Ada yang aneh dengan kota ini.
Bukan kota besar, bukan kota yang dipenuhi oleh seabrek tempat menyenangkan –
tapi memberikan banyak hal. Sejumlah pemberian yang pada akhirnya dapat aku
simpulkan menjadi satu kalimat – masalah panjang atau pendek biar itu menjadi
persepsi masing-masing. Toh, semua berhak punya ukuran sendiri-sendiri sesuai
hemat. Jadi, tepat tiga tahun tiga bulan yang lalu dengan berbagai alasan
mendetail yang tak lagi aku ingat – atau jangan-jangan aku sama sekali tak punya
alasan detail – aku memutuskan untuk menghidupi apa yang harus aku hidupi dari
kota ini.
Bukan kota pertama, sejatinya ini
kota kedua sejak aku memutuskan untuk hidup berpisah dengan mereka yang disebut
sebagai keluarga. Dengan kenaifan khas orang muda aku membayangkan kebebasan
yang bakal menjadi santapan sehari-hari. Pulang malam tanpa amukan mama,
melakukan apa yang menjadi kesenanganku tanpa cibiran abang,
memberikan hal besar kepada mereka yang menjadi sedarah denganku tanpa pengawasan
memuakkan namun ada sedikit rindu kepada papa.
Iming-iming kemerdekaan lengkap
dengan bumbu melankolis ala anak perempuan yang ditinggal mati papanya adalah
hal yang waktu itu membuatku yakin bahwa segala sesuatunya akan menjadi
menyenangkan untukku. Berbagai kalimat yang diawali dengan “akhirnya” membuatku tak sabar untuk segera melangkahkan kaki dan
berpindah pulau.
Lantas semuanya memang tak mulus.
Lucunya hari ini aku menyadari bahwa kota pertama yang awalnya berarti
kebebasan justru menjadi benang kusut yang tak bisa aku rapikan kembali. Bukan
jalan buntu, karena pada akhirnya tetap menemukan jalan untuk melarikan diri.
Aku pun mengakui kepengecutanku. Tapi aku juga tak menyangkal kalau rasanya tak
ada yang lebih baik lagi jika dibandingkan dengan melarikan diri.
Melarikan diri dari segala hal
yang tak bisa aku selesaikan, melarikan diri dari hal-hal berharga yang mau tak
mau harus aku tinggalkan di sana. Tentang sahabat, tentang cerita manis,
tentang mimpi masa muda, tentang iming-iming keberhasilan. Sebaik apapun
mungkin terlalu berat untuk dibawa. Pergi dalam gamang itu benar-benar
memuakkan. Entah menyesal, entah bersyukur – aku pun tak paham. Yang jelas aku
lari saja.
Kata temanku, jogging dari kenyataan. Kataku, yang namanya jogging sudah pasti sehat. Hehe. |
Pada akhirnya umur memang
mempengaruhi pola pikir. Mengikis mimpi-mimpi naif dan memaksa semuanya
jadi lebih realistis. Kata orang, logika tak seluas itu. Ruangannya tak pernah cukup
untuk memuat hal-hal yang terlampau besar. Daripada rubuh, lebih baik menyimpan
secukupnya.
Jadi, di kota ini aku tanpa
mereka yang dulu hampir setiap hari bisa aku lihat. Berat juga. Tapi menjadi
sendiri memang keahlianku. Toh, semuanya juga bakal mati sendiri-sendiri
nantinya. Anggap saja latihan, pikirku waktu itu.
Dibilang tak rumit, jelas tak
akan mungkin - karena di sini memang tak seperti itu. Awalnya aku mengutuk
lantas memaki. Yang terjadi di sini, berkorban itu tak menyenangkan. Apalagi
setelah berkorban mereka menikam dan hariku jadi berbelit. Rasanya ingin
merebut nafas mereka yang melega dan menggantinya dengan nafasku. Tapi Tuhan
memang sudah memberikan jatah nafas masing-masing - apa boleh buat, hadapi
saja.
Di sini memang tak ramai, di sini
jauh dari hingar tapi aku bertemu dengan orang ini. Ayah dari dua orang anak,
suami dari seorang istri. Waktu bertemu kami memang tak lama. Tapi satu dua
menit darinya membuatku berani untuk mengakui kalau sebenarnya kota kecil ini
pintar mengundang gelak tawa. Bukan tawa sinis, memang karena senang walaupun
aku masih belum puas. Ada takut yang mengajariku cara menjadi berani, ada yang
meninggalkan lalu aku bertemu dengan yang baru. Ada kebodohan yang
menyadarkanku cara menjadi pintar – jauh lebih pintar daripada telepon-telepon
pintar kebanggaan mereka. Ada ketidakadilan yang mempersetankan segala iming
untuk menjadi tak adil, ada olok-olok yang justru sanggup membuatku bersyukur.
Ada gelap yang berangsur menjadi remang menyenangkan, ada rendah diri yang
meyakinkan kalau nantinya aku bakal ditinggikan. Semacam kontradiksi dengan segala nikmatnya yang menjadi candu.
Sepertinya hari ini menjadi salah
satu hari paling melankolis. Melankoli yang ironis, melankoli yang melegakan tanpa
sedu-sedan. Melankolinya menyenangkan karena bisa aku nikmati bersama
logika. Lantas, besok ada kota yang baru. Entah selama apa, aku tak mau ambil
pusing. Karena yang terpenting aku sudah tahu apa yang aku mau. Dan akan jadi
seperti apa, lihat saja nanti.
Hari ini kopiku nikmat, hari ini
rokokku ringan – jadi aku pun senang, apalagi senjanya sudah datang.
0 comments:
Post a Comment