Monday, February 25, 2013

Hail Mr. President!

"The difference between you and me is that, if tomorrow there was no more money in football, I'd still be here but not you." - Arsene Wenger

Sepakbola bukan tentang uang ataupun kekuasaan, bukan tentang menjadikan apa yang kalian miliki sebagai hal yang terutama. Sepakbola tentang apa yang kalian lakukan di lapangan hijau, tentang apa yang kalian pelajari dengan bola di atas kaki kalian. Ini yang aku yakini selama 14 tahun belakangan. Sepakbola adalah miniatur dari kehidupan itu sendiri, tentang pertandingan yang tidak akan berakhir sampai peluit panjang berbunyi, baik yang dibunyikan oleh dia yang berhak untuk mensahkan dan menganulir sebuah gol ataupun Dia yang berhak untuk membawa kalian (dan aku) ke kehidupan yang seperti apa.
Aku sendiri tidak paham bagaimana pria itu datang pertama kalinya. Mungkin saat itu dia belum mengendarai helikopter pribadinya, mungkin kedatangannya tidak terlalu mencolok. Tapi yang pasti, dia datang dengan berbagai hal yang mungkin masih belum mampu diterima oleh sebagian besar orang yang berkecimpung dalam sepakbola. Bukannya bermaksud menyinggung suatu agama tertentu, but I guess he came like when Jesus came into the front of the Scribes for the first time. Ada banyak dahi yang berkerut di awal kedatangannya. Ada sejumlah hal tak biasa yang terselip rapi di dalam tas kerjanya, ada catatan-catatan penuh kontroversi yang tersimpan rapat dalam saku jas ala mafia negeri pizza kebanggaannya.

Seriously? Was that you, Sir?
Yang jelas dia datang atas nama misi penyelamatan. Semacam menjadi juruselamat bagi klub adidaya yang kala itu tengah terseok-seok akibat tersandung masalah klasik yang tak pernah menjadi klasik. Kondisi darurat yang dialami Milan seperti menjadi pintu yang terbuka lebar bagi pebisnis yang tumbuh dari kalangan menengah ini. Entah apa yang merasukinya, tapi tak jauh berbeda dengan penjudi papan atas ia bersikukuh untuk memproklamirkan nama Arrigo Sacchi sebagai satu-satunya yang pantas mempersiapkan Milan dalam menghadapi setiap laga. Publik tertawa, dunia mencemooh. Bukan tanpa alasan, tahun 1986-1987 Arrigo Sacchi bukanlah pelatih papan atas. Mungkin satu-satunya prestasi yang dapat ia cantumkan di lampiran riwayat hidupnya adalah kesuksesannya membawa Parma sebagai juara Serie C1. I repeat, C1 – not Serie A even B. Dan faktanya, publik terdiam dunia ternganga. Arrigo Sacchi tidak menjadi satu-satunya kejutan yang mampu disuguhkan pria yang tampaknya memang terlahir untuk menjadi kontroversi kelas kakap ini. Nama-nama yang selanjutnya seperti menjadi berhala bagi setiap pecandu sepakbola berada di baris paling depan dalam setiap laga. Franco Baresi, Carlo Ancelotti, Paolo Maldini, Frank Rijkaard, Ruud Gullit dan Marco van Basten adalah mereka yang mampu membuat panji Rossoneri berkibar kembali. Ya, publik terdiam dan dunia ternganga – pria itu yang tertawa. Layaknya Bellini my most favorite Italian cocktail in case you don’t get it - terbaik yang mampu membuatmu melupakan sejenak setiap hal pahit tetapi tetap menjagamu pada koridor elegansi, racikan jenius dari tangan dingin Sacchi menjadikan Milan sebagai klub terbaik yang pernah ada. Gli Invincibili? Pa dentro!
Sepeninggal Sacchi, tampuk kekuasaan pebisnis dan politikus papan atas ini tidak terhenti begitu saja. Komentator bola yang cukup tersohor namun miskin pengalaman sebagai pelatih menjadi pilihannya. Harga taruhan yang semakin tinggi? Bisa jadi. Fabio Capello mungkin tak sefenomenal Sacchi, tapi di eranya tak hanya Donadoni, Costacurta dan Albertini yang menjadi sorotan dunia. Sejumlah legiun asing seperti Savicevic dan Zvonimir Boban turut menjadi bintang di lapangan hijau dan mata publik Italia. Belum cukup? Bertanyalah pada Johan Cruyff atau Philip Don tentang apa yang terjadi tanggal 18 Mei 1994 di Olympic Stadium, Athens – dan aku rasa mereka akan bergidik ngeri saat mengingat kembali tentang semenakjubkan apa arti angka 4 pada saat itu.
Perjalanan mulus bukan menjadi nama tengahnya. Di tengah-tengah era gemilang yang berhasil dilahirkannya, ada saja hal-hal yang membuat dunia yakin kalau ia hanyalah manusia biasa. Kadang berhasil, kadang gagal. Sebut saja era Tabarez ataupun ketidakmampuan Mr. Zac dalam mengkonsistenkan ungkapan vini vidi vici. Kalau boleh jujur, aku bersyukur akan era pasang-surut ini. Kembali bangkit setelah kegagalan akan membuat dunia yakin kalau mental juara memang merupakan modal yang tak ada bandingannya. Adalah Carlo Ancelotti yang disebut-sebut sebagai salah satu penyelamat Milan. Superioritas bukan menjadi satu-satunya hal yang diusung di eranya, bagaimana menciptakan sepakbola yang superior dan indah – well, it made Ancelotti as another biggest love affair for every Milanista.
Perombakan jenius ala Carletto di musim keduanya, membuat Milan tampil sebagai tim yang benar-benar disegani. The real devil. Formasi 4-3-1-2 yang menjadi formasi kebesarannya membuat Rui Costa dan Seedorf bermain apik dalam peran The Classic Number 10. Kejelian Carletto tidak hanya berhenti sampai di situ. Pirlo layaknya menjadi the hidden diamond, penyambung dari lini depan pertahanan. Di era ini pula aku semakin menyadari bagaimana sempurnanya peran Pirlo dan Gattuso. Gattuso dengan tenaga badaknya merebut bola dan menahan serangan lawan, sementara Pirlo dengan kreatifitasnya memastikan pasokan bola yang konsisten bagi para penghuni lini depan. Karya Ancelotti juga tak melulu soal 4-3-1-2. Kepergian Shevchenko justru membuat Kaka beralih fungsi sebagai gelandang sayap dengan Seedorf sebagai pendamping setia dan Pippo Inzaghi ataupun Gilardino sebagai striker tunggal. Kekalahan di laga kontra Deportivo La Coruna dan oh-so-heartbreaking Liverpool dibayar manis dengan diangkatnya trofi Piala Champion ke-7. Prestasi yang membuktikan bahwa keindahan sepakbola tetap tidak mampu dikalahkan oleh busuknya skandal Calciopoli yang menghebohkan kancah persepakbolaan dunia saat itu.
Ujian bagi dia yang berpredikat sebagai kunci di balik kesuksesan Milan seperti tak ada habisnya. Tersandung masalah finansial membuatnya kembali mengambil berbagai langkah kontroversial. Milan tak lagi menjadi tim dengan sederet nama superior. Tak ada lagi pemain sekaliber Seedorf, Nesta, Gattuso, Ibrahimovic ataupun Silva. Yang ada hanya skuad muda semacam Shaarawy, Niang ataupun De Sciglio. Yang ada hanya pemain kurang ternama seperti Kevin Constant atau Christian Zapata. Pertaruhan di meja judi tetap berlangsung. Slogan “Milan yang menciptakan legenda” menjadi hal yang semakin sering dielu-elukan. Entah memang seperti itu adanya, entah hanya berfungsi sebagai perban yang menutupi luka sebenarnya. 

Someone who makes believe that mafia is not only on movie.
Penjudi memanglah penjudi. Intuisi dan permainan licik menjadi hal yang paling bisa diandalkan. Entah apa yang ada di pikirannya saat datang ke sesi latihan tim dengan helikopter pribadinya, mengomentari potongan rambut aneh khas El Shaarawy dan memberikan mandat kepada allenatore Massimiliano Allegri bahwa Boateng akan bermain sempurna sebagai mezz’ala.  Are you really that sweet, Mister? Dan belakangan bersama pria berdasi kuning yang sering mengejutkan dunia dengan langkah-langkahnya di bursa transfer, ia tampil bagaikan ayah yang siap memeluk pemuda homesick yang menutupi kepahitannya dengan berbagai tingkah yang tidak masuk akal. Pemuda homesick itu kini telah pulang. Entah kebahagiaan seperti apa yang dirasakannya saat ia tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi mengenakan jersey yang dipujanya sejak pertama kali mengenal sepakbola. Pemuda homesick itu kini telah pulang, membuktikan sebengal apapun dia di luar sana – menjadi anak manis dan membanggakan adalah hal yang utama jika kau telah berada di rumah. Tidak ada pukulan balik untuk Coda, yang ada justru pelukan manis bagi sang adik – M’Baye Niang – yang sempat tidak terima saat sang kakak ditunjuk sebagai eksekutor tendangan bebas. Entah apa yang terjadi dengannya. Seburuk apapun cap The Rotten Apple ataupun sarkasme rasis tak terpuji yang sempat terdengar, pemuda bertajuk Super Mario ini tetap menjadi bagian dari rencana masa depan publik San Siro. Rencana masa depan yang membuat 27 tahun masih terlalu dini untuk pergi dari dunia yang sangat mengagung-agungkan sang presiden, dunia penuh intrik tapi dicintai oleh banyak orang, dunia yang tak mengenal kompromi tapi memberikan arti mendalam bagi kehidupan banyak orang.
Entah apa yang dilakukan pria itu saat ini. Mungkin dia sedang meninggalkan meja kerjanya, membiarkan tumpukan kertas kerja berserakan tak tersentuh begitu saja dan sejenak bersenang-senang setelah menyaksikan bagaimana megahnya kemenangan atas skuad yang hampir 19 tahun lalu juga dikalahkannya sambil membayangkan minggu yang sempurna seandainya kemenangan adalah hasil yang diperoleh di akhir laga panas Derby Della Madonnina kemarin. Mungkin saat ini dia sedang tersenyum, licik khas mafia kelas kakap Italia, menghisap cerutu mahal dengan 2-3 orang perempuan muda di kanan dan kirinya. Ah, siapa yang perduli? Yang aku tahu, dia selalu ada untuk Milan – dengan atau tanpa motif di baliknya. Hail Mr. President, Forza Magico Milan!

1 comments:

  1. Udah aku baca semua artikel di blog ini, sumpah keren2 semua, di tunggu artikel berikutnya.. :)

    ReplyDelete

anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena