Friday, March 15, 2013

Aku Bersyukur untuk Rambut yang Tidak Pernah Berubah, untuk Seorang Milanista Sepertimu: Surat Balasan kepada Seorang Milanista



            Dear Eddward,

Bolehkah aku menulisnya tanpa kata-kata “dengan hormat”? Bukannya tak ingin menghormatimu, tapi aku sangat tersanjung dengan surat yang kau sampaikan kemarin. Surat sederhana yang bagiku menjadi teman bernostalgia yang paling tepat tentang segala sesuatu yang aku jalani selama ini. Dan terlebih lagi kau seorang Milanista. Tak seorang Interista pun melakukan apa yang kau lakukan. Tapi sudahlah, setiap orang punya cara sendiri untuk mencintai sesuatu – mungkin cara mereka berbeda. Dan ya, atas surat sederhana yang kau kirimkan kemarin – rasanya aku ingin mengenalmu secara dekat. Berbicara tanpa ada batasan pesepakbola dan penonton, jadi tanpa kata-kata “dengan hormat” tadi – aku yakin kita telah sepakat untuk memulai persahabatan yang menyenangkan walaupun jarak antara Milan dan Indonesia masih terlalu jauh. Kapan-kapan mampirlah kemari, kita akan bersenang-senang. Dan tentang acara musik itu, sudahlah jangan diingat lagi. Aku sendiri tidak paham kenapa aku bisa berada di sana. Anggap saja sebagai tuntutan profesionalitas seorang pesepakbola profesional. Setidaknya aku belajar kalau ada hal yang lebih mengerikan dibandingkan berhadapan dengan seorang Paolo Maldini.
Terima kasih kau sudah berusaha mengenalku cukup lama. Lima belas tahun bukan waktu yang singkat untuk melapangkan dada demi mengenal orang yang membela tim yang menjadi rival dari tim kau puja. Bukannya aku bermaksud bersikap sinis terhadap fans lainnya. Tapi terkadang aku merasa miris waktu melihat mereka yang seolah-olah menutup mata tentang apa yang dilakukan pesepakbola lain yang tidak bermain untuk tim yang mereka cintai. Well, mungkin kau juga merasakannya. Tenang saja karena aku tidak bermaksud memaksa kalian untuk mencintai pesepakbola tertentu, tapi jika kalian mau cobalah melihat bahwa tim yang kalian puja sebagai bagian dari sepakbola – bukan sebaliknya. Piala Dunia 1998 ya? Ah, ternyata ada yang menganggap perhelatan itu sebagai moment berharga. Jujur rasanya tidak mudah untuk menerima kekalahan seperti itu. Kekalahan yang didapat setelah kau berjuang mati-matian. Terlebih lagi gol itu terjadi di menit 89. Dennis Bergkamp memang seorang pesepakbola luar biasa. Boleh aku bercerita soal pengalaman pahit lainnya?
Laga kontra Parma di perhelatan Coppa Italia 1999 memberikan kenangan tidak menyenangkan tersendiri bagiku. Aku mendapatkan kartu merah dalam pertandingan ini. Kalian sebagai orang-orang yang hidup dalam cinta dan candu akan sepakbola pasti benar-benar paham kalau posisi yang aku mainkan sangat rentan terhadap risiko dihujani kartu. Terkadang saat di lapangan kau merasa gelap mata, terlebih jika kau bermain sebagai seorang defender. Rasanya kau rela mematahkan kaki lawan untuk menjamin keamanan siapapun yang menjaga gawangmu. Aku sadar betul dengan hal ini. Tapi selama belasan tahun bermain dengan seragam yang sama, aku juga sadar kalau kau tetap bisa membuat orang lain tersenyum saat kau berusaha merebut bola dari kaki lawan atau saat kau berusaha mengamankan si penjaga gawang dari hujatan-hujatan saat gawangmu berhasil ditembus lawan. Ya, kau tidak perlu membuat orang lain bergidik ngeri saat menyaksikanmu merebut bola. Masih ada cara-cara yang lebih manusiawi, cara-cara yang akan membuatmu dilihat sebagai seorang defender berkelas. Aku tidak pernah main-main dengan prinsip ini dan mungkin hal inilah yang membuat koleksi kartu merahku tidak banyak. Laga kontra Udinese di bulan Desember 2011 kemarin menjadi kali pertama aku dihadiahi kartu merah di ajang Serie A. Aku tidak mau menyalahkan wasit atau siapapun. Kartu merah itu sendiri sudah membuatku merasa kotor, menyalahkan orang lain tentu akan membuat siapapun bertambah jijik. Walaupun aku benar-benar bersyukur saat Julius Cesar mampu menggagalkan tendangan penalti yang diambil alih oleh Di Natale. Dan ya, semoga itu menjadi yang terakhir. Kau mau ikut mendoakannya? Semoga begitu.
Aku hanya bisa tersenyum geli saat membaca bagian suratmu yang berceloteh panjang soal tatanan rambutku. Tampaknya kau benar-benar seorang pria yang mengerti fashion dan sebagainya. Jangan salahkan Rodolfo Valentin tentang tatanan rambutku yang cenderung membosankan ini. Sejujurnya dibandingkan meminta, dia lebih sering terlihat seperti memohon-mohon kepadaku supaya diijinkan mengganti tatanan rambutku. “Kau akan terlihat lebih muda”, “Hey, aku tidak main-main. Kau akan jauh lebih keren dibandingkan El-Shaarawy!” Dia bahkan pernah berbicara seperti ini padaku, “Baiklah, bereksperimen gaya rambut baru sama dengan bicara soal keberanian seorang pria.” Kadang aku berpikir, sebegitu membosankannyakah tatanan rambutku?  Dan kau tahu jawaban apa yang aku berikan pada Rodolfo? Sejujurnya aku lebih sering diam dan menatap tajam padanya. Dan saat itu juga dia akan berhenti berkomentar dan sibuk mengerjakan rambutku. Mungkin dia terlalu takut untuk kehilangan pelanggan sepertiku.
Well Edward, dunia mungkin perduli dengan tatanan rambut populer ala El Shaarawy ataupun style minyak rambut tumpah kebanggaan Ronaldo. Jujur, aku cukup perduli. Kadang sebelum pertandingan yang melibatkan mereka dimulai, tanpa disadari aku sering bertanya-tanya tentang kejutan tatanan rambut ala mereka akan seperti apa. Cukup menghibur, setidaknya saat kau merasa kantuk sedang mempermainkanmu - kau akan tersenyum geli saat mengalihkan sejenak perhatianmu padanya. Jangan dianggap serius, aku tidak seserius itu. Satu hal yang ingin aku tekankan padamu, dibandingkan gaya rambut mohawk El Shaarawy yang tampaknya cukup sukses meracuni hampir seluruh penghuni San Siro, aku lebih perduli dengan tingkahnya yang gentleman saat laga kontra Genoa musim ini. Kau pasti mengingat dengan jelas saat laga itu berlangsung, bukan? Gol yang seharusnya ia rayakan habis-habisan bersama teman-temannya. Tapi apa yang kau lihat saat itu? Dia menolak untuk merayakannya. Mungkin dia merasa tidak ingin seperti kacang yang lupa pada kulitnya karena bagaimanapun juga, mungkin tanpa Genoa tidak akan pernah ada sepakbola untuknya. Ah, rasanya aku seperti menyindir rekan satu timku sendiri. Dan dibandingkan dengan banyaknya jumlah minyak rambut yang harus dihabiskan Ronaldo setiap harinya, aku lebih perduli dengan jumlah gol yang ia torehkan untuk Real Madrid. Saat ada begitu banyak orang-orang yang berprasangka buruk tentangnya, dia tampak seperti menutup telinga dan mempersilahkan seorang anak kecil memasuki lapangan yang ingin memeluk atau meminta tanda tangannya.
Saat kau memutuskan untuk hidup sebagai pesepakbola, kau harus mampu menjadi seorang pesepakbola berkelas. Pesepakbola yang mengutamakan prestasi dan behavior dibandingkan sensasi, karena sadar atau tidak sadar, dunia sedang melihatmu. Mungkin kau bukan seorang pesepakbola, tapi belajarlah pada Maldini yang tidak pernah tertangkap media menghabiskan malam-malamnya dengan berpindah dari satu klub malam ke klub malam lain atau Inzaghi yang mengisi waktu luangnya dengan menonton rekaman pertandingan Serie C atau mungkin si garang Gattuso, yang selalu hadir di tempat latihan empat puluh lima menit sebelum latihan dimulai.
Wah, kau bahkan paham siapa itu Giuseppe Bergomi dan Gianluca Pagliuca! Aku sering mendengar istilah fans karbitan, tampaknya kau tidak termasuk di dalamnya. Ya, enam ratus empat puluh tujuh laga bagi seorang Paolo Maldini di Serie A merupakan pencapaian yang luar biasa. Dan siapa bilang aku tidak perduli dengan rekor pribadi? Jelas aku perduli. Aku tidak ingin menjadi munafik dengan menggembar-gemborkan kalau aku tidak perduli dengan rekor pribadiku. Aku tidak paham tentang apa yang dipikirkan pesepakbola lainnya tentang rekor pribadi mereka. Tapi rekor pribadi ini semacam tugu peringatan buatku secara pribadi. Tugu peringatan yang membuatku sadar kalau kesuksesan bukan sesuatu yang mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. Tapi percayalah tidak ada yang lebih indah dibandingkan saat klub yang kau bela mampu mengangkat trofi lainnya, mampu mengantongi gelar juara lainnya. Soal Mourinho? Aku bersyukur karena Mourinho mempercayakanku untuk bermain di posisi yang tidak pernah aku mainkan sebelumnya. Bayangkan sebesar apa rasa percayanya padaku. Kalau perkataanmu yang menyebutkan kalau Inter adalah salah satu klub kaya, dia pasti bisa membujuk Moratti untuk membeli pemain baru yang memang sudah mumpuni untuk bermain sebagai gelandang kanan. Dan mungkin aku hanya akan lebih sering mengunyah permen karet di bangku cadangan dibandingkan menggiring bola ke gawang lawan.
Tak ubahnya kehidupan, sepakbola adalah milik semua orang. Mungkin ini yang menjadi alasanku terkait laga kontra Zapatista itu. Aku muak dengan penganiyaan rasisme, aku jenuh dengan pembedaan-pembedaan yang kerap ditujukan kepada kaum marjinal lainnya. Aku bukan seorang pria yang mampu berkoar-koar di atas podium untuk mewujudkan misi perdamaian dunia, aku juga bukan seorang punggawa militer yang mempunyai hak khusus untuk memberikan pelajaran kepada mereka yang bermain-main dengan isu ini. Aku hanya seorang pesepakbola, satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah bermain sepakbola. Rasanya aku tidak perlu menjelaskan mengapa laga Zapatista itu dibatalkan, terkadang ada hal-hal yang lebih baik tidak kita ketahui. Tapi satu hal yang  pasti, di saat ada begitu banyak pesepakbola yang lebih perduli tentang bagaimana menggaet sederet model cantik papan atas atau menambah isi garasinya (walaupun itu tidak salah), aku hanya ingin membuktikan kepada mereka yang tertolak dan tercemooh kalau masih ada segilintir orang yang perduli dengan mereka. Dan bisa jadi orang itu adalah orang yang namanya mereka teriakkan setiap minggunya.
Maaf kalau surat ini terlalu panjang. Tak jauh berbeda denganmu aku juga senang bisa berbicara dengan orang sepertimu. Pembicaraan seperti ini membuatku sadar kalau kebahagiaan dalam sepakbola tidak melulu soal bagaimana kau bertanding di lapangan hijau, tidak melulu soal enam ratus pertandingan, tidak melulu soal ban kapten yang melingkar di lenganku sejak 29 Agustus 1999.
Sebelum kau semakin lelah membaca surat ini, bisakah aku meminta bantuanmu? Tolong sampaikan salamku pada seorang perempuan bernama Marini Saragih. Dia yang berinisiatif menerjemahkan suratmu sehingga aku bisa membalasnya. Kau tahu kemampuan bahasa Indonesiaku yang menyedihkan. Dan sama sepertimu, dia juga seorang Milanista. Ya Milanista, bukan Milanisti. Milanista untuk sebutan tunggal, Milanisti untuk sebutan jamak. Tapi sepertinya aku belum pantas untuk mengkuliahimu soal tata bahasa. Toh, aku juga belum mampu mengucapkan kalimat “Salam hangat terdahsyat bla bla bla” – ya, acara musik itu. Sekali lagi maaf kalau surat ini terlalu klise (oh well, bukan hanya panjang ternyata), anggaplah ini sebagai janji kalau suatu saat kau akan berkunjung ke Milan dan kita akan berbicara tentang banyak hal. Dan satu lagi, aku tidak terlalu paham dengan filosofi kehidupan dimulai saat berumur empat puluh tahun. Karena yang aku paham, kehidupanku dimulai sejak 27 Agustus 1995. Terima kasih untuk rasa cintamu terhadap sepakbola, terima kasih karena kau sudah menjadi seorang fan yang dewasa.

Salam hangat,

Javier Zanetti 

PS: This writing is also published here, this one is inspired  by Eddward S. Kennedy's writing.
Read More

Monday, February 25, 2013

Hail Mr. President!

"The difference between you and me is that, if tomorrow there was no more money in football, I'd still be here but not you." - Arsene Wenger

Sepakbola bukan tentang uang ataupun kekuasaan, bukan tentang menjadikan apa yang kalian miliki sebagai hal yang terutama. Sepakbola tentang apa yang kalian lakukan di lapangan hijau, tentang apa yang kalian pelajari dengan bola di atas kaki kalian. Ini yang aku yakini selama 14 tahun belakangan. Sepakbola adalah miniatur dari kehidupan itu sendiri, tentang pertandingan yang tidak akan berakhir sampai peluit panjang berbunyi, baik yang dibunyikan oleh dia yang berhak untuk mensahkan dan menganulir sebuah gol ataupun Dia yang berhak untuk membawa kalian (dan aku) ke kehidupan yang seperti apa.
Aku sendiri tidak paham bagaimana pria itu datang pertama kalinya. Mungkin saat itu dia belum mengendarai helikopter pribadinya, mungkin kedatangannya tidak terlalu mencolok. Tapi yang pasti, dia datang dengan berbagai hal yang mungkin masih belum mampu diterima oleh sebagian besar orang yang berkecimpung dalam sepakbola. Bukannya bermaksud menyinggung suatu agama tertentu, but I guess he came like when Jesus came into the front of the Scribes for the first time. Ada banyak dahi yang berkerut di awal kedatangannya. Ada sejumlah hal tak biasa yang terselip rapi di dalam tas kerjanya, ada catatan-catatan penuh kontroversi yang tersimpan rapat dalam saku jas ala mafia negeri pizza kebanggaannya.

Seriously? Was that you, Sir?
Yang jelas dia datang atas nama misi penyelamatan. Semacam menjadi juruselamat bagi klub adidaya yang kala itu tengah terseok-seok akibat tersandung masalah klasik yang tak pernah menjadi klasik. Kondisi darurat yang dialami Milan seperti menjadi pintu yang terbuka lebar bagi pebisnis yang tumbuh dari kalangan menengah ini. Entah apa yang merasukinya, tapi tak jauh berbeda dengan penjudi papan atas ia bersikukuh untuk memproklamirkan nama Arrigo Sacchi sebagai satu-satunya yang pantas mempersiapkan Milan dalam menghadapi setiap laga. Publik tertawa, dunia mencemooh. Bukan tanpa alasan, tahun 1986-1987 Arrigo Sacchi bukanlah pelatih papan atas. Mungkin satu-satunya prestasi yang dapat ia cantumkan di lampiran riwayat hidupnya adalah kesuksesannya membawa Parma sebagai juara Serie C1. I repeat, C1 – not Serie A even B. Dan faktanya, publik terdiam dunia ternganga. Arrigo Sacchi tidak menjadi satu-satunya kejutan yang mampu disuguhkan pria yang tampaknya memang terlahir untuk menjadi kontroversi kelas kakap ini. Nama-nama yang selanjutnya seperti menjadi berhala bagi setiap pecandu sepakbola berada di baris paling depan dalam setiap laga. Franco Baresi, Carlo Ancelotti, Paolo Maldini, Frank Rijkaard, Ruud Gullit dan Marco van Basten adalah mereka yang mampu membuat panji Rossoneri berkibar kembali. Ya, publik terdiam dan dunia ternganga – pria itu yang tertawa. Layaknya Bellini my most favorite Italian cocktail in case you don’t get it - terbaik yang mampu membuatmu melupakan sejenak setiap hal pahit tetapi tetap menjagamu pada koridor elegansi, racikan jenius dari tangan dingin Sacchi menjadikan Milan sebagai klub terbaik yang pernah ada. Gli Invincibili? Pa dentro!
Sepeninggal Sacchi, tampuk kekuasaan pebisnis dan politikus papan atas ini tidak terhenti begitu saja. Komentator bola yang cukup tersohor namun miskin pengalaman sebagai pelatih menjadi pilihannya. Harga taruhan yang semakin tinggi? Bisa jadi. Fabio Capello mungkin tak sefenomenal Sacchi, tapi di eranya tak hanya Donadoni, Costacurta dan Albertini yang menjadi sorotan dunia. Sejumlah legiun asing seperti Savicevic dan Zvonimir Boban turut menjadi bintang di lapangan hijau dan mata publik Italia. Belum cukup? Bertanyalah pada Johan Cruyff atau Philip Don tentang apa yang terjadi tanggal 18 Mei 1994 di Olympic Stadium, Athens – dan aku rasa mereka akan bergidik ngeri saat mengingat kembali tentang semenakjubkan apa arti angka 4 pada saat itu.
Perjalanan mulus bukan menjadi nama tengahnya. Di tengah-tengah era gemilang yang berhasil dilahirkannya, ada saja hal-hal yang membuat dunia yakin kalau ia hanyalah manusia biasa. Kadang berhasil, kadang gagal. Sebut saja era Tabarez ataupun ketidakmampuan Mr. Zac dalam mengkonsistenkan ungkapan vini vidi vici. Kalau boleh jujur, aku bersyukur akan era pasang-surut ini. Kembali bangkit setelah kegagalan akan membuat dunia yakin kalau mental juara memang merupakan modal yang tak ada bandingannya. Adalah Carlo Ancelotti yang disebut-sebut sebagai salah satu penyelamat Milan. Superioritas bukan menjadi satu-satunya hal yang diusung di eranya, bagaimana menciptakan sepakbola yang superior dan indah – well, it made Ancelotti as another biggest love affair for every Milanista.
Perombakan jenius ala Carletto di musim keduanya, membuat Milan tampil sebagai tim yang benar-benar disegani. The real devil. Formasi 4-3-1-2 yang menjadi formasi kebesarannya membuat Rui Costa dan Seedorf bermain apik dalam peran The Classic Number 10. Kejelian Carletto tidak hanya berhenti sampai di situ. Pirlo layaknya menjadi the hidden diamond, penyambung dari lini depan pertahanan. Di era ini pula aku semakin menyadari bagaimana sempurnanya peran Pirlo dan Gattuso. Gattuso dengan tenaga badaknya merebut bola dan menahan serangan lawan, sementara Pirlo dengan kreatifitasnya memastikan pasokan bola yang konsisten bagi para penghuni lini depan. Karya Ancelotti juga tak melulu soal 4-3-1-2. Kepergian Shevchenko justru membuat Kaka beralih fungsi sebagai gelandang sayap dengan Seedorf sebagai pendamping setia dan Pippo Inzaghi ataupun Gilardino sebagai striker tunggal. Kekalahan di laga kontra Deportivo La Coruna dan oh-so-heartbreaking Liverpool dibayar manis dengan diangkatnya trofi Piala Champion ke-7. Prestasi yang membuktikan bahwa keindahan sepakbola tetap tidak mampu dikalahkan oleh busuknya skandal Calciopoli yang menghebohkan kancah persepakbolaan dunia saat itu.
Ujian bagi dia yang berpredikat sebagai kunci di balik kesuksesan Milan seperti tak ada habisnya. Tersandung masalah finansial membuatnya kembali mengambil berbagai langkah kontroversial. Milan tak lagi menjadi tim dengan sederet nama superior. Tak ada lagi pemain sekaliber Seedorf, Nesta, Gattuso, Ibrahimovic ataupun Silva. Yang ada hanya skuad muda semacam Shaarawy, Niang ataupun De Sciglio. Yang ada hanya pemain kurang ternama seperti Kevin Constant atau Christian Zapata. Pertaruhan di meja judi tetap berlangsung. Slogan “Milan yang menciptakan legenda” menjadi hal yang semakin sering dielu-elukan. Entah memang seperti itu adanya, entah hanya berfungsi sebagai perban yang menutupi luka sebenarnya. 

Someone who makes believe that mafia is not only on movie.
Penjudi memanglah penjudi. Intuisi dan permainan licik menjadi hal yang paling bisa diandalkan. Entah apa yang ada di pikirannya saat datang ke sesi latihan tim dengan helikopter pribadinya, mengomentari potongan rambut aneh khas El Shaarawy dan memberikan mandat kepada allenatore Massimiliano Allegri bahwa Boateng akan bermain sempurna sebagai mezz’ala.  Are you really that sweet, Mister? Dan belakangan bersama pria berdasi kuning yang sering mengejutkan dunia dengan langkah-langkahnya di bursa transfer, ia tampil bagaikan ayah yang siap memeluk pemuda homesick yang menutupi kepahitannya dengan berbagai tingkah yang tidak masuk akal. Pemuda homesick itu kini telah pulang. Entah kebahagiaan seperti apa yang dirasakannya saat ia tidak perlu lagi sembunyi-sembunyi mengenakan jersey yang dipujanya sejak pertama kali mengenal sepakbola. Pemuda homesick itu kini telah pulang, membuktikan sebengal apapun dia di luar sana – menjadi anak manis dan membanggakan adalah hal yang utama jika kau telah berada di rumah. Tidak ada pukulan balik untuk Coda, yang ada justru pelukan manis bagi sang adik – M’Baye Niang – yang sempat tidak terima saat sang kakak ditunjuk sebagai eksekutor tendangan bebas. Entah apa yang terjadi dengannya. Seburuk apapun cap The Rotten Apple ataupun sarkasme rasis tak terpuji yang sempat terdengar, pemuda bertajuk Super Mario ini tetap menjadi bagian dari rencana masa depan publik San Siro. Rencana masa depan yang membuat 27 tahun masih terlalu dini untuk pergi dari dunia yang sangat mengagung-agungkan sang presiden, dunia penuh intrik tapi dicintai oleh banyak orang, dunia yang tak mengenal kompromi tapi memberikan arti mendalam bagi kehidupan banyak orang.
Entah apa yang dilakukan pria itu saat ini. Mungkin dia sedang meninggalkan meja kerjanya, membiarkan tumpukan kertas kerja berserakan tak tersentuh begitu saja dan sejenak bersenang-senang setelah menyaksikan bagaimana megahnya kemenangan atas skuad yang hampir 19 tahun lalu juga dikalahkannya sambil membayangkan minggu yang sempurna seandainya kemenangan adalah hasil yang diperoleh di akhir laga panas Derby Della Madonnina kemarin. Mungkin saat ini dia sedang tersenyum, licik khas mafia kelas kakap Italia, menghisap cerutu mahal dengan 2-3 orang perempuan muda di kanan dan kirinya. Ah, siapa yang perduli? Yang aku tahu, dia selalu ada untuk Milan – dengan atau tanpa motif di baliknya. Hail Mr. President, Forza Magico Milan!

Read More

Monday, February 11, 2013

A Story from Indonesia: The Way We Treated Our Legends



"I learned all about life with a ball at my feet." - Ronaldinho
          
              
             Everyone deserves to make their dreams come true. And that is what we realized too. A lot of  us – Indonesian Milanisti have never made our first steps yet at San Siro. But apparently, there is something we could do to make it closer. We made our San Siro. Yes, here – in Indonesia. It was 9 February 2013, one of our very best memorable days ever. We watched our legends there, live with no satellite and television. We chanted for our legends there, with pride with no fear. We treated our legends there, with the timeless love and respect with no something made up.
                 
There were Massimo Taibi, Paolo Maldini, Franco Baresi, Roque Junior, Alessandro Costacurta, Stevano Nava, Pietro Vierchowod, Roberto Mussi, Massimo Oddo, Stefano Eranio, Ibrahim Ba, Angelo Carbone, Sérgio Cláudio dos Santos, Maurizio Ganz, Andriy Shevchenko and Daniele Massaro that time. It was an honor to watch them fought for the Rossoneri pride. Maybe it was only kind of charity match, with no trophy and prize but no matter what it was – it became the most glittery match for us. The way they dribbled the ball, the way they tackled and marked the opponents, the way they showed their gestures, the way they scored and celebrated the goals – everything just felt more magical than any fairytale we had ever known. We realized that there is always the romance between us and those legends. So who said romance doesn’t exist in football? Those 90 minutes were for us, they were for us and we were for them. Ah, did we really deserve it?

That feeling when you just were at it.

We even felt its (San Siro) atmosphere before the match began. Chanted in language we even couldn’t understand to prove the world how proud we were to be a part of this. It was our way to tell Milan that our love is timeless. Nothing can change it. Even the most horrible seasons can’t do it. Some of us went back to our childhoods, the times when we took our first Rossoneri matches. We felt that first love again, both love at the first sight or not. Maybe it was just like a flashback for us. It reminded us when our dads told us some players names, when we bought some sport magazines just to know more about those players. We remembered our first Maldini’s tackles and Shevchenko’s goals. Ah, God just  blessed us by sent Milan in our lives. Sounds so cheesy? Who cares, for this is what it is.

And then, that was our turn to see them by our own eyes. The goosebumps came when those legends entered the pitch. We had gotten a feeling that it would be the incredible day for us since Taibi made some warming up on the pitch. And yes, it was true.  In the 16th minute we got our first breathless moment. It was Serginho who showed his class. He started it by his perfect solo run and something boom just happened after it. A powerful goal from the right side. We took the deep breaths. We stood up, clapped our hands. The drummers made some huger and faster beats, we chanted more and more. The flags were flying higher, the flares were getting wilder. Apparently this was what Curva Sud felt when the goal just happened. But later, Indonesia All Stars didn’t want to make it easy for Milan Glorie. Bambang Pamungkas, one of the great Indonesian footballers only took 19 minutes to shock Taibi. The first goal for Indonesia, the hotter match for us. 

        Some of us maybe just remembered what happened when Milan fought against Lecce on 29 August 1999. Andriy Shevchenko made his debut and first goal for Milan at the same time. We got this feeling again. He scored a goal for Milan, a right footed goal. Il fenomeno lo lasciamo la’ qui c’e’ Sheva.. La la la la la la la la la Sheva Sheva!! We sang this one with no commandments for the King, it just happened. We were suddenly be at San Siro, we were Curva Sud Milano! Bambang Pamungkas showed his class again. He equalized the match in the 63th minute, accepted a passing from Gusnaedi then a sharp header goal drove us into 2-2. Legends are legends, they proved us there. 2-2 didn’t make them down. They faced something too much worse than this one. Age really doesn’t any matter. Ganz really deserved to be called as a legend. He had to thank to Ba for his goal in around 70th. 2-3 for Milan Glorie. It didn’t stop yet. The atmosphere was getting hotter. The banners and flags were flying higher, we threw some smoke bombs and lighted some flares up. A sweet ending just came to us. Serginho made his second goal at this match. 2-4 for Milan Glorie until the final whistle.

       The match is over but the feeling has been exist till now, till we write this one. Maybe it sounds so silly for we - the Indonesian, didn’t cheered for Indonesia All Stars Team. Maybe it makes us so much far from the nationalism criteria. But people, this is football. Sometimes something out of logic happens in football. Football is more than any nationalism stuff. Football is about the love we choose and the choice we live up. And yes, we chose Milan. Apparently our love is that timeless. The fast regeneration doesn’t change our respect for them, the horrible seasons don’t make us cheat from our love. And yes, it is true that we weren’t on the pitch, we were just on the stadium stands. We indeed didn’t help Maldini to grab that ball from the opponents, we indeed didn’t give some passing for Shevchenko. But most of all, we came from East Java, Sumatra, Borneo and the whole Indonesia to Jakarta just to cheer for them on the stands. We were there for them and they were there for us. As simple as that, as wonderful as that. Ah, thank you for football. We mean - thank you for your legendary football, legends. We’ve adored, we’ve loved, we’ve supported you unconditionally. Hail the legends!

Photo credits to Billy Sebastian
Read More

Saturday, February 2, 2013

Catatan Musim Dingin

“A strange day, leaving Milano for London. Tomorrow we know more. Goodnight everyone.” – Urby Emanuelson

“I don’t really like drama”, setidaknya kalimat tadi bisa menjadi satu kesimpulan aman tentang seperti apa aku. Tapi ternyata aku  tidak bisa sepenuhnya terlepas dari drama, karena bagaimanapun juga hidupku penuh dengan drama – drama yang aku buat sendiri dan drama yang memang terjadi begitu saja di luar kendaliku. Mungkin hal ini yang membuatku tidak bisa membenci drama, membenci drama tidak akan jauh berbeda dengan membenci sebagian besar hal yang memang sudah digariskan dalam hidup.
Dan tampaknya salah satu hal yang paling aku cintai di dunia ini juga penuh dengan drama. Ya, sepakbola penuh dengan drama. Milan penuh dengan drama. Kadang aku merasa konyol saat menyadari bahwa ada begitu banyak hal dalam sepakbola dan Milan yang mampu mempermainkan emosiku. Konyol, karena aku sendiri tidak terlibat langsung di dalamnya. Jika diibaratkan sebagai sebuah film, ada satu scene dalam drama sepakbola yang memancing timbulnya dua emosi yang bertentangan. Senang dan sedih. Scene itu terjadi di setiap musim, scene itu terbalut rapi dalam skenario kebutuhan untuk menjadi tim yang lebih baik, scene itu diiringi dengan megahnya soundtrack berirama rumor dan ekspektasi, scene itu memang bukan klimaks tetapi mampu menjadi awal dan akhir sekaligus. Scene itu bernama bursa transfer.
Bursa transfer musim dingin tahun ini memang tidak sedramatis saat para senator meninggalkan San Siro. Tetapi selama ada yang datang dan pergi, tetap saja ada emosi yang dipermainkan. Drama ini dimulai dari kepergian Pato. Rasanya tidak adil karena cidera berkepanjangan sudah tentu bukan menjadi keinginannya. Seperti habis manis sepah dibuang, menurutku. Pato memiliki catatan rekor yang baik, kemampuannya dalam mencetak gol dan kecepatannya luar biasa, bahkan dalam laga come back ia masih mampu membuktikan publik akan predikatnya sebagai salah striker terbaik yang pernah dimiliki Milan. Ditambah lagi dia tidak pernah berkelakuan buruk, semiring apapun rumor hubungannya dengan Barbara Berlusconi, toh masih belum ada pemberitaan yang menyatakan kebenaran rumor ini. He deserves more faith and love, as simple as that maybe. Dan tentang video perpisahannya, ah sudahlah – frankly saying it just made me feel that bad to him.
 
Stay awesome anywhere, Duck.
Aku cukup muak dengan scene selanjutnya. Scene lama yang kembali diulang. Kali ini dengan bumbu ekspektasi yang lebih tajam. Membuat setiap Milanista berharap bahwa klub yang mereka elu-elukan bakal membawa kembali sang (mantan) bintang lapangan. The Kaka Saga. Ceritanya memang tak se’cheesy The Twilight Saga, tapi cukup membuktikan kalau ada begitu banyak cinta lama yang bersemi kembali untuknya atau lebih tepatnya, cinta lama yang tetap bersemi. Drama membawa pulang The Prodigal Son memang selalu seperti ini. Ada banyak adegan yang terlihat sebagai rangkaian plot yang akan membawa penonton pada sebuah happy ending. Kaka kembali ke Milan, sebagian besar dari kalian pasti berharap happy ending yang seperti ini. Namun drama tetaplah drama, kadang ujung ceritanya tidak seperti yang kita harapkan. Tapi kalau boleh jujur, drama seperti ini lebih menarik. Cerita dengan ending yang dapat ditebak kadang membuat sebuah cerita menjadi membosankan. Lagi-lagi masalah finansial menjadi akar dari ditundanya atau mungkin gagalnya usaha membawa pulang seorang Kaka. Harga yang dipatok terlalu tinggi, jumlah uang yang menurutku mungkin akan lebih worth it untuk dihabiskan pada hal-hal yang lebih menjanjikan. Bukannya bermaksud mencap Kaka tidak layak lagi untuk Milan, he still really deserves it. Tapi jika kita berbicara tentang drama dengan durasi bertahun-tahun, drama yang di dalamnya terdapat kebutuhan akan adegan klimaks dengan setting kondisi di masa depan yang lebih baik, keputusan untuk membawa pulang Kaka mungkin bisa berujung pada berbagai adegan antiklimaks. Mungkin, karena bagaimanapun juga drama ini bukan drama yang mudah untuk diprediksi.
Kedatangan Riccardo Saponara dan Zaccardo tampaknya cukup mampu menjadi pemanis di tengah-tengah rasa pahit yang muncul akibat gagalnya mendatangkan Kaka ke Milan. Aku tidak terlalu paham dengan kedua orang ini. Tapi aku cukup berharap kalau ke depannya mereka tidak hanya akan menjadi cameo yang lebih sering memerankan adegan-adegan kurang penting. Ya semoga, karena jujur saja I have some good feelings with them. Dan dipermanenkannya Kevin Constant, I'm bouncing excitement! Setelah sejumlah penampilan mengesankan yang berhasil ditunjukkannya, aku sangat setuju kalau ia layak mendapatkan ini. Ada seorang Diego Armando Maraconstant di Milan, I hail you management!

Ah, I'm sorry. The very best luck for you.
Dan scene yang mengundang sejumlah emosi yang tidak aku sukai itu muncul kembali. Berbanding terbalik dengan apa yang diraih Kevin Constant - Mesbah, Strassser dan Acerbi harus rela melepaskan kostum merah-hitam yang selama ini mereka kenakan. Walaupun di antara mereka status kepindahannya hanya bersifat sementara, rasa miris itu tetap saja ada. Ya, aku termasuk orang yang has faith in Acerbi. Banyak yang menyebutnya sebagai defender yang lamban. Tapi berbicara defender, bukan hanya bicara soal kecepatan. Mungkin lebih kepada bagaimana membaca sebuah pertandingan. Kepercayaanku juga bukan tanpa alasan dan atas cinta buta yang bodoh. Setidaknya aku telah membaca sejumlah catatan statistik yang menunjukkan kalau ia punya potensi untuk tampil lebih baik lagi. Dan Mesbah. Cukuplah semua abusement untuknya. Dia tidak seburuk itu. Semoga kalian sudah menonton video yang dibuat sebagai bentuk penolakan terhadap sejumlah abusement yang ditujukan untuknya.

No more another "Balo chokes or slaps or punches coach" headline, please.
Lalu seseorang yang dianggap sebagai lakon utama itu datang. Mario “Rotten Apple” Balotelli. Siapa yang tidak menginginkannya? Kelakukannya yang kadang mengundang tanda tanya justru menjadi pelengkap dari besarnya bakat dan potensi yang dimilikinya. Muda, bertalenta, sensasional. 3 kata tadi cukup menggambarkan bagaimana seorang Balotelli. “Balo has never been failed to amuse me. Still gutted he left Premier League.” Bahkan my-dream-on-going-sister-in-law yang menjadi seorang penggila EPL dan sama sekali tidak punya cinta untuk Manchester City mengatakan hal ini. Di tengah-tengah kelakuannya yang cukup absurd, Balo memiliki tempat tersendiri bagi penikmat sepakbola. Dan mungkin Milan adalah yang paling berbahagia untuk saat ini. Gagalnya membawa Kaka, justru berlanjut dengan kedatangan bocah 22 tahun yang mengaku sudah mencintai Milan sejak pertama kali ia bermain sepakbola. Jujur, aku sempat merasa bahwa penyambutan seorang Balotelli sedikit berlebihan. Bandingkan dengan apa yang terjadi saat pemain lain datang. Curva Sud bahkan rela untuk bentrok dengan polisi, Galliani bahkan bersedia melompat-lompat bersama Curva Sud yang menyerukan “Chi Non Salta Nerrazzuroe”. Tapi tampaknya tidak akan ada yang berlebihan jika Balo benar-benar mampu membuktikan siapa dirinya.
   Well, satu hal yang membuat miris. Kedatangan Balotelli harus berbarengan dengan kepergian Urby untuk sementara waktu ke barat daya kota London. Fulham Football Club. Ya, seorang Urby harus bermain di sana sampai akhir musim ini. Alasannya sederhana, ia ingin lebih banyak berada di tengah-tengah lapangan. Ya Urby, seorang pesepakbola yang cukup dekat dengan pengagum-pengagumnya. Seorang pesepakbola yang kerap membuat sebagian besar Milanisti merasa dekat dengan Milan karena apa yang dibagikannya di Twitter, seorang pesepakbola yang tidak pernah mengeluh walaupun jarang dimainkan, seorang pesepakbola yang pernah memberikan tiket gratis kepada Milanista asal Meksiko yang datang untuk menyaksikan laga persahabatan kontra Real Madrid di New York. Kadang aku berpikir, kenapa pesepakbola sebaik Urby harus hengkang dan pesepakbola sebengal Balotelli harus datang. Dan ya, Urby adalah pesepakbola yang baik. Pesepakbola yang baik pantas untuk lebih sering berada di lapangan dibandingkan duduk di bangku cadangan. Yea, he deserves anything better than this

Heartbreaking!
 Galliani tidak pernah berhenti memberi kejutan. Apa yang terjadi di hari terakhir justru menjadi hal yang paling melegakanku. Bartosz Salamon, gigantic centre back muda berumur 21 tahun berkebangsaan Polandia berhasil diboyong dari Brescia. Aku bersyukur karena Galliani paham betul dengan kebutuhan Milan akan centre back yang mumpuni. Ah, bicara apa aku? Tentu saja ia yang paling paham. Dan inilah sejumput drama yang terbungkus rapi dalam skenario bursa transfer musim dingin. Ada yang datang dan yang pergi. Ada yang bahagia dan kecewa. Tapi seperti yang aku katakan sebelumnya - bagian ini bukan klimaks, bagian ini bisa menjadi awal sekaligus akhir tergantung sepiawai apa para lakon memerankan adegan-adegan yang dibebankan untuknya. Ya, semoga saja ada senyum dan kebanggaan yang muncul sebagai reaksi dari happy ending yang bakal terjadi akhir musim ini. Dan lagi-lagi, Forza Magico Milan!
Read More

Friday, January 25, 2013

Nostalgia Angka 3

"There are very few Paolo Maldini’s in world football, much fewer than there ever has been." - Sam Lewis

Entah apa yang ada di dalam pikiranku pada 24 Januari 14 tahun yang lalu. Yang jelas aku hanya menurut sewaktu orang yang beberapa bulan setelah tanggal itu memulai kehidupannya yang baru mengajakku untuk menyaksikan salah satu tontonan yang tak berarti apapun bagi sebagian orang, namun pada akhirnya menjadi salah satu bagian besar buat hidupku. Jujur saja, pada awalnya aku membenci hal ini. Baiklah, mungkin tidak sebenci itu hanya tidak tertarik sama sekali. Entah karena karma atau cuma kebetulan atau memang sudah demikian jalannya, akhirnya aku mulai menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana menakjubkannya hal itu. Sebagian besar orang menyebut hal itu sepakbola, olahraga 90 menit yang melibatkan 2 tim dan beberapa orang lainnya. Awalnya aku juga berpendapat sama, namun lama kelamaan sepakbola bukan hanya menjadi sekedar olahraga dan tontonan buatku. Sepakbola tidak melulu berbicara soal permainan 90 menit ataupun berbagai aksi untuk memasukkan bola ke gawang lawan. Sepakbola pada akhirnya tumbuh dengan berbagai makna yang jujur, cukup kompleks untuk aku jabarkan. Yang jelas saat 90 menit itu berlangsung, aku tidak lagi merasa menjadi seorang penonton yang duduk diam di depan televisi. Atmosfer 90 menit itu menjadi sangat nyata, senyata rasa gurih keripik kentang yang menjadi teman selama pertandingan berlangsung, senyata omelan mama yang semakin menjadi karena melihat anak perempuannya lebih memilih untuk menonton sepakbola dibandingkan tayangan lain yang mungkin lebih cocok untuk anak perempuan, senyata rasa cemas yang kerap muncul saat pihak lawan mulai mendominasi pertandingan. 

This is football!
 Ada begitu banyak pahlawan lapangan hijau yang mampu membuatku melupakan rasa muak saat dituntut untuk selalu menjadi yang pertama di sekolah. Ya, di sekolah bukan di kelas. Fabio Cannavaro, Sinisa Mihajlovic, George Weah, Raul Gonzales, Le Tissier, Pavel Nedved, Alvaro Recoba, Robbie Fowler, Alan Shearer, Paolo Maldini, Zinadine Zidane, Dwight Yorke. Ah cukuplah, sebelum tulisan ini terlalu penuh dengan nama mereka. Namun nama ke-3 dari belakanglah yang paling memberikan pengaruh besar buatku. Di saat anak perempuan seusiaku yang lain sibuk berkhayal menjadi oh-so-fairytale-princess, aku justru terlalu sibuk berandai-andai bagaimana rasanya beraksi di lapangan hijau bersama dia yang mengenakan jersey merah-hitam bernomor punggung 3 itu. Sewaktu anak perempuan lain mengisi waktunya dengan bermain Barbie dan sejenisnya, aku mengisi waktu luang dengan bermain sepakbola di halaman rumah bersama teman-teman sekelas kakak (2 menit) laki-lakiku sambil mendengar teriakan mama yang menyuruhku untuk segera masuk ke dalam rumah. Sewaktu anak perempuan lainnya meminta baju baru sebagai hadiah ranking 1, aku meminta jersey merah-hitam lengkap dengan nama “Maldini” dan nomor punggung 3 sebagai hadiah. Orang yang aku mintai hanya tertawa, lalu mengiyakan setelah menceritakan permintaanku kepada seluruh teman kerjanya. Tidak ada alasan baginya untuk menolak, karena dia yang pertama kali membuatku melirik ke arah televisi saat laga 90 menit itu berlangsung. Toh, dia juga senang karena anak perempuannya juga menyukai apa yang dia sukai. Setidaknya dari sederetan catatan family time yang buruk, ada sedikit waktu-waktu manis yang sempat kami rasakan sendiri. Walaupun ternyata dia tak pernah sempat membuatku tertawa bangga saat mengenakan jersey bernomor punggung 3 itu, karena 3 hari setelahnya dia harus melanjutkan hidupnya yang baru. Ah, lagi-lagi angka 3.  

Paolo Maldini, the way I define how the class should be.
Aku bersyukur karena menjadi salah satu dari mereka yang menggilai sepakbola sejak tahun 90-an. Tahun di mana ada begitu banyak nama besar, tahun di mana Paolo Maldini semakin menunjukkan kualitasnya sebagai defender papan atas dari klub papan atas. Aku menjadi salah seorang yang paling berbahagia saat melihatnya berhasil memimpin Milan meraih scudetto musim 1998-1999. Gelar pertama yang aku lihat sebagai seorang pecandu sepakbola, gelar pertama yang aku lihat sebagai pengagum Il Capitano. 9 Agustus 2000, UEFA Champion League saat Milan harus menjamu Dinamo Zagreb – Maldini mempertontonkan salah satu tackle terbaik yang pernah aku lihat. Merebut bola dari seorang Bosko Balaban yang kala itu bersiap untuk menyerang and it just freezed him that way. Dan bayangkan sendiri apa yang aku rasakan saat melihatnya bertanding di laga final UEFA Champion League 2005, saat ia menjadi pencetak gol tercepat dan tertua karena hanya membutuhkan waktu 51 detik untuk membuat Rossoneri memimpin walaupun kalian juga paham bagaimana akhirnya. Zinadine Zidane, Diego Maradona, Ronaldo, Thierry Henry dan Rivaldo adalah sebagian kecil nama yang pernah merasakan sendiri the way he defended. I guess he made some best goals didn't look interesting by the way he defended. Belum lagi rasa bangga, haru dan respect saat membaca artikel tentang gelar "World Player of the Year" yang dianugerahkan World Soccer magazine untuknya, karena sampai musim panas tahun 1994 ia telah 3 kali mengangkat European Cup trophy dan memimpin Azzurri ke final Piala Dunia. Bukannya bermegah diri, saat itu ia malah membeberkan kekurangannya sebagai pesepakbola dan mempersembahkan gelar tersebut kepada Franco Baresi. Ah, legend.

We'll see ya!
 Buatku nama Paolo Maldini tidak melulu soal defender, tidak melulu soal Il Capitano ataupun legenda dengan sejumlah rekor yang belum terpecahkan. Contoh nyata dari sebuah loyalitas dan profesionalisme, bukti hidup dari sebuah kepemimpinan dan mental juara. Melihat penampilan terakhirnya dalam laga perpisahan yang berakhir dengan kemenangan 2-0 atas Fiorentina membuatku berpikir tentang apa yang sebenarnya membuat seorang Paolo Maldini terlalu istimewa jika dibandingkan dengan pesepakbola lainnya. Satu-satunya pesepakbola dengan kenangan personal yang membuatku feel so connected with someone really dear to me. Satu-satunya pesepakbola yang mampu mengalahkan imajinasi-imajinasi fairytale yang menjadi ciri khas anak perempuan seusiaku waktu itu, yang ada hanya imajinasi bagaimana luar biasanya saat berada di dalam satu lapangan yang sama dengannya atau paling tidak menontonnya bermain secara langsung. Ya, paling tidak menontonnya bermain secara langsung. Langsung, di tribun penonton, tanpa layar kaca, tanpa satelit. I want to feel that breathless moment when I see him shows his magical tackle. Dan semoga apa yang kudengar bukan hanya isapan jempol belaka. Semoga aku benar-benar sedang berada dalam hitungan hari sebelum menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana keajaiban seorang Paolo Maldini. Ya semoga, tapi kalaupun belum -  suatu saat pasti akan tiba waktunya.

PS: Hey, have you watched football too there? You have been missed, you have been loved.



Read More

Friday, January 18, 2013

A (Young) Man in the Number 2 Jersey

“The difference between ordinary and extraordinary is that little “extra”.” - Jimmy Johnson

Mungkin pada awalnya tulisan ini akan membuat kalian berpikir tentang betapa mudahnya mengagung-agungkan orang baru yang memberikan kesan pertama yang baik, bahkan sangat baik. Atau mungkin tulisan ini justru membuat kalian berpikir bahwa orang baru yang terlihat lebih baik memang ditakdirkan untuk mendepak orang-orang lama yang sudah kehilangan momentumnya. Apapun itu, tulisan ini tetap berbicara dalam satu koridor yang sama. Koridor yang selama ini telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup sekelompok orang. Koridor yang selama ini membuat sejumlah orang rela melakukan berbagai hal yang terkadang berada jauh di luar nalar atau logika. Tidak perlu penjelasan panjang lebar, kalian pasti lebih paham seperti apa koridor ini, kalian pasti jauh lebih paham apa yang dimaksud dengan sepakbola.
Orang baru yang aku maksud mungkin awalnya terlihat biasa saja. Muda, kurang pengalaman, mentah dan apapun itu. Tapi apa yang ia lakukan sejak debut pertamanya di lapangan hijau kelas utama membuatku sadar kalau judging before knowing is such something retarded. It’s beyond silly, it’s beyond stupid. It’s retarded. Aku percaya bukan hanya aku yang tertipu dengan pembawaan dan penampilannya yang cenderung kurang mumpuni sebagai seorang penjaga lini belakang. Entah bagaimana ceritanya, secara kasat mata aku selalu beranggapan bahwa pembawaan dan perawakan yang tegas dan keras adalah ciri khas paling tepat bagi seorang defender.
Mattia De Sciglio, 20 years old. He’s even too cute to be a defender. At least that’s what I thought before. Yea, judging. 28 September 2011 mungkin menjadi salah satu tanggal terpenting baginya. Walau tidak ada satupun stasiun televisi nasional yang menayangkan, laga melawan Viktoria Plzen sebagai salah satu rangkaian dari perhelatan UEFA Champion League merupakan debutnya sebagai bagian dari first team dan starter sekaligus. We started to watch you here. 10 April 2012, walau hanya bermain selama 15 menit cukup membuatku yakin kalau ia berhak untuk menjalani laga-laga berikutnya bersama Milan first team. Dan jujur saja, kadang aku tidak percaya kalau ia adalah seorang youngster. He plays more like a senator than a youngster

Too cute to be...

 Jersey bernomor punggung 2 bukan jersey sembarang jersey. Jersey ini penuh dengan sejarah. Salah satu dari mereka yang tergabung dalam the best backlines ever pernah mengenakannya selama 17 tahun, Mauro Tassotti kalau kalian lupa siapa orangnya. 6 tahun setelah Tassotti gantung sepatu, brilliant defender asal Brazil Marcos Evangelista de Moraes atau yang lebih dikenal dengan Cafu menjadi pewaris dari jersey keramat ini. 6 gelar juara yang dicapai Cafu serta musim-musim gemilangnya bersama Milan membuatku yakin kalau dia adalah salah satu pewaris yang pantas untuk menjadi another man in the number 2 jersey. Setelah Cafu mengakhiri musim-musimnya bersama Milan, jersey ini jatuh ke tangan seorang defender asal Brazil – Felipe Mattioni Rohde. Siapapun yang mengikuti sejarah pasti berharap kalau Mattioni dapat meneruskan kesakralan jersey ini. Namun kenyataan berbicara lain, 5 bulan bermain bersama Milan – Mattioni harus hengkang ke klub asal Spanyol, Mallorca. Taye Taiwo sebagai orang ketiga (yang bisa aku ingat) yang mengenakan jersey ini juga bernasib tidak terlalu berbeda dengan pendahulunya Mattioni. Tak sampai setahun defender asal Nigeria ini harus rela hijrah untuk sementara waktu ke Dynamo Kyiv dan menyerahkan jerseynya kepada Italian youngster, Mattia De Sciglio.
To be honest, I was being cynical when I saw this boy played in the number 2 jersey for the first time. Rasanya semacam tidak rela untuk menghadapi kenyataan kalau jersey ini akan kembali hidup tanpa sejarah. Meremehkan? Mungkin. Tapi apa yang dilakukan bocah berumur 20 tahun ini has turned to be boom in my face. Bukan hal yang berlebihan kalau Mauro Tassotti memutuskan untuk memberi perhatian ekstra padanya karena seperti yang aku ocehkan dalam tulisan sebelumnya, the way he controls the ball, the way he marks opponent strikers, the way he passes anything accurate – he definitely amazes everyone! And what highlighted, apa yang membuatnya menjadi lebih istimewa adalah sebuah kenyataan kalau Mattia De Sciglio merupakan produk unggul yang dihasilkan oleh Milan Youth Sector. 9 tahun menimba ilmu bersama skuad muda Rossoneri tampaknya menjadi bekal yang cukup baginya untuk menjadi another Milan spotlight. Berlebihan atau tidak, kalian yang menilai. Yang jelas saat dia bermain, harapan untuk memiliki the next Maldini, the next legend yang lahir, tumbuh, bersinar dan mengakhiri karirnya untuk Milan selalu muncul even getting bigger. Wake me up harshly if you think I’m dreaming too high. 

When the next hero fights a hero.

De Sciglio is an intelligent player who really uses his brains in the plays that he makes on the pitch. De Sciglio is also good at shooting. He prefers to use his right foot but he can also use his left foot. He’s already mature. He’s a great ability to learn and he applies himself 100%. I predict a great future for him.” Pujian yang seolah-olah mengandung rumus panjang kali lebar yang dilontarkan oleh seorang great left footed who was being focal the midfield di eranya – Alberigo Evani, semakin membuatku yakin kalau tidak ada alasan bagi kuartet Berlusconi-Galliani-Allegri-Tassotti untuk mencoret namanya dari Milan first team selama ia tetap membuktikan kualitasnya. Personally, apa yang dikatakan Evani soal kecerdasan dan kedewasaan De Sciglio dalam bersepakbola sudah cukup terbukti. Menurutku hanya pesepakbola cerdas yang mampu bermain dalam 3 posisi sekaligus. Sebagai pengingat, musim ini De Sciglio sudah bermain gemilang dalam 3 (bahkan ada yang menyebut 4) posisi yang berbeda. Right back, centre back and left back. Sedangkan kedewasaannya sebagai pesepakbola muda ditunjukkannya dalam penjagaan kualitas bermain. Pada sejumlah laga di mana rekan setimnya tampak lebih seperti meninabobokanku daripada fight on the pitch, De Sciglio tetap pada konsistensinya untuk menjadi the giant spotlight. Ladies and gents, he is a monster.

Beat that bitch down, Sciglio! Beat that bitch down!
 Well, aku tidak berusaha untuk mendepak mereka yang sudah lebih dulu berjuang untuk Milan dan mengagung-agungkan bintang muda baru atau melupakan konsep La Famiglia Milan. Tapi sekali lagi, tulisan ini berbicara dalam koridor sepakbola dengan segala hukum alamnya. Hukum alam yang tidak bisa berkompromi dengan kompetisi dan regenerasi. Andai saja sepakbola tidak hanya melibatkan sebelas pemain di lapangan hijau, mungkin ceritanya akan berbeda. Mungkin aksi “depak-mendepak” pemain yang kurang konsisten saat laga berlangsung tidak akan terjadi. Tapi apapun itu, yang jelas aku bersyukur karena oh-so-wise-quoteeveryday may not be good, but there’s something good in everyday” cukup terbukti. Ya, di antara daftar panjang kekecewaan tapi tetap tidak mampu membuatku berselingkuh dengan klub lain, aku harus tetap bersyukur karena at least there’s something that puts a smile in my weird face. And I guess De Sciglio is counted as that “something”. Sekali lagi mungkin kalian berpikir kalau aku bermimpi terlalu tinggi, terlalu muluk-muluk. But what-so-fuckin’-ever. Karena pada dasarnya aku sudah terlanjur bermimpi kalau one day I’ll tell my child or grandchild; You know what, Kid? I named you Sciglio for a man with that name showed me that being young isn’t a limit to zip every mouth that underestimated you. Grow up fast young man, be the next legend. Forza Milan and hail the "brondong"!
Read More

Sunday, December 9, 2012

Another Day, Another Us, Another Glorious Time

“I never cry about what I don't have. I'm always positive. I am happy with the team I have and I am confident that we can do well.” - Fabio Capello

Time flies so fast, but all the memories remain. What memories can do, it feels so weird sometimes. How they can bring us into the very special past, how they can strengthen us even though in the worst time. They bring us a hope, a hope that no matter how awful this time there will be the time for us to hit another glorious time.

Something we need to cherish, something we need to remember but not to stay at.

Hall of fame, these men are there. The incredible men who played to guard the squad on the pitch during every single match, the incredible men who kept a man under the crossbar safe, the incredible men who became the parts of Gli Immortali Milan. I was a baby that time, knew nothing about football and its most beautiful thing-Milan. But no matter how young I am as a Milanista, what they did to keep Milan pride higher has traveled me back into that time. Ah, I’ve worshiped that time. I’ve adored its achievements.
Tassotti, Costacurta, Baresi and Maldini. They are those incredible men who I meant. Thank God for Berlusconi, thank God for the young visionary coach, Arrigo Sacchi. Milan came to be the most powerful team with one of the greatest and the most balance backlines all the times. They’re miracles for football.
Came after the rejection from Internazionale, Baresi grew up to be one of the school defending head masters. During his career he proved the world how inexorable his self, the real antidote to the goal scoring phenomenon that the Italian football has ever created. Nothing compares to him if we talk about how to read and organize the game. His signature speed was something Milan and Azzuri backlines need, something that made him never putted a foot wrong in every single match.
Costacurta is another story. Milan’s twenty years history, a fancy face multitasking defender. Costacurta is such a central defender, but whenever needed he can fight on the right flank too. Time machine brought me to 19 May 2007, the time when he made his first goal since 3 November 1991. The time when his teammates entered the pitch wearing his jersey, the time when I could clearly hear how mighty Curva Sud presented him a standing ovation. Incredible touching farewell though they still had to swallow a bitter pill.

Remember about this blessing?

And then we had a man named Tassotti on the right. A man who became one of the symbols of versatility for he also could play as a centre back if situation called him for it. The irreplaceable one on the prestigious Milan defense. This Dijalma Santos has described how the loyalty should be. He has wrapped up 32 years service to Milan, both as a player and coach assistant. Want to beat it, people?
Paolo Maldini. I wish God forgives them who claim themselves as football addict but know nothing about this name. The greatest respect belongs to him for something called as the real loyalty. In his blasting career during a quarter of century, Paolo Maldini has hugged 7 Scudetto titles, 5 Champion League, 5 Coppa Italia and 5 Supercoppa trophies. 25 years with the same jersey, surely the world has been wonderstruck. Imagine it while you think of how fast some current players move just because of the money, just because of glory hunter mentality. He served Milan backline by his confidence on marking opponent strikers. He served Milan by his class. I still remember how he walked and congratulated Steven Gerrard after the worst day of his career, Champion League 2005. He told Gerrard that he would back to grab it again. I believe that lips service doesn’t belong to a gentleman. And voila, two years later he proved it. He lifted his 5th Champion League trophy after beat Liverpool and so far it has been my most classy football moment ever.
History is history. It’s such the great place to look at to but not to stay. What we have now maybe hasn’t been as powerful as what we had yet. Maybe they are still young, lack of experience, raw or even underestimated. But if we want to be honest, a thousand pair of eyes is looking at them now. That 20 years old right back, Mattia De Sciglio. Sometimes I can’t believe that he’s a youngster. He becomes freakin beast on the pitch, plays more like a senator than a junior. Together with Stephan El Ballon d’Or make the glittery breakthrough, such the perfect combination to zip every mouth, fascinating combination to surprise the world. The way he controls the ball, the way he marks opponent strikers, the way he passes anything accurate – they absolutely convince me that God bless us by an existence of the new generation of Mauro Tassotti. 

Stay with us, Kiddo. Stay with us.

Kevin Constant is the most capable one on the left side. He becomes something boom in face of everyone who sharpened his eyes when he wore red and black jersey for the first time. I couldn’t imagine how our Milan vs Juventus in the 83rd would be, if there was no him. He stopped Vucinic more than Chuck Norris stopped Optimus Prime, in my wildest imagination for sure. It took me breathless for a second and then I decided to take a breath normally because I didn’t want to die before people know him as the world’s class footballer. I wish you still remember what he did when Milan fought against Napoli. In around 36th or 37th, he created a brilliant stop on Cavani. I still remember what I felt to watch Cavani was iced by his stop. He was like a boss, a killer boss. It’s true that many people underestimated him. I know it, football is that cruel. But you can call me weird or anything for since his-waiting-patiently-on-the-bench-periods, I’ve believed by myself that Constant will be constantly damn good for Milan. Damn good? Oh, that’s so cheesy. What about damn deadly? Too horrible maybe, but someone like him deserves more than something damn good.

Who said a newbie in red and black jersey can't be superb insane?

Take a look who stand on the center and we’ll find Acerbi and Zapata. Frankly saying, I’ve gotten some virtual abuses for have defended these gentlemen so much. Acerbi claimed that he has always been a Milanista. Imagine it, people. Imagine how it feels for finally you can play for a club that you’ve rooted for, imagine how it feels for finally you wear a jersey not as a fan but as a part of squad. Imagine how magical it is. And I guess that’s what Acerbi has felt lately. Not only pride, happiness, tears of joy – burden and responsibility are on his shoulders now. His debut maybe wasn’t as brilliant as we expected. Maybe he got you disappointed because of his debut, because you thought that he is not the fast one, he doesn’t deserve to wear that sacral number. All I can suggest is, remember about Nesta or even Franco Baresi. Were they that fast? They weren’t the fast defenders, but the best thing about them is how to read and organize the game. And hello, Acerbi finally also opened some eyes and shut some mouths up. Our conceded moments at Catania vs Milan and Milan vs Zenit perhaps could be his errors. Perhaps, for to be honest I’m not sure about it too. But I guess he’s not kind of men with no responsibility. He paid his errors. When played against Catania, he made a superb save in around 30th. Together with Constant who became the genius one on the left, he turned to be so solid and confident. Statistic even showed that he made 17 clearances while a man with superhuman goal just 8. Few days ago San Siro and its guest-Zenit also became witnesses of his fascinating potential. His oh-so-dropdead-genius cuts surprised me many times. He made the esque-run like Thiago Silva and became huge when he helped our forwarders in attacking during the last minutes.
            Zapata is another treasure. This Columbian one is fast, tough, brave to get forward but deft whenever he needs to get back. A defender with natural defense skill, someone we need to keep Mr. Goalkeeper calm and safe. Rare to be on the pitch wasn’t being a reason for him to be low. Bench was just a waiting room for him, a waiting room before he got the right time to be sparkle. And he just did it. He became outstanding when he fought against his former club, Udinese. Made some classy save and necessary tackle. He ran that fast like no one could stop him and above all, he cleaned the mess up. Similar with Mr. Fransesco So Genuine Acerbi, San Siro got a real prove how worthy this man. I think Hulk wasn’t too Hulk that night for our El Mogo showed his magic. 

To open some eyes, to shut some mouths up.

            Yes, I know it exactly. In football we can’t stamp a player fabulous just based on 2 or 3 matches. I know in football, consistence is a must and I know it’s still too early to say that they’re fabulous worthy footballers for Milan. But you know what, people? There’s a tiny little thing before a big thing. There will be no a quarter of century matches without 2 or 3 matches. I know how we miss Maldini or if you want to get more modern, I know how we need Nesta and Silva now. But just like Baresi said, “You can't compare those days with now.” Yes, those days are different from now. Maybe it’d be more relieving for us if we still had a combination of Tassotti-Costacurta-Baresi-Maldini. But football isn’t something static, it’s something dynamic. Just like in life, in football we can’t be stuck at the same time. We’ll be so pathetic if we just moan and ask the same men to save us.
            It’s true that we can’t grab those immortali men on the back line or maybe there’ll be no the next them anymore, but what I wish is we’ll have more than them. Sciglio-Acerbi-Zapata-Constant (or another name if you don’t agree with it) haven’t been as superpower as them yet, but I have had faith in them. Faith that one day they or at least some of them will be the next legends who wear red and black jerseys. Faith that their names will be cheered proudly, faith that Curva Sud will make a touching standing ovation at their farewells, faith that they will be legends for Milan and football.

Call me crazy, lame, weird or pathetic. But this waiting is only for you, Milan. Well, screw me.
            
             Wait, believe and see though it’s still too long. I know it seems a little bit too much, but as the same as the fact that Mexes could make that worth remembering for a lifetime bicycle kick goal, as the same as the fact that El Shaarawy became a haircut trendsetter for the entire Milan, as the same as the fact that next summer Ambrosini has to spend much money on any Caribbean stuff, as the same as the fact that we have qualified for UCL 2012 next round, as the same the fact that no matter how horrible Milan now, I’m still in love with them – nothing is impossible in football. Yea, so what about to wait, believe and see? Then one day we’ll tell our children even grandchildren that we still have another glorious time, we still have another legend.
Read More
anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena