Tuesday, November 26, 2013

Kediri

Ada yang aneh dengan kota ini. Bukan kota besar, bukan kota yang dipenuhi oleh seabrek tempat menyenangkan – tapi memberikan banyak hal. Sejumlah pemberian yang pada akhirnya dapat aku simpulkan menjadi satu kalimat – masalah panjang atau pendek biar itu menjadi persepsi masing-masing. Toh, semua berhak punya ukuran sendiri-sendiri sesuai hemat. Jadi, tepat tiga tahun tiga bulan yang lalu dengan berbagai alasan mendetail yang tak lagi aku ingat – atau jangan-jangan aku sama sekali tak punya alasan detail – aku memutuskan untuk menghidupi apa yang harus aku hidupi dari kota ini.

Bukan kota pertama, sejatinya ini kota kedua sejak aku memutuskan untuk hidup berpisah dengan mereka yang disebut sebagai keluarga. Dengan kenaifan khas orang muda aku membayangkan kebebasan yang bakal menjadi santapan sehari-hari. Pulang malam tanpa amukan mama, melakukan apa yang menjadi kesenanganku tanpa cibiran abang, memberikan hal besar kepada mereka yang menjadi sedarah denganku tanpa pengawasan memuakkan namun ada sedikit rindu kepada papa.

Iming-iming kemerdekaan lengkap dengan bumbu melankolis ala anak perempuan yang ditinggal mati papanya adalah hal yang waktu itu membuatku yakin bahwa segala sesuatunya akan menjadi menyenangkan untukku. Berbagai kalimat yang diawali dengan “akhirnya” membuatku tak sabar untuk segera melangkahkan kaki dan berpindah pulau.

Lantas semuanya memang tak mulus. Lucunya hari ini aku menyadari bahwa kota pertama yang awalnya berarti kebebasan justru menjadi benang kusut yang tak bisa aku rapikan kembali. Bukan jalan buntu, karena pada akhirnya tetap menemukan jalan untuk melarikan diri. Aku pun mengakui kepengecutanku. Tapi aku juga tak menyangkal kalau rasanya tak ada yang lebih baik lagi jika dibandingkan dengan melarikan diri.

Melarikan diri dari segala hal yang tak bisa aku selesaikan, melarikan diri dari hal-hal berharga yang mau tak mau harus aku tinggalkan di sana. Tentang sahabat, tentang cerita manis, tentang mimpi masa muda, tentang iming-iming keberhasilan. Sebaik apapun mungkin terlalu berat untuk dibawa. Pergi dalam gamang itu benar-benar memuakkan. Entah menyesal, entah bersyukur – aku pun tak paham. Yang jelas aku lari saja.

Kata temanku, jogging dari kenyataan. Kataku, yang namanya jogging sudah pasti sehat. Hehe.

Pada akhirnya umur memang mempengaruhi pola pikir. Mengikis mimpi-mimpi naif dan memaksa semuanya jadi lebih realistis. Kata orang, logika tak seluas itu. Ruangannya tak pernah cukup untuk memuat hal-hal yang terlampau besar. Daripada rubuh, lebih baik menyimpan secukupnya.

Jadi, di kota ini aku tanpa mereka yang dulu hampir setiap hari bisa aku lihat. Berat juga. Tapi menjadi sendiri memang keahlianku. Toh, semuanya juga bakal mati sendiri-sendiri nantinya. Anggap saja latihan, pikirku waktu itu.

Dibilang tak rumit, jelas tak akan mungkin - karena di sini memang tak seperti itu. Awalnya aku mengutuk lantas memaki. Yang terjadi di sini, berkorban itu tak menyenangkan. Apalagi setelah berkorban mereka menikam dan hariku jadi berbelit. Rasanya ingin merebut nafas mereka yang melega dan menggantinya dengan nafasku. Tapi Tuhan memang sudah memberikan jatah nafas masing-masing - apa boleh buat, hadapi saja.

Di sini memang tak ramai, di sini jauh dari hingar tapi aku bertemu dengan orang ini. Ayah dari dua orang anak, suami dari seorang istri. Waktu bertemu kami memang tak lama. Tapi satu dua menit darinya membuatku berani untuk mengakui kalau sebenarnya kota kecil ini pintar mengundang gelak tawa. Bukan tawa sinis, memang karena senang walaupun aku masih belum puas. Ada takut yang mengajariku cara menjadi berani, ada yang meninggalkan lalu aku bertemu dengan yang baru. Ada kebodohan yang menyadarkanku cara menjadi pintar – jauh lebih pintar daripada telepon-telepon pintar kebanggaan mereka. Ada ketidakadilan yang mempersetankan segala iming untuk menjadi tak adil, ada olok-olok yang justru sanggup membuatku bersyukur. Ada gelap yang berangsur menjadi remang menyenangkan, ada rendah diri yang meyakinkan kalau nantinya aku bakal ditinggikan. Semacam kontradiksi dengan segala nikmatnya yang menjadi candu.

Sepertinya hari ini menjadi salah satu hari paling melankolis. Melankoli yang ironis, melankoli yang melegakan tanpa sedu-sedan. Melankolinya menyenangkan karena bisa aku nikmati bersama logika. Lantas, besok ada kota yang baru. Entah selama apa, aku tak mau ambil pusing. Karena yang terpenting aku sudah tahu apa yang aku mau. Dan akan jadi seperti apa, lihat saja nanti.

Hari ini kopiku nikmat, hari ini rokokku ringan – jadi aku pun senang, apalagi senjanya sudah datang.



0 comments:

Post a Comment

anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena