Thursday, April 25, 2013

Absurd


I thank God for the time. Something bigger than my logic, the untouchable space but becomes so real in my every single breath. I remember that time, the time when I had no words, the time when I enjoyed that silence. It proved me the way they said that somehow silence connects some people in a way that words never could. I worshiped that silence, I cursed the noise.

Then there was the time when I finally broke that silence. There were some unexpected words, looked like a bridge that provided us a way to hold each other. Life became the star that time, some words danced like idiots and told me how I began an idiot. I faced him thinking how stupid to live with my arrogance. I took my shovel and buried it, so deep then I couldn't see it anymore. Got beyond his eyes and his smile and his words and his life, I was at something bigger than the time it self. I couldn't even touch my smallest logic.

I fell asleep that morning thinking about the life that might have been changed. Maybe it would be more surprising, bring me kinda glittery moment that got me wonderstruck if everything about him could be attached in mine. I didn't expect "us", I still thought of "me" and "him" that morning. My heart didn't stop, just beat faster - but embraced me to breath anything fresher.

Now I thank God for that time because it gets me any braveness to admit something, even though it isn't kinda cherry on top. Even though it still can't bring me into the timeless case, but who knows? I have no power to guarantee anything and don't want to have it. Who am I begging for it? I really don't care because most of all, I simply get so caught up in my every single imagination about that "me and him" weirdness. 

Ah, I'm getting absurd. I'm worse than hangover. I'm plum flipped over him.
Read More

Friday, April 19, 2013

What a Strange Feeling, What a Strange Morning



I begin today with the strange feeling. I exactly don't know what it is, but it feels calm and warm inside. Everything has been so fucked up lately, I haven't known what I must suppose to do to fix everything. What makes it weird is I feel that I don't need to know about it now. I just understand what I want to do for my self.

I want to do everything I love. I want to move from here. To be honest I want to stay in Jogjakarta. I've never been there before, until this second. I just imagine that it will be kinda the nice place to stay in. I want to read more, I want to write more. I want to watch and talk football more, I want to enjoy the dusk time, getting some lovely night walking. I want to attend any theatre show, being amazed and amused of it.

I imagine how happy it will be when I begin my every morning with a cup of hot traditional coffee, begin every single morning with the save feeling. I'm not kinda religious or smart woman, but one thing I understand is God wants me to enjoy my life. He wants me to do everything I love.

I want my fresh morning air, as the fresh as my feeling because I live anything I love up. I guess it's enough for me to do everything I hate, to push myself to fuck my own self up. I want to smile and laugh more, I want my happy life. I want to be a columnist, I want to write some books. I want to stop moaning and crying. I want to stop getting guilty and angry. I want my happy life. I mean, I need my happy life, my happy me.
Read More

Friday, March 15, 2013

Aku Bersyukur untuk Rambut yang Tidak Pernah Berubah, untuk Seorang Milanista Sepertimu: Surat Balasan kepada Seorang Milanista



            Dear Eddward,

Bolehkah aku menulisnya tanpa kata-kata “dengan hormat”? Bukannya tak ingin menghormatimu, tapi aku sangat tersanjung dengan surat yang kau sampaikan kemarin. Surat sederhana yang bagiku menjadi teman bernostalgia yang paling tepat tentang segala sesuatu yang aku jalani selama ini. Dan terlebih lagi kau seorang Milanista. Tak seorang Interista pun melakukan apa yang kau lakukan. Tapi sudahlah, setiap orang punya cara sendiri untuk mencintai sesuatu – mungkin cara mereka berbeda. Dan ya, atas surat sederhana yang kau kirimkan kemarin – rasanya aku ingin mengenalmu secara dekat. Berbicara tanpa ada batasan pesepakbola dan penonton, jadi tanpa kata-kata “dengan hormat” tadi – aku yakin kita telah sepakat untuk memulai persahabatan yang menyenangkan walaupun jarak antara Milan dan Indonesia masih terlalu jauh. Kapan-kapan mampirlah kemari, kita akan bersenang-senang. Dan tentang acara musik itu, sudahlah jangan diingat lagi. Aku sendiri tidak paham kenapa aku bisa berada di sana. Anggap saja sebagai tuntutan profesionalitas seorang pesepakbola profesional. Setidaknya aku belajar kalau ada hal yang lebih mengerikan dibandingkan berhadapan dengan seorang Paolo Maldini.
Terima kasih kau sudah berusaha mengenalku cukup lama. Lima belas tahun bukan waktu yang singkat untuk melapangkan dada demi mengenal orang yang membela tim yang menjadi rival dari tim kau puja. Bukannya aku bermaksud bersikap sinis terhadap fans lainnya. Tapi terkadang aku merasa miris waktu melihat mereka yang seolah-olah menutup mata tentang apa yang dilakukan pesepakbola lain yang tidak bermain untuk tim yang mereka cintai. Well, mungkin kau juga merasakannya. Tenang saja karena aku tidak bermaksud memaksa kalian untuk mencintai pesepakbola tertentu, tapi jika kalian mau cobalah melihat bahwa tim yang kalian puja sebagai bagian dari sepakbola – bukan sebaliknya. Piala Dunia 1998 ya? Ah, ternyata ada yang menganggap perhelatan itu sebagai moment berharga. Jujur rasanya tidak mudah untuk menerima kekalahan seperti itu. Kekalahan yang didapat setelah kau berjuang mati-matian. Terlebih lagi gol itu terjadi di menit 89. Dennis Bergkamp memang seorang pesepakbola luar biasa. Boleh aku bercerita soal pengalaman pahit lainnya?
Laga kontra Parma di perhelatan Coppa Italia 1999 memberikan kenangan tidak menyenangkan tersendiri bagiku. Aku mendapatkan kartu merah dalam pertandingan ini. Kalian sebagai orang-orang yang hidup dalam cinta dan candu akan sepakbola pasti benar-benar paham kalau posisi yang aku mainkan sangat rentan terhadap risiko dihujani kartu. Terkadang saat di lapangan kau merasa gelap mata, terlebih jika kau bermain sebagai seorang defender. Rasanya kau rela mematahkan kaki lawan untuk menjamin keamanan siapapun yang menjaga gawangmu. Aku sadar betul dengan hal ini. Tapi selama belasan tahun bermain dengan seragam yang sama, aku juga sadar kalau kau tetap bisa membuat orang lain tersenyum saat kau berusaha merebut bola dari kaki lawan atau saat kau berusaha mengamankan si penjaga gawang dari hujatan-hujatan saat gawangmu berhasil ditembus lawan. Ya, kau tidak perlu membuat orang lain bergidik ngeri saat menyaksikanmu merebut bola. Masih ada cara-cara yang lebih manusiawi, cara-cara yang akan membuatmu dilihat sebagai seorang defender berkelas. Aku tidak pernah main-main dengan prinsip ini dan mungkin hal inilah yang membuat koleksi kartu merahku tidak banyak. Laga kontra Udinese di bulan Desember 2011 kemarin menjadi kali pertama aku dihadiahi kartu merah di ajang Serie A. Aku tidak mau menyalahkan wasit atau siapapun. Kartu merah itu sendiri sudah membuatku merasa kotor, menyalahkan orang lain tentu akan membuat siapapun bertambah jijik. Walaupun aku benar-benar bersyukur saat Julius Cesar mampu menggagalkan tendangan penalti yang diambil alih oleh Di Natale. Dan ya, semoga itu menjadi yang terakhir. Kau mau ikut mendoakannya? Semoga begitu.
Aku hanya bisa tersenyum geli saat membaca bagian suratmu yang berceloteh panjang soal tatanan rambutku. Tampaknya kau benar-benar seorang pria yang mengerti fashion dan sebagainya. Jangan salahkan Rodolfo Valentin tentang tatanan rambutku yang cenderung membosankan ini. Sejujurnya dibandingkan meminta, dia lebih sering terlihat seperti memohon-mohon kepadaku supaya diijinkan mengganti tatanan rambutku. “Kau akan terlihat lebih muda”, “Hey, aku tidak main-main. Kau akan jauh lebih keren dibandingkan El-Shaarawy!” Dia bahkan pernah berbicara seperti ini padaku, “Baiklah, bereksperimen gaya rambut baru sama dengan bicara soal keberanian seorang pria.” Kadang aku berpikir, sebegitu membosankannyakah tatanan rambutku?  Dan kau tahu jawaban apa yang aku berikan pada Rodolfo? Sejujurnya aku lebih sering diam dan menatap tajam padanya. Dan saat itu juga dia akan berhenti berkomentar dan sibuk mengerjakan rambutku. Mungkin dia terlalu takut untuk kehilangan pelanggan sepertiku.
Well Edward, dunia mungkin perduli dengan tatanan rambut populer ala El Shaarawy ataupun style minyak rambut tumpah kebanggaan Ronaldo. Jujur, aku cukup perduli. Kadang sebelum pertandingan yang melibatkan mereka dimulai, tanpa disadari aku sering bertanya-tanya tentang kejutan tatanan rambut ala mereka akan seperti apa. Cukup menghibur, setidaknya saat kau merasa kantuk sedang mempermainkanmu - kau akan tersenyum geli saat mengalihkan sejenak perhatianmu padanya. Jangan dianggap serius, aku tidak seserius itu. Satu hal yang ingin aku tekankan padamu, dibandingkan gaya rambut mohawk El Shaarawy yang tampaknya cukup sukses meracuni hampir seluruh penghuni San Siro, aku lebih perduli dengan tingkahnya yang gentleman saat laga kontra Genoa musim ini. Kau pasti mengingat dengan jelas saat laga itu berlangsung, bukan? Gol yang seharusnya ia rayakan habis-habisan bersama teman-temannya. Tapi apa yang kau lihat saat itu? Dia menolak untuk merayakannya. Mungkin dia merasa tidak ingin seperti kacang yang lupa pada kulitnya karena bagaimanapun juga, mungkin tanpa Genoa tidak akan pernah ada sepakbola untuknya. Ah, rasanya aku seperti menyindir rekan satu timku sendiri. Dan dibandingkan dengan banyaknya jumlah minyak rambut yang harus dihabiskan Ronaldo setiap harinya, aku lebih perduli dengan jumlah gol yang ia torehkan untuk Real Madrid. Saat ada begitu banyak orang-orang yang berprasangka buruk tentangnya, dia tampak seperti menutup telinga dan mempersilahkan seorang anak kecil memasuki lapangan yang ingin memeluk atau meminta tanda tangannya.
Saat kau memutuskan untuk hidup sebagai pesepakbola, kau harus mampu menjadi seorang pesepakbola berkelas. Pesepakbola yang mengutamakan prestasi dan behavior dibandingkan sensasi, karena sadar atau tidak sadar, dunia sedang melihatmu. Mungkin kau bukan seorang pesepakbola, tapi belajarlah pada Maldini yang tidak pernah tertangkap media menghabiskan malam-malamnya dengan berpindah dari satu klub malam ke klub malam lain atau Inzaghi yang mengisi waktu luangnya dengan menonton rekaman pertandingan Serie C atau mungkin si garang Gattuso, yang selalu hadir di tempat latihan empat puluh lima menit sebelum latihan dimulai.
Wah, kau bahkan paham siapa itu Giuseppe Bergomi dan Gianluca Pagliuca! Aku sering mendengar istilah fans karbitan, tampaknya kau tidak termasuk di dalamnya. Ya, enam ratus empat puluh tujuh laga bagi seorang Paolo Maldini di Serie A merupakan pencapaian yang luar biasa. Dan siapa bilang aku tidak perduli dengan rekor pribadi? Jelas aku perduli. Aku tidak ingin menjadi munafik dengan menggembar-gemborkan kalau aku tidak perduli dengan rekor pribadiku. Aku tidak paham tentang apa yang dipikirkan pesepakbola lainnya tentang rekor pribadi mereka. Tapi rekor pribadi ini semacam tugu peringatan buatku secara pribadi. Tugu peringatan yang membuatku sadar kalau kesuksesan bukan sesuatu yang mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. Tapi percayalah tidak ada yang lebih indah dibandingkan saat klub yang kau bela mampu mengangkat trofi lainnya, mampu mengantongi gelar juara lainnya. Soal Mourinho? Aku bersyukur karena Mourinho mempercayakanku untuk bermain di posisi yang tidak pernah aku mainkan sebelumnya. Bayangkan sebesar apa rasa percayanya padaku. Kalau perkataanmu yang menyebutkan kalau Inter adalah salah satu klub kaya, dia pasti bisa membujuk Moratti untuk membeli pemain baru yang memang sudah mumpuni untuk bermain sebagai gelandang kanan. Dan mungkin aku hanya akan lebih sering mengunyah permen karet di bangku cadangan dibandingkan menggiring bola ke gawang lawan.
Tak ubahnya kehidupan, sepakbola adalah milik semua orang. Mungkin ini yang menjadi alasanku terkait laga kontra Zapatista itu. Aku muak dengan penganiyaan rasisme, aku jenuh dengan pembedaan-pembedaan yang kerap ditujukan kepada kaum marjinal lainnya. Aku bukan seorang pria yang mampu berkoar-koar di atas podium untuk mewujudkan misi perdamaian dunia, aku juga bukan seorang punggawa militer yang mempunyai hak khusus untuk memberikan pelajaran kepada mereka yang bermain-main dengan isu ini. Aku hanya seorang pesepakbola, satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah bermain sepakbola. Rasanya aku tidak perlu menjelaskan mengapa laga Zapatista itu dibatalkan, terkadang ada hal-hal yang lebih baik tidak kita ketahui. Tapi satu hal yang  pasti, di saat ada begitu banyak pesepakbola yang lebih perduli tentang bagaimana menggaet sederet model cantik papan atas atau menambah isi garasinya (walaupun itu tidak salah), aku hanya ingin membuktikan kepada mereka yang tertolak dan tercemooh kalau masih ada segilintir orang yang perduli dengan mereka. Dan bisa jadi orang itu adalah orang yang namanya mereka teriakkan setiap minggunya.
Maaf kalau surat ini terlalu panjang. Tak jauh berbeda denganmu aku juga senang bisa berbicara dengan orang sepertimu. Pembicaraan seperti ini membuatku sadar kalau kebahagiaan dalam sepakbola tidak melulu soal bagaimana kau bertanding di lapangan hijau, tidak melulu soal enam ratus pertandingan, tidak melulu soal ban kapten yang melingkar di lenganku sejak 29 Agustus 1999.
Sebelum kau semakin lelah membaca surat ini, bisakah aku meminta bantuanmu? Tolong sampaikan salamku pada seorang perempuan bernama Marini Saragih. Dia yang berinisiatif menerjemahkan suratmu sehingga aku bisa membalasnya. Kau tahu kemampuan bahasa Indonesiaku yang menyedihkan. Dan sama sepertimu, dia juga seorang Milanista. Ya Milanista, bukan Milanisti. Milanista untuk sebutan tunggal, Milanisti untuk sebutan jamak. Tapi sepertinya aku belum pantas untuk mengkuliahimu soal tata bahasa. Toh, aku juga belum mampu mengucapkan kalimat “Salam hangat terdahsyat bla bla bla” – ya, acara musik itu. Sekali lagi maaf kalau surat ini terlalu klise (oh well, bukan hanya panjang ternyata), anggaplah ini sebagai janji kalau suatu saat kau akan berkunjung ke Milan dan kita akan berbicara tentang banyak hal. Dan satu lagi, aku tidak terlalu paham dengan filosofi kehidupan dimulai saat berumur empat puluh tahun. Karena yang aku paham, kehidupanku dimulai sejak 27 Agustus 1995. Terima kasih untuk rasa cintamu terhadap sepakbola, terima kasih karena kau sudah menjadi seorang fan yang dewasa.

Salam hangat,

Javier Zanetti 

PS: This writing is also published here, this one is inspired  by Eddward S. Kennedy's writing.
Read More

Monday, February 25, 2013

Hail Mr. President!

"The difference between you and me is that, if tomorrow there was no more money in football, I'd still be here but not you." - Arsene Wenger

Sepakbola bukan tentang uang ataupun kekuasaan, bukan tentang menjadikan apa yang kalian miliki sebagai hal yang terutama. Sepakbola tentang apa yang kalian lakukan di lapangan hijau, tentang apa yang kalian pelajari dengan bola di atas kaki kalian. Ini yang aku yakini selama 14 tahun belakangan. Sepakbola adalah miniatur dari kehidupan itu sendiri, tentang pertandingan yang tidak akan berakhir sampai peluit panjang berbunyi, baik yang dibunyikan oleh dia yang berhak untuk mensahkan dan menganulir sebuah gol ataupun Dia yang berhak untuk membawa kalian (dan aku) ke kehidupan yang seperti apa.
Aku sendiri tidak paham bagaimana pria itu datang pertama kalinya. Mungkin saat itu dia belum mengendarai helikopter pribadinya, mungkin kedatangannya tidak terlalu mencolok. Tapi yang pasti, dia datang dengan berbagai hal yang mungkin masih belum mampu diterima oleh sebagian besar orang yang berkecimpung dalam sepakbola. Bukannya bermaksud menyinggung suatu agama tertentu, but I guess he came like when Jesus came into the front of the Scribes for the first time. Ada banyak dahi yang berkerut di awal kedatangannya. Ada sejumlah hal tak biasa yang terselip rapi di dalam tas kerjanya, ada catatan-catatan penuh kontroversi yang tersimpan rapat dalam saku jas ala mafia negeri pizza kebanggaannya.

Seriously? Was that you, Sir?
Yang jelas dia datang atas nama misi penyelamatan. Semacam menjadi juruselamat bagi klub adidaya yang kala itu tengah terseok-seok akibat tersandung masalah klasik yang tak pernah menjadi klasik. Kondisi darurat yang dialami Milan seperti menjadi pintu yang terbuka lebar bagi pebisnis yang tumbuh dari kalangan menengah ini. Entah apa yang merasukinya, tapi tak jauh berbeda dengan penjudi papan atas ia bersikukuh untuk memproklamirkan nama Arrigo Sacchi sebagai satu-satunya yang pantas mempersiapkan Milan dalam menghadapi setiap laga. Publik tertawa, dunia mencemooh. Bukan tanpa alasan, tahun 1986-1987 Arrigo Sacchi bukanlah pelatih papan atas. Mungkin satu-satunya prestasi yang dapat ia cantumkan di lampiran riwayat hidupnya adalah kesuksesannya membawa Parma sebagai juara Serie C1. I repeat, C1 – not Serie A even B. Dan faktanya, publik terdiam dunia ternganga. Arrigo Sacchi tidak menjadi satu-satunya kejutan yang mampu disuguhkan pria yang tampaknya memang terlahir untuk menjadi kontroversi kelas kakap ini. Nama-nama yang selanjutnya seperti menjadi berhala bagi setiap pecandu sepakbola berada di baris paling depan dalam setiap laga. Franco Baresi, Carlo Ancelotti, Paolo Maldini, Frank Rijkaard, Ruud Gullit dan Marco van Basten adalah mereka yang mampu membuat panji Rossoneri berkibar kembali. Ya, publik terdiam dan dunia ternganga – pria itu yang tertawa. Layaknya Bellini my most favorite Italian cocktail in case you don’t get it - terbaik yang mampu membuatmu melupakan sejenak setiap hal pahit tetapi tetap menjagamu pada koridor elegansi, racikan jenius dari tangan dingin Sacchi menjadikan Milan sebagai klub terbaik yang pernah ada. Gli Invincibili? Pa dentro!
Sepeninggal Sacchi, tampuk kekuasaan pebisnis dan politikus papan atas ini tidak terhenti begitu saja. Komentator bola yang cukup tersohor namun miskin pengalaman sebagai pelatih menjadi pilihannya. Harga taruhan yang semakin tinggi? Bisa jadi. Fabio Capello mungkin tak sefenomenal Sacchi, tapi di eranya tak hanya Donadoni, Costacurta dan Albertini yang menjadi sorotan dunia. Sejumlah legiun asing seperti Savicevic dan Zvonimir Boban turut menjadi bintang di lapangan hijau dan mata publik Italia. Belum cukup? Bertanyalah pada Johan Cruyff atau Philip Don tentang apa yang terjadi tanggal 18 Mei 1994 di Olympic Stadium, Athens – dan aku rasa mereka akan bergidik ngeri saat mengingat kembali tentang semenakjubkan apa arti angka 4 pada saat itu.
Perjalanan mulus bukan menjadi nama tengahnya. Di tengah-tengah era gemilang yang berhasil dilahirkannya, ada saja hal-hal yang membuat dunia yakin kalau ia hanyalah manusia biasa. Kadang berhasil, kadang gagal. Sebut saja era Tabarez ataupun ketidakmampuan Mr. Zac dalam mengkonsistenkan ungkapan vini vidi vici. Kalau boleh jujur, aku bersyukur akan era pasang-surut ini. Kembali bangkit setelah kegagalan akan membuat dunia yakin kalau mental juara memang merupakan modal yang tak ada bandingannya. Adalah Carlo Ancelotti yang disebut-sebut sebagai salah satu penyelamat Milan. Superioritas bukan menjadi satu-satunya hal yang diusung di eranya, bagaimana menciptakan sepakbola yang superior dan indah – well, it made Ancelotti as another biggest love affair for every Milanista.
Perombakan jenius ala Carletto di musim keduanya, membuat Milan tampil sebagai tim yang benar-benar disegani. The real devil. Formasi 4-3-1-2 yang menjadi formasi kebesarannya membuat Rui Costa dan Seedorf bermain apik dalam peran The Classic Number 10. Kejelian Carletto tidak hanya berhenti sampai di situ. Pirlo layaknya menjadi the hidden diamond, penyambung dari lini depan pertahanan. Di era ini pula aku semakin menyadari bagaimana sempurnanya peran Pirlo dan Gattuso. Gattuso dengan tenaga badaknya merebut bola dan menahan serangan lawan, sementara Pirlo dengan kreatifitasnya memastikan pasokan bola yang konsisten bagi para penghuni lini depan. Karya Ancelotti juga tak melulu soal 4-3-1-2. Kepergian Shevchenko justru membuat Kaka beralih fungsi sebagai gelandang sayap dengan Seedorf sebagai pendamping setia dan Pippo Inzaghi ataupun Gilardino sebagai striker tunggal. Kekalahan di laga kontra Deportivo La Coruna dan oh-so-heartbreaking Liverpool dibayar manis dengan diangkatnya trofi Piala Champion ke-7. Prestasi yang membuktikan bahwa keindahan sepakbola tetap tidak mampu dikalahkan oleh busuknya skandal Calciopoli yang menghebohkan kancah persepakbolaan dunia saat itu.
Ujian bagi dia yang berpredikat sebagai kunci di balik kesuksesan Milan seperti tak ada habisnya. Tersandung masalah finansial membuatnya kembali mengambil berbagai langkah kontroversial. Milan tak lagi menjadi tim dengan sederet nama superior. Tak ada lagi pemain sekaliber Seedorf, Nesta, Gattuso, Ibrahimovic ataupun Silva. Yang ada hanya skuad muda semacam Shaarawy, Niang ataupun De Sciglio. Yang ada hanya pemain kurang ternama seperti Kevin Constant atau Christian Zapata. Pertaruhan di meja judi tetap berlangsung. Slogan “Milan yang menciptakan legenda” menjadi hal yang semakin sering dielu-elukan. Entah memang seperti itu adanya, entah hanya berfungsi sebagai perban yang menutupi luka sebenarnya. 

Someone who makes believe that mafia is not only on movie.
Penjudi memanglah penjudi. Intuisi dan permainan licik menjadi hal yang paling bisa diandalkan. Entah apa yang ada di pikirannya saat datang ke sesi latihan tim dengan helikopter pribadinya, mengomentari potongan rambut aneh khas El Shaarawy dan memberikan mandat kepada allenatore Massimiliano Allegri bahwa Boateng akan bermain sempurna sebagai mezz’ala.  Are you really that sweet, Mister? Dan belakangan bersama pria berdasi kuning yang sering mengejutkan dunia dengan langkah-langkahnya di bursa transfer, ia tampil bagaikan ayah yang siap memeluk pemuda homesick yang menutupi kepahitannya dengan berbagai tingkah yang tidak masuk akal. Pemuda homesick itu kini telah pulang. Entah kebahagiaan seperti apa yang dirasakannya saat ia tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi mengenakan jersey yang dipujanya sejak pertama kali mengenal sepakbola. Pemuda homesick itu kini telah pulang, membuktikan sebengal apapun dia di luar sana – menjadi anak manis dan membanggakan adalah hal yang utama jika kau telah berada di rumah. Tidak ada pukulan balik untuk Coda, yang ada justru pelukan manis bagi sang adik – M’Baye Niang – yang sempat tidak terima saat sang kakak ditunjuk sebagai eksekutor tendangan bebas. Entah apa yang terjadi dengannya. Seburuk apapun cap The Rotten Apple ataupun sarkasme rasis tak terpuji yang sempat terdengar, pemuda bertajuk Super Mario ini tetap menjadi bagian dari rencana masa depan publik San Siro. Rencana masa depan yang membuat 27 tahun masih terlalu dini untuk pergi dari dunia yang sangat mengagung-agungkan sang presiden, dunia penuh intrik tapi dicintai oleh banyak orang, dunia yang tak mengenal kompromi tapi memberikan arti mendalam bagi kehidupan banyak orang.
Entah apa yang dilakukan pria itu saat ini. Mungkin dia sedang meninggalkan meja kerjanya, membiarkan tumpukan kertas kerja berserakan tak tersentuh begitu saja dan sejenak bersenang-senang setelah menyaksikan bagaimana megahnya kemenangan atas skuad yang hampir 19 tahun lalu juga dikalahkannya sambil membayangkan minggu yang sempurna seandainya kemenangan adalah hasil yang diperoleh di akhir laga panas Derby Della Madonnina kemarin. Mungkin saat ini dia sedang tersenyum, licik khas mafia kelas kakap Italia, menghisap cerutu mahal dengan 2-3 orang perempuan muda di kanan dan kirinya. Ah, siapa yang perduli? Yang aku tahu, dia selalu ada untuk Milan – dengan atau tanpa motif di baliknya. Hail Mr. President, Forza Magico Milan!

Read More

Monday, February 11, 2013

A Story from Indonesia: The Way We Treated Our Legends



"I learned all about life with a ball at my feet." - Ronaldinho
          
              
             Everyone deserves to make their dreams come true. And that is what we realized too. A lot of  us – Indonesian Milanisti have never made our first steps yet at San Siro. But apparently, there is something we could do to make it closer. We made our San Siro. Yes, here – in Indonesia. It was 9 February 2013, one of our very best memorable days ever. We watched our legends there, live with no satellite and television. We chanted for our legends there, with pride with no fear. We treated our legends there, with the timeless love and respect with no something made up.
                 
There were Massimo Taibi, Paolo Maldini, Franco Baresi, Roque Junior, Alessandro Costacurta, Stevano Nava, Pietro Vierchowod, Roberto Mussi, Massimo Oddo, Stefano Eranio, Ibrahim Ba, Angelo Carbone, Sérgio Cláudio dos Santos, Maurizio Ganz, Andriy Shevchenko and Daniele Massaro that time. It was an honor to watch them fought for the Rossoneri pride. Maybe it was only kind of charity match, with no trophy and prize but no matter what it was – it became the most glittery match for us. The way they dribbled the ball, the way they tackled and marked the opponents, the way they showed their gestures, the way they scored and celebrated the goals – everything just felt more magical than any fairytale we had ever known. We realized that there is always the romance between us and those legends. So who said romance doesn’t exist in football? Those 90 minutes were for us, they were for us and we were for them. Ah, did we really deserve it?

That feeling when you just were at it.

We even felt its (San Siro) atmosphere before the match began. Chanted in language we even couldn’t understand to prove the world how proud we were to be a part of this. It was our way to tell Milan that our love is timeless. Nothing can change it. Even the most horrible seasons can’t do it. Some of us went back to our childhoods, the times when we took our first Rossoneri matches. We felt that first love again, both love at the first sight or not. Maybe it was just like a flashback for us. It reminded us when our dads told us some players names, when we bought some sport magazines just to know more about those players. We remembered our first Maldini’s tackles and Shevchenko’s goals. Ah, God just  blessed us by sent Milan in our lives. Sounds so cheesy? Who cares, for this is what it is.

And then, that was our turn to see them by our own eyes. The goosebumps came when those legends entered the pitch. We had gotten a feeling that it would be the incredible day for us since Taibi made some warming up on the pitch. And yes, it was true.  In the 16th minute we got our first breathless moment. It was Serginho who showed his class. He started it by his perfect solo run and something boom just happened after it. A powerful goal from the right side. We took the deep breaths. We stood up, clapped our hands. The drummers made some huger and faster beats, we chanted more and more. The flags were flying higher, the flares were getting wilder. Apparently this was what Curva Sud felt when the goal just happened. But later, Indonesia All Stars didn’t want to make it easy for Milan Glorie. Bambang Pamungkas, one of the great Indonesian footballers only took 19 minutes to shock Taibi. The first goal for Indonesia, the hotter match for us. 

        Some of us maybe just remembered what happened when Milan fought against Lecce on 29 August 1999. Andriy Shevchenko made his debut and first goal for Milan at the same time. We got this feeling again. He scored a goal for Milan, a right footed goal. Il fenomeno lo lasciamo la’ qui c’e’ Sheva.. La la la la la la la la la Sheva Sheva!! We sang this one with no commandments for the King, it just happened. We were suddenly be at San Siro, we were Curva Sud Milano! Bambang Pamungkas showed his class again. He equalized the match in the 63th minute, accepted a passing from Gusnaedi then a sharp header goal drove us into 2-2. Legends are legends, they proved us there. 2-2 didn’t make them down. They faced something too much worse than this one. Age really doesn’t any matter. Ganz really deserved to be called as a legend. He had to thank to Ba for his goal in around 70th. 2-3 for Milan Glorie. It didn’t stop yet. The atmosphere was getting hotter. The banners and flags were flying higher, we threw some smoke bombs and lighted some flares up. A sweet ending just came to us. Serginho made his second goal at this match. 2-4 for Milan Glorie until the final whistle.

       The match is over but the feeling has been exist till now, till we write this one. Maybe it sounds so silly for we - the Indonesian, didn’t cheered for Indonesia All Stars Team. Maybe it makes us so much far from the nationalism criteria. But people, this is football. Sometimes something out of logic happens in football. Football is more than any nationalism stuff. Football is about the love we choose and the choice we live up. And yes, we chose Milan. Apparently our love is that timeless. The fast regeneration doesn’t change our respect for them, the horrible seasons don’t make us cheat from our love. And yes, it is true that we weren’t on the pitch, we were just on the stadium stands. We indeed didn’t help Maldini to grab that ball from the opponents, we indeed didn’t give some passing for Shevchenko. But most of all, we came from East Java, Sumatra, Borneo and the whole Indonesia to Jakarta just to cheer for them on the stands. We were there for them and they were there for us. As simple as that, as wonderful as that. Ah, thank you for football. We mean - thank you for your legendary football, legends. We’ve adored, we’ve loved, we’ve supported you unconditionally. Hail the legends!

Photo credits to Billy Sebastian
Read More

Saturday, February 2, 2013

Catatan Musim Dingin

“A strange day, leaving Milano for London. Tomorrow we know more. Goodnight everyone.” – Urby Emanuelson

“I don’t really like drama”, setidaknya kalimat tadi bisa menjadi satu kesimpulan aman tentang seperti apa aku. Tapi ternyata aku  tidak bisa sepenuhnya terlepas dari drama, karena bagaimanapun juga hidupku penuh dengan drama – drama yang aku buat sendiri dan drama yang memang terjadi begitu saja di luar kendaliku. Mungkin hal ini yang membuatku tidak bisa membenci drama, membenci drama tidak akan jauh berbeda dengan membenci sebagian besar hal yang memang sudah digariskan dalam hidup.
Dan tampaknya salah satu hal yang paling aku cintai di dunia ini juga penuh dengan drama. Ya, sepakbola penuh dengan drama. Milan penuh dengan drama. Kadang aku merasa konyol saat menyadari bahwa ada begitu banyak hal dalam sepakbola dan Milan yang mampu mempermainkan emosiku. Konyol, karena aku sendiri tidak terlibat langsung di dalamnya. Jika diibaratkan sebagai sebuah film, ada satu scene dalam drama sepakbola yang memancing timbulnya dua emosi yang bertentangan. Senang dan sedih. Scene itu terjadi di setiap musim, scene itu terbalut rapi dalam skenario kebutuhan untuk menjadi tim yang lebih baik, scene itu diiringi dengan megahnya soundtrack berirama rumor dan ekspektasi, scene itu memang bukan klimaks tetapi mampu menjadi awal dan akhir sekaligus. Scene itu bernama bursa transfer.
Bursa transfer musim dingin tahun ini memang tidak sedramatis saat para senator meninggalkan San Siro. Tetapi selama ada yang datang dan pergi, tetap saja ada emosi yang dipermainkan. Drama ini dimulai dari kepergian Pato. Rasanya tidak adil karena cidera berkepanjangan sudah tentu bukan menjadi keinginannya. Seperti habis manis sepah dibuang, menurutku. Pato memiliki catatan rekor yang baik, kemampuannya dalam mencetak gol dan kecepatannya luar biasa, bahkan dalam laga come back ia masih mampu membuktikan publik akan predikatnya sebagai salah striker terbaik yang pernah dimiliki Milan. Ditambah lagi dia tidak pernah berkelakuan buruk, semiring apapun rumor hubungannya dengan Barbara Berlusconi, toh masih belum ada pemberitaan yang menyatakan kebenaran rumor ini. He deserves more faith and love, as simple as that maybe. Dan tentang video perpisahannya, ah sudahlah – frankly saying it just made me feel that bad to him.
 
Stay awesome anywhere, Duck.
Aku cukup muak dengan scene selanjutnya. Scene lama yang kembali diulang. Kali ini dengan bumbu ekspektasi yang lebih tajam. Membuat setiap Milanista berharap bahwa klub yang mereka elu-elukan bakal membawa kembali sang (mantan) bintang lapangan. The Kaka Saga. Ceritanya memang tak se’cheesy The Twilight Saga, tapi cukup membuktikan kalau ada begitu banyak cinta lama yang bersemi kembali untuknya atau lebih tepatnya, cinta lama yang tetap bersemi. Drama membawa pulang The Prodigal Son memang selalu seperti ini. Ada banyak adegan yang terlihat sebagai rangkaian plot yang akan membawa penonton pada sebuah happy ending. Kaka kembali ke Milan, sebagian besar dari kalian pasti berharap happy ending yang seperti ini. Namun drama tetaplah drama, kadang ujung ceritanya tidak seperti yang kita harapkan. Tapi kalau boleh jujur, drama seperti ini lebih menarik. Cerita dengan ending yang dapat ditebak kadang membuat sebuah cerita menjadi membosankan. Lagi-lagi masalah finansial menjadi akar dari ditundanya atau mungkin gagalnya usaha membawa pulang seorang Kaka. Harga yang dipatok terlalu tinggi, jumlah uang yang menurutku mungkin akan lebih worth it untuk dihabiskan pada hal-hal yang lebih menjanjikan. Bukannya bermaksud mencap Kaka tidak layak lagi untuk Milan, he still really deserves it. Tapi jika kita berbicara tentang drama dengan durasi bertahun-tahun, drama yang di dalamnya terdapat kebutuhan akan adegan klimaks dengan setting kondisi di masa depan yang lebih baik, keputusan untuk membawa pulang Kaka mungkin bisa berujung pada berbagai adegan antiklimaks. Mungkin, karena bagaimanapun juga drama ini bukan drama yang mudah untuk diprediksi.
Kedatangan Riccardo Saponara dan Zaccardo tampaknya cukup mampu menjadi pemanis di tengah-tengah rasa pahit yang muncul akibat gagalnya mendatangkan Kaka ke Milan. Aku tidak terlalu paham dengan kedua orang ini. Tapi aku cukup berharap kalau ke depannya mereka tidak hanya akan menjadi cameo yang lebih sering memerankan adegan-adegan kurang penting. Ya semoga, karena jujur saja I have some good feelings with them. Dan dipermanenkannya Kevin Constant, I'm bouncing excitement! Setelah sejumlah penampilan mengesankan yang berhasil ditunjukkannya, aku sangat setuju kalau ia layak mendapatkan ini. Ada seorang Diego Armando Maraconstant di Milan, I hail you management!

Ah, I'm sorry. The very best luck for you.
Dan scene yang mengundang sejumlah emosi yang tidak aku sukai itu muncul kembali. Berbanding terbalik dengan apa yang diraih Kevin Constant - Mesbah, Strassser dan Acerbi harus rela melepaskan kostum merah-hitam yang selama ini mereka kenakan. Walaupun di antara mereka status kepindahannya hanya bersifat sementara, rasa miris itu tetap saja ada. Ya, aku termasuk orang yang has faith in Acerbi. Banyak yang menyebutnya sebagai defender yang lamban. Tapi berbicara defender, bukan hanya bicara soal kecepatan. Mungkin lebih kepada bagaimana membaca sebuah pertandingan. Kepercayaanku juga bukan tanpa alasan dan atas cinta buta yang bodoh. Setidaknya aku telah membaca sejumlah catatan statistik yang menunjukkan kalau ia punya potensi untuk tampil lebih baik lagi. Dan Mesbah. Cukuplah semua abusement untuknya. Dia tidak seburuk itu. Semoga kalian sudah menonton video yang dibuat sebagai bentuk penolakan terhadap sejumlah abusement yang ditujukan untuknya.

No more another "Balo chokes or slaps or punches coach" headline, please.
Lalu seseorang yang dianggap sebagai lakon utama itu datang. Mario “Rotten Apple” Balotelli. Siapa yang tidak menginginkannya? Kelakukannya yang kadang mengundang tanda tanya justru menjadi pelengkap dari besarnya bakat dan potensi yang dimilikinya. Muda, bertalenta, sensasional. 3 kata tadi cukup menggambarkan bagaimana seorang Balotelli. “Balo has never been failed to amuse me. Still gutted he left Premier League.” Bahkan my-dream-on-going-sister-in-law yang menjadi seorang penggila EPL dan sama sekali tidak punya cinta untuk Manchester City mengatakan hal ini. Di tengah-tengah kelakuannya yang cukup absurd, Balo memiliki tempat tersendiri bagi penikmat sepakbola. Dan mungkin Milan adalah yang paling berbahagia untuk saat ini. Gagalnya membawa Kaka, justru berlanjut dengan kedatangan bocah 22 tahun yang mengaku sudah mencintai Milan sejak pertama kali ia bermain sepakbola. Jujur, aku sempat merasa bahwa penyambutan seorang Balotelli sedikit berlebihan. Bandingkan dengan apa yang terjadi saat pemain lain datang. Curva Sud bahkan rela untuk bentrok dengan polisi, Galliani bahkan bersedia melompat-lompat bersama Curva Sud yang menyerukan “Chi Non Salta Nerrazzuroe”. Tapi tampaknya tidak akan ada yang berlebihan jika Balo benar-benar mampu membuktikan siapa dirinya.
   Well, satu hal yang membuat miris. Kedatangan Balotelli harus berbarengan dengan kepergian Urby untuk sementara waktu ke barat daya kota London. Fulham Football Club. Ya, seorang Urby harus bermain di sana sampai akhir musim ini. Alasannya sederhana, ia ingin lebih banyak berada di tengah-tengah lapangan. Ya Urby, seorang pesepakbola yang cukup dekat dengan pengagum-pengagumnya. Seorang pesepakbola yang kerap membuat sebagian besar Milanisti merasa dekat dengan Milan karena apa yang dibagikannya di Twitter, seorang pesepakbola yang tidak pernah mengeluh walaupun jarang dimainkan, seorang pesepakbola yang pernah memberikan tiket gratis kepada Milanista asal Meksiko yang datang untuk menyaksikan laga persahabatan kontra Real Madrid di New York. Kadang aku berpikir, kenapa pesepakbola sebaik Urby harus hengkang dan pesepakbola sebengal Balotelli harus datang. Dan ya, Urby adalah pesepakbola yang baik. Pesepakbola yang baik pantas untuk lebih sering berada di lapangan dibandingkan duduk di bangku cadangan. Yea, he deserves anything better than this

Heartbreaking!
 Galliani tidak pernah berhenti memberi kejutan. Apa yang terjadi di hari terakhir justru menjadi hal yang paling melegakanku. Bartosz Salamon, gigantic centre back muda berumur 21 tahun berkebangsaan Polandia berhasil diboyong dari Brescia. Aku bersyukur karena Galliani paham betul dengan kebutuhan Milan akan centre back yang mumpuni. Ah, bicara apa aku? Tentu saja ia yang paling paham. Dan inilah sejumput drama yang terbungkus rapi dalam skenario bursa transfer musim dingin. Ada yang datang dan yang pergi. Ada yang bahagia dan kecewa. Tapi seperti yang aku katakan sebelumnya - bagian ini bukan klimaks, bagian ini bisa menjadi awal sekaligus akhir tergantung sepiawai apa para lakon memerankan adegan-adegan yang dibebankan untuknya. Ya, semoga saja ada senyum dan kebanggaan yang muncul sebagai reaksi dari happy ending yang bakal terjadi akhir musim ini. Dan lagi-lagi, Forza Magico Milan!
Read More

Friday, January 25, 2013

Nostalgia Angka 3

"There are very few Paolo Maldini’s in world football, much fewer than there ever has been." - Sam Lewis

Entah apa yang ada di dalam pikiranku pada 24 Januari 14 tahun yang lalu. Yang jelas aku hanya menurut sewaktu orang yang beberapa bulan setelah tanggal itu memulai kehidupannya yang baru mengajakku untuk menyaksikan salah satu tontonan yang tak berarti apapun bagi sebagian orang, namun pada akhirnya menjadi salah satu bagian besar buat hidupku. Jujur saja, pada awalnya aku membenci hal ini. Baiklah, mungkin tidak sebenci itu hanya tidak tertarik sama sekali. Entah karena karma atau cuma kebetulan atau memang sudah demikian jalannya, akhirnya aku mulai menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana menakjubkannya hal itu. Sebagian besar orang menyebut hal itu sepakbola, olahraga 90 menit yang melibatkan 2 tim dan beberapa orang lainnya. Awalnya aku juga berpendapat sama, namun lama kelamaan sepakbola bukan hanya menjadi sekedar olahraga dan tontonan buatku. Sepakbola tidak melulu berbicara soal permainan 90 menit ataupun berbagai aksi untuk memasukkan bola ke gawang lawan. Sepakbola pada akhirnya tumbuh dengan berbagai makna yang jujur, cukup kompleks untuk aku jabarkan. Yang jelas saat 90 menit itu berlangsung, aku tidak lagi merasa menjadi seorang penonton yang duduk diam di depan televisi. Atmosfer 90 menit itu menjadi sangat nyata, senyata rasa gurih keripik kentang yang menjadi teman selama pertandingan berlangsung, senyata omelan mama yang semakin menjadi karena melihat anak perempuannya lebih memilih untuk menonton sepakbola dibandingkan tayangan lain yang mungkin lebih cocok untuk anak perempuan, senyata rasa cemas yang kerap muncul saat pihak lawan mulai mendominasi pertandingan. 

This is football!
 Ada begitu banyak pahlawan lapangan hijau yang mampu membuatku melupakan rasa muak saat dituntut untuk selalu menjadi yang pertama di sekolah. Ya, di sekolah bukan di kelas. Fabio Cannavaro, Sinisa Mihajlovic, George Weah, Raul Gonzales, Le Tissier, Pavel Nedved, Alvaro Recoba, Robbie Fowler, Alan Shearer, Paolo Maldini, Zinadine Zidane, Dwight Yorke. Ah cukuplah, sebelum tulisan ini terlalu penuh dengan nama mereka. Namun nama ke-3 dari belakanglah yang paling memberikan pengaruh besar buatku. Di saat anak perempuan seusiaku yang lain sibuk berkhayal menjadi oh-so-fairytale-princess, aku justru terlalu sibuk berandai-andai bagaimana rasanya beraksi di lapangan hijau bersama dia yang mengenakan jersey merah-hitam bernomor punggung 3 itu. Sewaktu anak perempuan lain mengisi waktunya dengan bermain Barbie dan sejenisnya, aku mengisi waktu luang dengan bermain sepakbola di halaman rumah bersama teman-teman sekelas kakak (2 menit) laki-lakiku sambil mendengar teriakan mama yang menyuruhku untuk segera masuk ke dalam rumah. Sewaktu anak perempuan lainnya meminta baju baru sebagai hadiah ranking 1, aku meminta jersey merah-hitam lengkap dengan nama “Maldini” dan nomor punggung 3 sebagai hadiah. Orang yang aku mintai hanya tertawa, lalu mengiyakan setelah menceritakan permintaanku kepada seluruh teman kerjanya. Tidak ada alasan baginya untuk menolak, karena dia yang pertama kali membuatku melirik ke arah televisi saat laga 90 menit itu berlangsung. Toh, dia juga senang karena anak perempuannya juga menyukai apa yang dia sukai. Setidaknya dari sederetan catatan family time yang buruk, ada sedikit waktu-waktu manis yang sempat kami rasakan sendiri. Walaupun ternyata dia tak pernah sempat membuatku tertawa bangga saat mengenakan jersey bernomor punggung 3 itu, karena 3 hari setelahnya dia harus melanjutkan hidupnya yang baru. Ah, lagi-lagi angka 3.  

Paolo Maldini, the way I define how the class should be.
Aku bersyukur karena menjadi salah satu dari mereka yang menggilai sepakbola sejak tahun 90-an. Tahun di mana ada begitu banyak nama besar, tahun di mana Paolo Maldini semakin menunjukkan kualitasnya sebagai defender papan atas dari klub papan atas. Aku menjadi salah seorang yang paling berbahagia saat melihatnya berhasil memimpin Milan meraih scudetto musim 1998-1999. Gelar pertama yang aku lihat sebagai seorang pecandu sepakbola, gelar pertama yang aku lihat sebagai pengagum Il Capitano. 9 Agustus 2000, UEFA Champion League saat Milan harus menjamu Dinamo Zagreb – Maldini mempertontonkan salah satu tackle terbaik yang pernah aku lihat. Merebut bola dari seorang Bosko Balaban yang kala itu bersiap untuk menyerang and it just freezed him that way. Dan bayangkan sendiri apa yang aku rasakan saat melihatnya bertanding di laga final UEFA Champion League 2005, saat ia menjadi pencetak gol tercepat dan tertua karena hanya membutuhkan waktu 51 detik untuk membuat Rossoneri memimpin walaupun kalian juga paham bagaimana akhirnya. Zinadine Zidane, Diego Maradona, Ronaldo, Thierry Henry dan Rivaldo adalah sebagian kecil nama yang pernah merasakan sendiri the way he defended. I guess he made some best goals didn't look interesting by the way he defended. Belum lagi rasa bangga, haru dan respect saat membaca artikel tentang gelar "World Player of the Year" yang dianugerahkan World Soccer magazine untuknya, karena sampai musim panas tahun 1994 ia telah 3 kali mengangkat European Cup trophy dan memimpin Azzurri ke final Piala Dunia. Bukannya bermegah diri, saat itu ia malah membeberkan kekurangannya sebagai pesepakbola dan mempersembahkan gelar tersebut kepada Franco Baresi. Ah, legend.

We'll see ya!
 Buatku nama Paolo Maldini tidak melulu soal defender, tidak melulu soal Il Capitano ataupun legenda dengan sejumlah rekor yang belum terpecahkan. Contoh nyata dari sebuah loyalitas dan profesionalisme, bukti hidup dari sebuah kepemimpinan dan mental juara. Melihat penampilan terakhirnya dalam laga perpisahan yang berakhir dengan kemenangan 2-0 atas Fiorentina membuatku berpikir tentang apa yang sebenarnya membuat seorang Paolo Maldini terlalu istimewa jika dibandingkan dengan pesepakbola lainnya. Satu-satunya pesepakbola dengan kenangan personal yang membuatku feel so connected with someone really dear to me. Satu-satunya pesepakbola yang mampu mengalahkan imajinasi-imajinasi fairytale yang menjadi ciri khas anak perempuan seusiaku waktu itu, yang ada hanya imajinasi bagaimana luar biasanya saat berada di dalam satu lapangan yang sama dengannya atau paling tidak menontonnya bermain secara langsung. Ya, paling tidak menontonnya bermain secara langsung. Langsung, di tribun penonton, tanpa layar kaca, tanpa satelit. I want to feel that breathless moment when I see him shows his magical tackle. Dan semoga apa yang kudengar bukan hanya isapan jempol belaka. Semoga aku benar-benar sedang berada dalam hitungan hari sebelum menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana keajaiban seorang Paolo Maldini. Ya semoga, tapi kalaupun belum -  suatu saat pasti akan tiba waktunya.

PS: Hey, have you watched football too there? You have been missed, you have been loved.



Read More
anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena