"The difference between you and me is that, if tomorrow there was no more money in football, I'd still be here but not you." - Arsene Wenger
Sepakbola
bukan tentang uang ataupun kekuasaan, bukan tentang menjadikan apa yang kalian
miliki sebagai hal yang terutama. Sepakbola tentang apa yang kalian lakukan di
lapangan hijau, tentang apa yang kalian pelajari dengan bola di atas kaki
kalian. Ini yang aku yakini selama 14 tahun belakangan. Sepakbola adalah
miniatur dari kehidupan itu sendiri, tentang pertandingan yang tidak akan
berakhir sampai peluit panjang berbunyi, baik yang dibunyikan oleh dia yang
berhak untuk mensahkan dan menganulir sebuah gol ataupun Dia yang berhak untuk
membawa kalian (dan aku) ke kehidupan yang seperti apa.
Aku sendiri
tidak paham bagaimana pria itu datang pertama kalinya. Mungkin saat itu dia belum
mengendarai helikopter pribadinya, mungkin kedatangannya tidak terlalu mencolok.
Tapi yang pasti, dia datang dengan berbagai hal yang mungkin masih belum mampu
diterima oleh sebagian besar orang yang berkecimpung dalam sepakbola. Bukannya
bermaksud menyinggung suatu agama tertentu, but
I guess he came like when Jesus came into the front of the Scribes for the
first time. Ada banyak dahi yang berkerut di awal kedatangannya. Ada sejumlah
hal tak biasa yang terselip rapi di dalam tas kerjanya, ada catatan-catatan
penuh kontroversi yang tersimpan rapat dalam saku jas ala mafia negeri pizza
kebanggaannya.
Seriously? Was that you, Sir? |
Yang jelas dia
datang atas nama misi penyelamatan. Semacam menjadi juruselamat bagi klub
adidaya yang kala itu tengah terseok-seok akibat tersandung masalah klasik yang
tak pernah menjadi klasik. Kondisi darurat yang dialami Milan seperti menjadi
pintu yang terbuka lebar bagi pebisnis yang tumbuh dari kalangan menengah ini.
Entah apa yang merasukinya, tapi tak jauh berbeda dengan penjudi papan atas ia
bersikukuh untuk memproklamirkan nama Arrigo Sacchi sebagai satu-satunya yang
pantas mempersiapkan Milan dalam menghadapi setiap laga. Publik tertawa, dunia
mencemooh. Bukan tanpa alasan, tahun 1986-1987 Arrigo Sacchi bukanlah pelatih
papan atas. Mungkin satu-satunya prestasi yang dapat ia cantumkan di lampiran
riwayat hidupnya adalah kesuksesannya membawa Parma sebagai juara Serie C1. I repeat, C1 – not Serie A even B. Dan
faktanya, publik terdiam dunia ternganga. Arrigo Sacchi tidak menjadi
satu-satunya kejutan yang mampu disuguhkan pria yang tampaknya memang terlahir
untuk menjadi kontroversi kelas kakap ini. Nama-nama yang selanjutnya seperti
menjadi berhala bagi setiap pecandu sepakbola berada di baris paling depan
dalam setiap laga. Franco Baresi, Carlo Ancelotti, Paolo Maldini, Frank Rijkaard,
Ruud Gullit dan Marco van Basten adalah mereka yang mampu membuat panji
Rossoneri berkibar kembali. Ya, publik terdiam dan dunia ternganga – pria itu
yang tertawa. Layaknya Bellini – my most
favorite Italian cocktail in case you don’t get it - terbaik yang mampu
membuatmu melupakan sejenak setiap hal pahit tetapi tetap menjagamu pada
koridor elegansi, racikan jenius dari tangan dingin Sacchi menjadikan Milan
sebagai klub terbaik yang pernah ada. Gli
Invincibili? Pa dentro!
Sepeninggal
Sacchi, tampuk kekuasaan pebisnis dan politikus papan atas ini tidak terhenti
begitu saja. Komentator bola yang cukup tersohor namun miskin pengalaman
sebagai pelatih menjadi pilihannya. Harga taruhan yang semakin tinggi? Bisa
jadi. Fabio Capello mungkin tak sefenomenal Sacchi, tapi di eranya tak hanya
Donadoni, Costacurta dan Albertini yang menjadi sorotan dunia. Sejumlah legiun
asing seperti Savicevic dan Zvonimir Boban turut menjadi bintang di lapangan
hijau dan mata publik Italia. Belum cukup? Bertanyalah pada Johan Cruyff atau
Philip Don tentang apa yang terjadi tanggal 18 Mei 1994 di Olympic Stadium, Athens – dan aku rasa mereka akan bergidik ngeri
saat mengingat kembali tentang semenakjubkan apa arti angka 4 pada saat itu.
Perjalanan
mulus bukan menjadi nama tengahnya. Di tengah-tengah era gemilang yang berhasil
dilahirkannya, ada saja hal-hal yang membuat dunia yakin kalau ia hanyalah
manusia biasa. Kadang berhasil, kadang gagal. Sebut saja era Tabarez ataupun
ketidakmampuan Mr. Zac dalam mengkonsistenkan ungkapan vini vidi vici. Kalau boleh jujur, aku bersyukur akan era
pasang-surut ini. Kembali bangkit setelah kegagalan akan membuat dunia yakin
kalau mental juara memang merupakan modal yang tak ada bandingannya. Adalah
Carlo Ancelotti yang disebut-sebut sebagai salah satu penyelamat Milan.
Superioritas bukan menjadi satu-satunya hal yang diusung di eranya, bagaimana
menciptakan sepakbola yang superior dan indah – well, it made Ancelotti as another biggest love affair for every
Milanista.
Perombakan
jenius ala Carletto di musim keduanya, membuat Milan tampil sebagai tim yang
benar-benar disegani. The real devil.
Formasi 4-3-1-2 yang menjadi formasi kebesarannya membuat Rui Costa dan Seedorf
bermain apik dalam peran The Classic
Number 10. Kejelian Carletto tidak hanya berhenti sampai di situ. Pirlo
layaknya menjadi the hidden diamond,
penyambung dari lini depan pertahanan. Di era ini pula aku semakin menyadari
bagaimana sempurnanya peran Pirlo dan Gattuso. Gattuso dengan tenaga badaknya
merebut bola dan menahan serangan lawan, sementara Pirlo dengan kreatifitasnya
memastikan pasokan bola yang konsisten bagi para penghuni lini depan. Karya
Ancelotti juga tak melulu soal 4-3-1-2. Kepergian Shevchenko justru membuat
Kaka beralih fungsi sebagai gelandang sayap dengan Seedorf sebagai pendamping
setia dan Pippo Inzaghi ataupun Gilardino sebagai striker tunggal. Kekalahan di
laga kontra Deportivo La Coruna dan oh-so-heartbreaking
Liverpool dibayar manis dengan diangkatnya trofi Piala Champion ke-7. Prestasi
yang membuktikan bahwa keindahan sepakbola tetap tidak mampu dikalahkan oleh
busuknya skandal Calciopoli yang
menghebohkan kancah persepakbolaan dunia saat itu.
Ujian bagi
dia yang berpredikat sebagai kunci di balik kesuksesan Milan seperti tak ada
habisnya. Tersandung masalah finansial membuatnya kembali mengambil berbagai
langkah kontroversial. Milan tak lagi menjadi tim dengan sederet nama superior.
Tak ada lagi pemain sekaliber Seedorf, Nesta, Gattuso, Ibrahimovic ataupun
Silva. Yang ada hanya skuad muda semacam Shaarawy, Niang ataupun De Sciglio.
Yang ada hanya pemain kurang ternama seperti Kevin Constant atau Christian
Zapata. Pertaruhan di meja judi tetap berlangsung. Slogan “Milan yang
menciptakan legenda” menjadi hal yang semakin sering dielu-elukan. Entah memang
seperti itu adanya, entah hanya berfungsi sebagai perban yang menutupi luka
sebenarnya.
Someone who makes believe that mafia is not only on movie. |
Penjudi
memanglah penjudi. Intuisi dan permainan licik menjadi hal yang paling bisa
diandalkan. Entah apa yang ada di pikirannya saat datang ke sesi latihan tim
dengan helikopter pribadinya, mengomentari potongan rambut aneh khas El
Shaarawy dan memberikan mandat kepada allenatore
Massimiliano Allegri bahwa Boateng akan bermain sempurna sebagai mezz’ala. Are you
really that sweet, Mister? Dan belakangan bersama pria berdasi kuning yang
sering mengejutkan dunia dengan langkah-langkahnya di bursa transfer, ia tampil
bagaikan ayah yang siap memeluk pemuda homesick
yang menutupi kepahitannya dengan berbagai tingkah yang tidak masuk akal. Pemuda
homesick itu kini telah pulang. Entah
kebahagiaan seperti apa yang dirasakannya saat ia tidak perlu lagi
sembunyi-sembunyi mengenakan jersey yang dipujanya sejak pertama kali mengenal
sepakbola. Pemuda homesick itu kini
telah pulang, membuktikan sebengal apapun dia di luar sana – menjadi anak manis
dan membanggakan adalah hal yang utama jika kau telah berada di rumah. Tidak
ada pukulan balik untuk Coda, yang ada justru pelukan manis bagi sang adik – M’Baye
Niang – yang sempat tidak terima saat sang kakak ditunjuk sebagai eksekutor
tendangan bebas. Entah apa yang terjadi dengannya. Seburuk apapun cap The Rotten Apple ataupun sarkasme rasis
tak terpuji yang sempat terdengar, pemuda bertajuk Super Mario ini tetap menjadi bagian dari rencana masa depan publik
San Siro. Rencana masa depan yang membuat 27 tahun masih terlalu dini untuk
pergi dari dunia yang sangat mengagung-agungkan sang presiden, dunia penuh
intrik tapi dicintai oleh banyak orang, dunia yang tak mengenal kompromi tapi memberikan
arti mendalam bagi kehidupan banyak orang.
Entah apa
yang dilakukan pria itu saat ini. Mungkin dia sedang meninggalkan meja
kerjanya, membiarkan tumpukan kertas kerja berserakan tak tersentuh begitu saja
dan sejenak bersenang-senang setelah menyaksikan bagaimana megahnya kemenangan
atas skuad yang hampir 19 tahun lalu juga dikalahkannya sambil membayangkan
minggu yang sempurna seandainya kemenangan adalah hasil yang diperoleh di akhir laga
panas Derby Della Madonnina kemarin. Mungkin saat ini dia sedang tersenyum, licik
khas mafia kelas kakap Italia, menghisap cerutu mahal dengan 2-3 orang perempuan
muda di kanan dan kirinya. Ah, siapa yang perduli? Yang aku tahu, dia selalu
ada untuk Milan – dengan atau tanpa motif di baliknya. Hail Mr. President, Forza Magico Milan!
Udah aku baca semua artikel di blog ini, sumpah keren2 semua, di tunggu artikel berikutnya.. :)
ReplyDelete