“The difference between ordinary and
extraordinary is that little “extra”.” - Jimmy Johnson
Mungkin
pada awalnya tulisan ini akan membuat kalian berpikir tentang betapa mudahnya
mengagung-agungkan orang baru yang memberikan kesan pertama yang baik, bahkan
sangat baik. Atau mungkin tulisan ini justru membuat kalian berpikir bahwa
orang baru yang terlihat lebih baik memang ditakdirkan untuk mendepak
orang-orang lama yang sudah kehilangan momentumnya. Apapun itu, tulisan ini
tetap berbicara dalam satu koridor yang sama. Koridor yang selama ini telah
menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup sekelompok orang. Koridor
yang selama ini membuat sejumlah orang rela melakukan berbagai hal yang
terkadang berada jauh di luar nalar atau logika. Tidak perlu penjelasan panjang
lebar, kalian pasti lebih paham seperti apa koridor ini, kalian pasti jauh
lebih paham apa yang dimaksud dengan sepakbola.
Orang
baru yang aku maksud mungkin awalnya terlihat biasa saja. Muda, kurang pengalaman,
mentah dan apapun itu. Tapi apa yang ia lakukan sejak debut pertamanya di
lapangan hijau kelas utama membuatku sadar kalau
judging before knowing is such something retarded. It’s beyond silly, it’s
beyond stupid. It’s retarded. Aku percaya bukan hanya aku yang tertipu
dengan pembawaan dan penampilannya yang cenderung kurang mumpuni sebagai
seorang penjaga lini belakang. Entah bagaimana ceritanya, secara kasat mata aku
selalu beranggapan bahwa pembawaan dan perawakan yang tegas dan keras adalah ciri
khas paling tepat bagi seorang defender.
Mattia
De Sciglio, 20 years old. He’s even too
cute to be a defender. At least that’s what I thought before. Yea, judging.
28 September 2011 mungkin menjadi salah satu tanggal terpenting baginya. Walau
tidak ada satupun stasiun televisi nasional yang menayangkan, laga melawan Viktoria Plzen sebagai salah satu rangkaian
dari perhelatan UEFA Champion League merupakan debutnya sebagai bagian dari first team dan starter sekaligus. We started
to watch you here. 10 April 2012, walau hanya bermain selama 15 menit cukup
membuatku yakin kalau ia berhak untuk menjalani laga-laga berikutnya bersama Milan first team. Dan jujur saja, kadang aku tidak percaya kalau ia
adalah seorang youngster. He plays more like a senator than a
youngster.
Too cute to be... |
Jersey bernomor punggung 2 bukan jersey sembarang jersey.
Jersey ini penuh dengan sejarah. Salah satu
dari mereka yang tergabung dalam the best
backlines ever pernah mengenakannya selama 17 tahun, Mauro Tassotti kalau
kalian lupa siapa orangnya. 6 tahun setelah Tassotti gantung sepatu, brilliant defender asal Brazil Marcos
Evangelista de Moraes atau yang lebih dikenal dengan Cafu menjadi pewaris dari
jersey keramat ini. 6 gelar juara yang dicapai Cafu serta musim-musim
gemilangnya bersama Milan
membuatku yakin kalau dia adalah salah satu pewaris yang pantas untuk menjadi another man in the number 2 jersey.
Setelah Cafu mengakhiri musim-musimnya bersama Milan,
jersey ini jatuh ke tangan seorang defender
asal Brazil
– Felipe Mattioni Rohde. Siapapun yang mengikuti sejarah pasti berharap kalau
Mattioni dapat meneruskan kesakralan jersey ini. Namun kenyataan berbicara
lain, 5 bulan bermain bersama Milan – Mattioni
harus hengkang ke klub asal Spanyol, Mallorca.
Taye Taiwo sebagai orang ketiga (yang bisa aku ingat) yang mengenakan jersey ini juga bernasib tidak
terlalu berbeda dengan pendahulunya Mattioni. Tak sampai setahun defender asal Nigeria
ini harus rela hijrah untuk sementara waktu ke Dynamo Kyiv
dan menyerahkan jerseynya kepada Italian
youngster, Mattia De Sciglio.
To be honest, I was being cynical when I saw
this boy played in the number 2 jersey for the first time. Rasanya semacam
tidak rela untuk menghadapi kenyataan kalau jersey ini akan kembali hidup tanpa
sejarah. Meremehkan? Mungkin. Tapi apa yang dilakukan bocah berumur 20 tahun
ini has turned to be boom in my face. Bukan
hal yang berlebihan kalau Mauro Tassotti memutuskan untuk memberi perhatian
ekstra padanya karena seperti yang aku
ocehkan dalam tulisan sebelumnya, the way
he controls the ball, the way he marks opponent strikers, the way he passes
anything accurate – he definitely amazes everyone! And what highlighted, apa yang membuatnya menjadi lebih istimewa
adalah sebuah kenyataan kalau Mattia De Sciglio merupakan produk unggul yang
dihasilkan oleh Milan Youth Sector. 9 tahun menimba ilmu bersama skuad muda
Rossoneri tampaknya menjadi bekal yang cukup baginya untuk menjadi another Milan spotlight. Berlebihan atau tidak,
kalian yang menilai. Yang jelas saat dia bermain, harapan untuk memiliki the next Maldini, the next legend yang
lahir, tumbuh, bersinar dan mengakhiri karirnya untuk Milan selalu muncul even getting bigger. Wake me up harshly if
you think I’m dreaming too high.
When the next hero fights a hero. |
“De Sciglio is an intelligent player who
really uses his brains in the plays that he makes on the pitch. De Sciglio is
also good at shooting. He prefers to use his right foot but he can also use his
left foot. He’s already mature. He’s a great ability to learn and he applies
himself 100%. I predict a great future for him.” Pujian yang seolah-olah
mengandung rumus panjang kali lebar yang dilontarkan oleh seorang great left
footed who was being focal the midfield di eranya – Alberigo Evani, semakin membuatku
yakin kalau tidak ada alasan bagi kuartet Berlusconi-Galliani-Allegri-Tassotti
untuk mencoret namanya dari Milan first team selama ia tetap
membuktikan kualitasnya. Personally, apa yang dikatakan Evani soal kecerdasan
dan kedewasaan De Sciglio dalam bersepakbola sudah cukup terbukti. Menurutku
hanya pesepakbola cerdas yang mampu bermain dalam 3 posisi sekaligus.
Sebagai pengingat, musim ini De Sciglio sudah bermain gemilang dalam 3 (bahkan ada yang menyebut 4) posisi
yang berbeda. Right back, centre back and left back. Sedangkan kedewasaannya sebagai
pesepakbola muda ditunjukkannya dalam penjagaan kualitas bermain. Pada
sejumlah laga di mana rekan setimnya tampak lebih seperti meninabobokanku
daripada fight on the pitch, De
Sciglio tetap pada konsistensinya untuk menjadi the giant spotlight. Ladies
and gents, he is a monster.
Beat that bitch down, Sciglio! Beat that bitch down! |
Well, aku tidak berusaha untuk mendepak
mereka yang sudah lebih dulu berjuang untuk Milan dan mengagung-agungkan bintang muda baru
atau melupakan konsep La Famiglia Milan.
Tapi sekali lagi, tulisan ini berbicara dalam koridor sepakbola dengan segala
hukum alamnya. Hukum alam yang tidak bisa berkompromi dengan kompetisi dan
regenerasi. Andai saja sepakbola tidak hanya melibatkan sebelas pemain di
lapangan hijau, mungkin ceritanya akan berbeda. Mungkin aksi “depak-mendepak”
pemain yang kurang konsisten saat laga berlangsung tidak akan terjadi. Tapi apapun
itu, yang jelas aku bersyukur karena oh-so-wise-quote
“everyday may not be good, but there’s
something good in everyday” cukup terbukti. Ya, di antara daftar panjang
kekecewaan tapi tetap tidak mampu membuatku berselingkuh dengan klub lain, aku
harus tetap bersyukur karena at least
there’s something that puts a smile in my weird face. And I guess De Sciglio is
counted as that “something”. Sekali lagi mungkin kalian berpikir kalau aku
bermimpi terlalu tinggi, terlalu muluk-muluk. But what-so-fuckin’-ever. Karena pada dasarnya aku sudah terlanjur
bermimpi kalau one day I’ll tell my child
or grandchild; “You know what, Kid? I named you Sciglio for a man with that name showed
me that being young isn’t a limit to zip every mouth that underestimated you.”
Grow up fast young man, be the next
legend. Forza Milan and hail the "brondong"!
owhhhh so sweet note from Scigli mommy wannabe :))
ReplyDeleteAwww.. Thank you for stopping by, Yess! :D
ReplyDelete