having a pain that sent me sprawling. But hey – the antidote – as the memories come rushing back and it makes all beyond harder, I’m finally convinced that I’m uninvited into somewhere they believe as the most intact tranquility. The tranquility that ironically whispers through my ears about how frail itself.

It is odd, the antidote – it is completely odd. But as the same as God reminds me of the unseen eternal life apparently I have inside, it gives me strength. The strength to be a curious one, to torn the whole secret behind what I’ve lived up.

And one day – the antidote – one day I will share you it, until there is nothing left to stay hidden.


Read More

Sunday, November 10, 2013

Hey, the Antidote!



It is relieving to have something different. I enjoy every time people narrow their eyes at me. It oddly brings me glittery feeling every time I put some furrows on their temples. I enjoy every difference. Someone told me being normal ain’t that bad, but I guess I’m really afraid of being normal. It often exiles me from the others, brings me unto somewhere means people’s fear – a fear called as solitude.

So I start it again. I promptly refuse every shitty shit. It is ridiculous for frankly saying, I have a feeling it already flies me unto the same rage, unto the same mourning. Maybe it should be the loud rustling in my ears – something to wake me up, kind of alarm to make me steady rational. But apparently – the antidote – it makes me feel that Meursault-Arab moment. A moment when the trigger gave before he just realized that there was something jugged his palm.

I adore that solitude. I don’t want to make some spaces from a place where I can find the power to resound what I want to shout. Maybe this one already creeps you out, maybe this one makes them thinking I can’t even be with one of them. But – the antidote – I’m fine with it. I’m fine when people let me get busy to live in my own solitude. The world with no unicorn or castle or prince or sound, the world where I can shoot everyone I want to shoot.

I feel like Sisyphus a lot. Punished to push that giant rock upon a mountain and every time it hits the top, it rolls down – insists me to push it just like the first and what the worst is, it repeats forever. Camus called it absurdity. I believe in it too. He told us he existed because he rebelled. Oh, I believe my mom will just kick me out of the family list because I nod over it – or perhaps she is already on it.

But hey - the antidote - maybe we indeed need to forge our own selves to fight against the world. Because we all know it, because we all know that since we were born – we have been followed by some instincts, some temptations to bring our own selves unto the death.  I’m dead when I’m being same, I’m dead when I leave my queerness. So that is why – the antidote – that is why I won’t let myself stop looking for some antidotes.

I wrote it with no music, just the sound of rain. The sound that made me lit my cigarette happily.
Read More
anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena