Friday, January 18, 2013

A (Young) Man in the Number 2 Jersey

“The difference between ordinary and extraordinary is that little “extra”.” - Jimmy Johnson

Mungkin pada awalnya tulisan ini akan membuat kalian berpikir tentang betapa mudahnya mengagung-agungkan orang baru yang memberikan kesan pertama yang baik, bahkan sangat baik. Atau mungkin tulisan ini justru membuat kalian berpikir bahwa orang baru yang terlihat lebih baik memang ditakdirkan untuk mendepak orang-orang lama yang sudah kehilangan momentumnya. Apapun itu, tulisan ini tetap berbicara dalam satu koridor yang sama. Koridor yang selama ini telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hidup sekelompok orang. Koridor yang selama ini membuat sejumlah orang rela melakukan berbagai hal yang terkadang berada jauh di luar nalar atau logika. Tidak perlu penjelasan panjang lebar, kalian pasti lebih paham seperti apa koridor ini, kalian pasti jauh lebih paham apa yang dimaksud dengan sepakbola.
Orang baru yang aku maksud mungkin awalnya terlihat biasa saja. Muda, kurang pengalaman, mentah dan apapun itu. Tapi apa yang ia lakukan sejak debut pertamanya di lapangan hijau kelas utama membuatku sadar kalau judging before knowing is such something retarded. It’s beyond silly, it’s beyond stupid. It’s retarded. Aku percaya bukan hanya aku yang tertipu dengan pembawaan dan penampilannya yang cenderung kurang mumpuni sebagai seorang penjaga lini belakang. Entah bagaimana ceritanya, secara kasat mata aku selalu beranggapan bahwa pembawaan dan perawakan yang tegas dan keras adalah ciri khas paling tepat bagi seorang defender.
Mattia De Sciglio, 20 years old. He’s even too cute to be a defender. At least that’s what I thought before. Yea, judging. 28 September 2011 mungkin menjadi salah satu tanggal terpenting baginya. Walau tidak ada satupun stasiun televisi nasional yang menayangkan, laga melawan Viktoria Plzen sebagai salah satu rangkaian dari perhelatan UEFA Champion League merupakan debutnya sebagai bagian dari first team dan starter sekaligus. We started to watch you here. 10 April 2012, walau hanya bermain selama 15 menit cukup membuatku yakin kalau ia berhak untuk menjalani laga-laga berikutnya bersama Milan first team. Dan jujur saja, kadang aku tidak percaya kalau ia adalah seorang youngster. He plays more like a senator than a youngster

Too cute to be...

 Jersey bernomor punggung 2 bukan jersey sembarang jersey. Jersey ini penuh dengan sejarah. Salah satu dari mereka yang tergabung dalam the best backlines ever pernah mengenakannya selama 17 tahun, Mauro Tassotti kalau kalian lupa siapa orangnya. 6 tahun setelah Tassotti gantung sepatu, brilliant defender asal Brazil Marcos Evangelista de Moraes atau yang lebih dikenal dengan Cafu menjadi pewaris dari jersey keramat ini. 6 gelar juara yang dicapai Cafu serta musim-musim gemilangnya bersama Milan membuatku yakin kalau dia adalah salah satu pewaris yang pantas untuk menjadi another man in the number 2 jersey. Setelah Cafu mengakhiri musim-musimnya bersama Milan, jersey ini jatuh ke tangan seorang defender asal Brazil – Felipe Mattioni Rohde. Siapapun yang mengikuti sejarah pasti berharap kalau Mattioni dapat meneruskan kesakralan jersey ini. Namun kenyataan berbicara lain, 5 bulan bermain bersama Milan – Mattioni harus hengkang ke klub asal Spanyol, Mallorca. Taye Taiwo sebagai orang ketiga (yang bisa aku ingat) yang mengenakan jersey ini juga bernasib tidak terlalu berbeda dengan pendahulunya Mattioni. Tak sampai setahun defender asal Nigeria ini harus rela hijrah untuk sementara waktu ke Dynamo Kyiv dan menyerahkan jerseynya kepada Italian youngster, Mattia De Sciglio.
To be honest, I was being cynical when I saw this boy played in the number 2 jersey for the first time. Rasanya semacam tidak rela untuk menghadapi kenyataan kalau jersey ini akan kembali hidup tanpa sejarah. Meremehkan? Mungkin. Tapi apa yang dilakukan bocah berumur 20 tahun ini has turned to be boom in my face. Bukan hal yang berlebihan kalau Mauro Tassotti memutuskan untuk memberi perhatian ekstra padanya karena seperti yang aku ocehkan dalam tulisan sebelumnya, the way he controls the ball, the way he marks opponent strikers, the way he passes anything accurate – he definitely amazes everyone! And what highlighted, apa yang membuatnya menjadi lebih istimewa adalah sebuah kenyataan kalau Mattia De Sciglio merupakan produk unggul yang dihasilkan oleh Milan Youth Sector. 9 tahun menimba ilmu bersama skuad muda Rossoneri tampaknya menjadi bekal yang cukup baginya untuk menjadi another Milan spotlight. Berlebihan atau tidak, kalian yang menilai. Yang jelas saat dia bermain, harapan untuk memiliki the next Maldini, the next legend yang lahir, tumbuh, bersinar dan mengakhiri karirnya untuk Milan selalu muncul even getting bigger. Wake me up harshly if you think I’m dreaming too high. 

When the next hero fights a hero.

De Sciglio is an intelligent player who really uses his brains in the plays that he makes on the pitch. De Sciglio is also good at shooting. He prefers to use his right foot but he can also use his left foot. He’s already mature. He’s a great ability to learn and he applies himself 100%. I predict a great future for him.” Pujian yang seolah-olah mengandung rumus panjang kali lebar yang dilontarkan oleh seorang great left footed who was being focal the midfield di eranya – Alberigo Evani, semakin membuatku yakin kalau tidak ada alasan bagi kuartet Berlusconi-Galliani-Allegri-Tassotti untuk mencoret namanya dari Milan first team selama ia tetap membuktikan kualitasnya. Personally, apa yang dikatakan Evani soal kecerdasan dan kedewasaan De Sciglio dalam bersepakbola sudah cukup terbukti. Menurutku hanya pesepakbola cerdas yang mampu bermain dalam 3 posisi sekaligus. Sebagai pengingat, musim ini De Sciglio sudah bermain gemilang dalam 3 (bahkan ada yang menyebut 4) posisi yang berbeda. Right back, centre back and left back. Sedangkan kedewasaannya sebagai pesepakbola muda ditunjukkannya dalam penjagaan kualitas bermain. Pada sejumlah laga di mana rekan setimnya tampak lebih seperti meninabobokanku daripada fight on the pitch, De Sciglio tetap pada konsistensinya untuk menjadi the giant spotlight. Ladies and gents, he is a monster.

Beat that bitch down, Sciglio! Beat that bitch down!
 Well, aku tidak berusaha untuk mendepak mereka yang sudah lebih dulu berjuang untuk Milan dan mengagung-agungkan bintang muda baru atau melupakan konsep La Famiglia Milan. Tapi sekali lagi, tulisan ini berbicara dalam koridor sepakbola dengan segala hukum alamnya. Hukum alam yang tidak bisa berkompromi dengan kompetisi dan regenerasi. Andai saja sepakbola tidak hanya melibatkan sebelas pemain di lapangan hijau, mungkin ceritanya akan berbeda. Mungkin aksi “depak-mendepak” pemain yang kurang konsisten saat laga berlangsung tidak akan terjadi. Tapi apapun itu, yang jelas aku bersyukur karena oh-so-wise-quoteeveryday may not be good, but there’s something good in everyday” cukup terbukti. Ya, di antara daftar panjang kekecewaan tapi tetap tidak mampu membuatku berselingkuh dengan klub lain, aku harus tetap bersyukur karena at least there’s something that puts a smile in my weird face. And I guess De Sciglio is counted as that “something”. Sekali lagi mungkin kalian berpikir kalau aku bermimpi terlalu tinggi, terlalu muluk-muluk. But what-so-fuckin’-ever. Karena pada dasarnya aku sudah terlanjur bermimpi kalau one day I’ll tell my child or grandchild; You know what, Kid? I named you Sciglio for a man with that name showed me that being young isn’t a limit to zip every mouth that underestimated you. Grow up fast young man, be the next legend. Forza Milan and hail the "brondong"!

2 comments:

anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena