Friday, January 25, 2013

Nostalgia Angka 3

"There are very few Paolo Maldini’s in world football, much fewer than there ever has been." - Sam Lewis

Entah apa yang ada di dalam pikiranku pada 24 Januari 14 tahun yang lalu. Yang jelas aku hanya menurut sewaktu orang yang beberapa bulan setelah tanggal itu memulai kehidupannya yang baru mengajakku untuk menyaksikan salah satu tontonan yang tak berarti apapun bagi sebagian orang, namun pada akhirnya menjadi salah satu bagian besar buat hidupku. Jujur saja, pada awalnya aku membenci hal ini. Baiklah, mungkin tidak sebenci itu hanya tidak tertarik sama sekali. Entah karena karma atau cuma kebetulan atau memang sudah demikian jalannya, akhirnya aku mulai menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana menakjubkannya hal itu. Sebagian besar orang menyebut hal itu sepakbola, olahraga 90 menit yang melibatkan 2 tim dan beberapa orang lainnya. Awalnya aku juga berpendapat sama, namun lama kelamaan sepakbola bukan hanya menjadi sekedar olahraga dan tontonan buatku. Sepakbola tidak melulu berbicara soal permainan 90 menit ataupun berbagai aksi untuk memasukkan bola ke gawang lawan. Sepakbola pada akhirnya tumbuh dengan berbagai makna yang jujur, cukup kompleks untuk aku jabarkan. Yang jelas saat 90 menit itu berlangsung, aku tidak lagi merasa menjadi seorang penonton yang duduk diam di depan televisi. Atmosfer 90 menit itu menjadi sangat nyata, senyata rasa gurih keripik kentang yang menjadi teman selama pertandingan berlangsung, senyata omelan mama yang semakin menjadi karena melihat anak perempuannya lebih memilih untuk menonton sepakbola dibandingkan tayangan lain yang mungkin lebih cocok untuk anak perempuan, senyata rasa cemas yang kerap muncul saat pihak lawan mulai mendominasi pertandingan. 

This is football!
 Ada begitu banyak pahlawan lapangan hijau yang mampu membuatku melupakan rasa muak saat dituntut untuk selalu menjadi yang pertama di sekolah. Ya, di sekolah bukan di kelas. Fabio Cannavaro, Sinisa Mihajlovic, George Weah, Raul Gonzales, Le Tissier, Pavel Nedved, Alvaro Recoba, Robbie Fowler, Alan Shearer, Paolo Maldini, Zinadine Zidane, Dwight Yorke. Ah cukuplah, sebelum tulisan ini terlalu penuh dengan nama mereka. Namun nama ke-3 dari belakanglah yang paling memberikan pengaruh besar buatku. Di saat anak perempuan seusiaku yang lain sibuk berkhayal menjadi oh-so-fairytale-princess, aku justru terlalu sibuk berandai-andai bagaimana rasanya beraksi di lapangan hijau bersama dia yang mengenakan jersey merah-hitam bernomor punggung 3 itu. Sewaktu anak perempuan lain mengisi waktunya dengan bermain Barbie dan sejenisnya, aku mengisi waktu luang dengan bermain sepakbola di halaman rumah bersama teman-teman sekelas kakak (2 menit) laki-lakiku sambil mendengar teriakan mama yang menyuruhku untuk segera masuk ke dalam rumah. Sewaktu anak perempuan lainnya meminta baju baru sebagai hadiah ranking 1, aku meminta jersey merah-hitam lengkap dengan nama “Maldini” dan nomor punggung 3 sebagai hadiah. Orang yang aku mintai hanya tertawa, lalu mengiyakan setelah menceritakan permintaanku kepada seluruh teman kerjanya. Tidak ada alasan baginya untuk menolak, karena dia yang pertama kali membuatku melirik ke arah televisi saat laga 90 menit itu berlangsung. Toh, dia juga senang karena anak perempuannya juga menyukai apa yang dia sukai. Setidaknya dari sederetan catatan family time yang buruk, ada sedikit waktu-waktu manis yang sempat kami rasakan sendiri. Walaupun ternyata dia tak pernah sempat membuatku tertawa bangga saat mengenakan jersey bernomor punggung 3 itu, karena 3 hari setelahnya dia harus melanjutkan hidupnya yang baru. Ah, lagi-lagi angka 3.  

Paolo Maldini, the way I define how the class should be.
Aku bersyukur karena menjadi salah satu dari mereka yang menggilai sepakbola sejak tahun 90-an. Tahun di mana ada begitu banyak nama besar, tahun di mana Paolo Maldini semakin menunjukkan kualitasnya sebagai defender papan atas dari klub papan atas. Aku menjadi salah seorang yang paling berbahagia saat melihatnya berhasil memimpin Milan meraih scudetto musim 1998-1999. Gelar pertama yang aku lihat sebagai seorang pecandu sepakbola, gelar pertama yang aku lihat sebagai pengagum Il Capitano. 9 Agustus 2000, UEFA Champion League saat Milan harus menjamu Dinamo Zagreb – Maldini mempertontonkan salah satu tackle terbaik yang pernah aku lihat. Merebut bola dari seorang Bosko Balaban yang kala itu bersiap untuk menyerang and it just freezed him that way. Dan bayangkan sendiri apa yang aku rasakan saat melihatnya bertanding di laga final UEFA Champion League 2005, saat ia menjadi pencetak gol tercepat dan tertua karena hanya membutuhkan waktu 51 detik untuk membuat Rossoneri memimpin walaupun kalian juga paham bagaimana akhirnya. Zinadine Zidane, Diego Maradona, Ronaldo, Thierry Henry dan Rivaldo adalah sebagian kecil nama yang pernah merasakan sendiri the way he defended. I guess he made some best goals didn't look interesting by the way he defended. Belum lagi rasa bangga, haru dan respect saat membaca artikel tentang gelar "World Player of the Year" yang dianugerahkan World Soccer magazine untuknya, karena sampai musim panas tahun 1994 ia telah 3 kali mengangkat European Cup trophy dan memimpin Azzurri ke final Piala Dunia. Bukannya bermegah diri, saat itu ia malah membeberkan kekurangannya sebagai pesepakbola dan mempersembahkan gelar tersebut kepada Franco Baresi. Ah, legend.

We'll see ya!
 Buatku nama Paolo Maldini tidak melulu soal defender, tidak melulu soal Il Capitano ataupun legenda dengan sejumlah rekor yang belum terpecahkan. Contoh nyata dari sebuah loyalitas dan profesionalisme, bukti hidup dari sebuah kepemimpinan dan mental juara. Melihat penampilan terakhirnya dalam laga perpisahan yang berakhir dengan kemenangan 2-0 atas Fiorentina membuatku berpikir tentang apa yang sebenarnya membuat seorang Paolo Maldini terlalu istimewa jika dibandingkan dengan pesepakbola lainnya. Satu-satunya pesepakbola dengan kenangan personal yang membuatku feel so connected with someone really dear to me. Satu-satunya pesepakbola yang mampu mengalahkan imajinasi-imajinasi fairytale yang menjadi ciri khas anak perempuan seusiaku waktu itu, yang ada hanya imajinasi bagaimana luar biasanya saat berada di dalam satu lapangan yang sama dengannya atau paling tidak menontonnya bermain secara langsung. Ya, paling tidak menontonnya bermain secara langsung. Langsung, di tribun penonton, tanpa layar kaca, tanpa satelit. I want to feel that breathless moment when I see him shows his magical tackle. Dan semoga apa yang kudengar bukan hanya isapan jempol belaka. Semoga aku benar-benar sedang berada dalam hitungan hari sebelum menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana keajaiban seorang Paolo Maldini. Ya semoga, tapi kalaupun belum -  suatu saat pasti akan tiba waktunya.

PS: Hey, have you watched football too there? You have been missed, you have been loved.



0 comments:

Post a Comment

anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena