Bittersweet Footy Script

Wednesday, August 6, 2014

Mau

Aku mau berbagi cerita,
cerita sepulang kerja.
Kerja sehari semalam, seminggu dua minggu sambil menunggu ajal.

Aku mau menjelajah cerita,
cerita perempuan yang mengemis waktu.
Waktu yang tak bisa kembali walau ia sibuk memaki.
Memaki sampai mengantuk, mengantuk sampai tertidur pulas.
Pulas, sampai lupa untuk bercerita.

Aku mau memaki cerita,
cerita yang tak kunjung selesai.


Bandung, 6 Augustus 2014
Read More

Tuesday, July 29, 2014

Belakangan

Belakangan aku semakin merasa aneh. Aneh karena semakin menyadari kalau aku mulai jenuh menjadi orang aneh. Dulu aku selalu bangga saat dicap aneh, tapi akhir-akhir ini aku ingin hidup normal. Tak membutuhkan kejutan di sana-sini. Tak perlu yang aneh-aneh. Tak jarang pula aku mendapati aku yang gerah dengan orang-orang yang melihatku dengan aneh. Rasanya aku mulai muak dengan ambisi untuk menjadi orang yang benar-benar berbeda. Atau barangkali aku hanya menyadari kalau aku menjadi orang aneh yang dibuat-buat, berusaha terlalu keras untuk menutupi apa-apa yang sebenarnya tak pernah bisa aku dapatkan.

Belakangan aku semakin cepat muak. Aku muak saat berpikir soal tulisan, aku muak saat menulis. Muak pula saat menunggu tulisanku diangkat. Padahal aku sudah punya kolom sendiri. Padahal editorku bilang aku pantas punya akun di media sosial yang menjadi wadah para pembaca tulisan-tulisanku mengumbar puja-puji atau sekadar menyapa. Belum lagi pimpinan portal tempat aku menulis yang berkata kalau mereka beruntung memiliki penulis sepertiku. Ah, belakangan aku semakin sulit membedakan pujian dan olok-olok.

Belakangan aku ingin menyiram muka satu-dua-tiga orang dengan campuran cuka, garam, dan potongan cabai rawit. Aku muak juga. Entah apa salah orang yang tak mau kusebutkan namanya. Bolehlah mereka tak suka dengan tulisannya. Bolehlah mereka bilang buku yang berisi tulisan-tulisan lamanya sebagai sampah belaka. Boleh, toh, itu hak mereka. Bolehlah mereka bilang kalau subyektivitas itu tak ada. Kalau ada, tak akan mungkin ada penghargaan sastra. Tapi, bukankah satu orang dari mereka juga menulis buku yang serupa? Lantas, mengapa tak dibilang sampah? Tunggu, ini bukan perkara hutang budi. Ini hanya menyoal aku yang mulai meragukan frasa "adil sejak dalam pikiran" yang termahsyur itu.

Belakangan aku sering bertindak konyol. Bermain perasaan dengan laki-laki yang usianya lebih muda tiga tahun, tidak suka membaca, tidak tertarik pada sepak bola, tidak pernah berharap untuk bisa menulis. Laki-laki yang seperti laki-laki lainnya. Menyukai sepatu bermerek, pekerja kantoran, suka pening bila melihat perempuan cantik, lupa daratan jika sedang mengulik lagu. 

Belakangan aku semakin sering mengkhianati kesepakatan yang kubuat dengan diri sendiri untuk tak bermain-main dengan laki-laki membosankan seperti itu. Melupakan mereka yang menulis, tergila-gila pada sejarah, menggilai pesona sepak bola, mengacuhkan mobil-mobil mewah lantas memberikan perhatian lebih kepada buku-buku langka. Bahkan, belakangan aku semakin tak bosan pada herosime tahi kucing. Membelanya mati-matian, mengusahakan apa-apa yang paling baik buatnya.

Belakangan aku semakin merasa tak nyaman. Belakangan aku semakin sering rindu. Ah, sontoloyo.

Read More

Saturday, May 3, 2014

Sembilan: Tentang Buku-Buku yang Kubaca - Tiga yang Pertama

Tidak semuanya buku baru, bahkan di antaranya ada beberapa yang kubaca ulang. Sekadar rindu sambil sedikit menguji apakah pendapat pertama sama dengan yang kedua. Jadi, ini adalah tiga yang  pertama dari sembilan buku yang belakangan aku selesaikan – selesai kubaca tentunya - nanti, kapan-kapan, akan kutulis sendiri bukuku.

1.    Lorca: Memoar Penjahat Tak Dikenal – Sihar Ramses Simatupang

Kata mendiang Pram tentang buku ini; “Berbobot! Karena isinya sarat dengan kejadian, tidak mengada-ada. Bobotnya pada perjalanan pribadi, tidak kosong, belajar pada lingkungan hidup. Juga tidak menarik kesimpulan sembarangan!”

Jujur saja, kalimat mendiang Pram ini yang mendorongku untuk membeli buku yang satu ini saat menghadiri bazar buku di Perpustakaan Kota Kediri. Waktu itu aku masih tinggal di Kediri. Demi apapun, aku rindu nasi pecalnya! Pikirku waktu itu; “Siapa Sihar ini?” Namanya pun belum pernah kudengar. Ah, dungunya.

Ia bercerita tentang Lorca dan mengambil latar kehidupan wilayah Indonesia Timur yang keras. Seperti berada di sarang mafia. Kehidupan yang tak lazim, yang pikirku hanya ada di film-film. Tunggu, tentu saja ini kisah fiksi.

Jadi, Lorca adalah laki-laki yang mungkin menjadi penjahat kelas kakap karena memang dididik untuk menjadi penjahat. Bukan didikan laiknya sekolah-sekolah formal. Ia dididik oleh keluarganya yang tak mau tahu dengan dia dan saudara-saudaranya, ia dididik oleh egosentris orang-orang. Yang penting dirinya sendiri, masa bodoh orang lain mau mati atau hidup. Pikirku, itu latar belakang psikologis yang ada dalam buku ini. Ada miris yang tak dibuat-buat saat membaca bagaimana Sihar menggambarkan tokoh Lorca. Namun di atas segalanya, ada semacam hal tak kasat mata yang membuatku mengutuki apapun yang aku anggap menggangguku waktu itu.

Bukannya berusaha menjadi satu dengan cerita di dalamnya. Ketahuilah, buatku kalau hal itu terjadi, aku pikir tak akan ada tindakan yang lebih hiperbolis jika dibandingkan dengannya. Namun perihal membaca, tak ada kenikmatan yang melebihi nikmatnya membaca buku dengan latar peristiwa yang mirip. Aku bilang mirip karena bukan bentuknya yang sama, tapi prinsip.

Jadi, aku ikut merutuk; “Mampus,” saat membaca bagaimana Lorca menghabisi nyawa sejumlah orang. “Jancuk,” saat membaca bagaimana Lorca meninggalkan mantan pengemis yang menjelma menjadi pelacur – perempuan yang sebenarnya menjadi cinta pertamanya waktu remaja. Aku ikut bergidik ngeri bercampur jijik saat membaca bagaimana Lorca dan pelacur tadi bersenggama, mempersetankan nanah, keringat dan apapun yang menjadi bagian dari diri mereka kala itu.

Jika salah seorang kritikus sastra meyakini bahwa novel ini adalah cerita tentang dunia maskulin, bagiku lebih dari itu. Buatku ini cerita tentang dunia manusia. Manusia yang sebenar-benarnya. Manusia yang terkadang memutuskan untuk menjadi keji karena tak mau lagi diperlakukan keji oleh hidup. Aku juga berpikir, jangan-jangan Lorca dan kehidupannya adalah potret nyata tentang secuil bagian dari yang disebut-sebut oleh mendiang Pram sebagai Bumi Manusia.

Mungkin nama-nama tokoh atau gambaran kejadian yang ada di dalamnya tak seperti yang kerap kita lihat di negeri ini. Tapi pikirku, inilah kelemahan imajinasi atau bahkan, kelemahan tulisan-tulisan populer yang belakangan menyerbu dunia sastra negeri ini.

Selayaknya karya fiksi, tentulah imajinasi berperan di dalamnya. Namun terpikirkankah oleh kita bahwa ada kejadian-kejadian yang memang tak tertangkap publikasi, yang tak tertulis dalam sejumlah karya?

Aku pikir Lorca adalah tentang hal-hal ini. Di satu sisi, ia membawaku kepada dunia imajinasi yang tak terpikirkan sebelumnya. Namun di sisi lain, ia begitu menyadarkanku dari rayuan dan nina bobo sastra-sastra populer. Karya-karya di mana penulislah yang dikendalikan oleh tokoh-tokoh yang diciptakannya. Mereka membiarkan diri saat tokoh-tokoh tadi memaksa mereka untuk menghindari absurditas. Mereka pasrah-pasrah saja saat digiring oleh hantu berwujud ketakutan tak ada yang mau membaca tulisan mereka.

Sebagai catatan, beberapa hari setelah membaca buku ini, aku berbincang secara virtual dengan Sihar. Aku memanggilnya dengan sebutan Bang Sihar. Dalam percakapan kami, dia sendiri terheran-heran mengapa aku bisa sampai membeli dan membaca buku ini. Pertanyaan yang justru membuatku tak kalah heran. Pikirku, mana ada penulis yang heran saat orang lain membaca karyanya. Ternyata, Bang Sihar mengaku kalau penerbitnya sendiri pun tak mempublikasikan buku ini. Tak niat, pikirku. Tak heran pula saat menyadari bahwa proses penyuntingan tulisan tak dilakukan dengan sempurna. Ada banyak kesalahan penulisan yang luput begitu saja. Gila! Aku pikir ini benar-benar gila - kegilaan yang pada akhirnya semakin meyakinkanku bahwa terkadang, kualitas memang tak sudi berjodoh dengan popularitas.


2.    Kitab Omong Kosong – Seno Gumira Ajidarma

Hal tersulit dalam membaca buku ini adalah melepaskan diri dari prasangka. Sejak awal – tepatnya sejak pertama kali membaca tulisan Seno - aku langsung menganggapnya sebagai laki-laki paling romantis seantero negeri. Lantas, tujuan awalku membaca buku ini bukan untuk menikmati romantisme. Jujur saja, sebelum membaca buku ini aku sedang muak-muaknya dengan romantisme – apapun bentuknya. Yang kutakutkan dan sebisa mungkin kuhindari adalah; menutup  buku dan menyimpannya kembali ke dalam rak karena muak. Menjadi satu dengan buku-buku yang aku putuskan untuk tidak kubaca sampai habis karena perasaan yang sama. Semacam perasaan yang di satu sisi menyadarkanku bahwa aku memang seorang pembaca yang buruk, karena tak bisa berjauh-jauhan dengan prasangka.

Namun pada akhirnya aku setuju kalau Seno tetaplah Seno. Ia menjadikan romantisme sebagai penyangga yang kokoh bagi keliaran dan absurditas imajinasi. Buku ini adalah Ramayana milik Seno. Ia sukses bermain-main dengan cerita pewayangan yang melegenda. Ia tak gagal dalam merangkai imajinasinya dengan relevansi historiografis. Namun di atas segalanya, pikirku, ia berhasil menertawakan apa-apa saja yang menjadi kebanggaan banyak orang.

Maneka adalah tokoh sentral dari Kitab Omong Kosong. Perempuan yang sedari kecil dititipkan oleh ayahnya di sebuah rumah bordir. Punggungnya telah berajah kuda semenjak lahir. Rajah yang diyakini banyak orang sebagai kutukan yang tak main-main. Sumber keonaran, biang kerok dari segala malapetaka. Setiap malam, kuda itu akan keluar dari punggung Maneka. Berlari ke seantero negeri dalam wujud Persembahan Kuda dari Kerajaan Ayodya yang dipimpin oleh Sri Rama.

Rasanya ingin menghajar Sri Rama, rasanya ingin menjambak rambutnya lalu meludahinya sampai mampus. Tentu saja ini adalah efek yang muncul saat membaca Sri Rama yang menjadi buah pikir dan khayal seorang Seno Gumira. Kontradiksi Sri Rama. Jika selama ini keberadaan Sri Rama dianggap sebagai keberadaan juruselamat yang akan memusnahkan semua kejahatan – dalam kitab ini, Sri Rama tak ubahnya pria pengecut, penuh prasangka buruk, gila kekuasaan dan labil yang rela melakukan apapun asalkan ia tetap terpandang sebagai raja. 

Keberhasilan Seno tak hanya melulu soal Sri Rama. Ia juga berhasil menciptakan Walmiki, sang pencerita Ramayana. Lucunya, Walmiki lah yang dihakimi oleh tokoh-tokoh ciptaannya. Satu persatu, tokoh-tokoh ciptaannya pamit, undur diri dari kisah Ramayana yang diceritakannya di sepanjang hidup.

Apa-apa yang digembar-gemborkan sebagai kebenaran, sejatinya ia adalah omong kosong belaka. Pikirku, ini yang menjadi gagasan utama Seno. Kebenaran tak butuh hiruk-pikuk, tak menjadi satu dengan hingar-bingar, ia adalah karib dari keheningan. Setidaknya, aku pikir, ini adalah kesimpulan yang aku tarik selesai membaca kisah Maneka dan Satya, laki-laki muda yang menolong Maneka dalam pelariannya. Mereka berdua memburu kitab yang diyakini sebagai sumber segala pengetahuan, yang bernama Kitab Omong Kosong yang terbagi menjadi lima bagian terpisah. Dunia Seperti Adanya Dunia, sebagai kitab pertama. Dunia dalam Pandangan Manusia dan Dunia yang Tidak Ada sebagai kitab kedua dan ketiga. Kitab keempat berjudul Mengadakan Dunia. Dan kita kelima, kitab yang paling menciutkan nyaliku adalah, Kitab Keheningan.

Seno menamparku. Ia bercerita tentang perjuangan dua anak manusia dalam mengejar ilmu pengetahuan, pikirku, tentu ini bertolak belakang dengan kecenderungan manusia yang lebih gemar mengejar pemuasan nafsu. Namun, ini bukan tamparan yang sebenarnya. Karena pada kenyataannya, ilmu pengetahuan itu pun tak jarang diperalat oleh nafsu. Ia meninggalkan elegansinya dan berubah menjadi perihal yang kampungan. Orang-orang menjadi sombong karena ilmu. Saling menghabisi karena dipenuhi nafsu untuk mencari ilmu, mereka pikir, dengan menjadi orang yang berilmu mereka akan sanggup menguasai apa yang ingin mereka kuasai. Dan bukankah kita juga seperti itu? Jika pada awalnya pengetahuan digunakan untuk saling menghidupi, belakangan justru digunakan untuk saling mematikan. Berdebat tentang lingkar otak, berseteru tentang siapa yang paling benar, merendahkan yang dianggap tak pintar, menyombongkan jam membaca – ya, hal-hal semacam itu.

Lantas, kata Seno dalam Kitab Omong Kosong, semuanya adalah omong kosong. Buat apa meributkan omong kosong belaka? Lebih baik menjadi hening, bukan diam – tapi, hening.


3.    Rahwana Putih – Sri Teddy Rusdy

Kata beberapa orang, aku ini Batak murtad. Lancar berbahasa Jawa – walau bukan kromo – tapi tak paham bahasa Batak. Menikmati masakan Jawa, tapi tak suka masakan Batak. Ditambah lagi, aku juga cenderung tertarik pewayangan. Ya, masa bodoh. Namanya juga pendapat. Nde’pikir karo mlaku ae.

Rahwana adalah tokoh pewayangan yang kerap digambarkan sebagai rajanya kegelapan. Ia begitu pekat, begitu kejam, begitu marah. Ia memiliki banyak wajah yang aku anggap sebagai potret-potret kejahatan. Kedurjanaannya begitu mutlak. Namun, buku ini adalah sebaliknya. Ia mengapresiasi Rahwana. Menggambarkan bagaimana sudut pandang Rahwana.

Dalam buku ini, Rahwana tak berjuang untuk membuktikan bahwa sebenarnya ia adalah sebentuk sosok yang putih. Ia tetap mengakui bahwa ia pribadi yang hitam. Ia tak takut menjadi hitam, ia teguh pada citra gelapnya lantas berkata demikian; “Tapi aku membawa kesetaraan pada kegelapanku, pada pekatku tak ada lagi rona kemunafikan. Aku legam tak bisa dirusak oleh warna apapun, baik duka maupun sesal.”

Rahwana adalah biang keonaran. Ia adalah sumber malapetaka. Kata orang-orang seperti itu. Namun di antara segala gonjang-ganjing argumentasi manusia, ia adalah penghayat kehidupan yang diberikan Pemberi Hidup. Katanya begini; “Sejarahku bukanlah rangkaian huuf-huruf yang tertulis atau susunan kata-kata yang tertutur tentang diriku. Sejarahku adalah gerak yang melintasi ruang dan waktu. Karena itu, segala tulisan dan tuturan tentang Prabu Rahwana bukanlah sejarah hidupku.”

Wajah Rahwana tak hanya satu. Semacam kemunafikan, kalau boleh mengira. Namun, perihal wajahnya yang tak hanya satu itu pun, ia berkata begini; “Wajah satu hanyalah selubung bagi manusia yang tak memiliki keberanian untuk menampakkan kesejatian wajahnya yang beragam.”Ah, siapa yang sebenarnya munafik?

Katanya, Rahwana tidak mencintai Shinta. Itu bukan cinta, tapi nafsu belaka. Ia tidak dibutakan oleh cinta, ia dibutakan oleh nafsu. Lantas menjadi gila, tamak dan tolol. Namun lagi-lagi ada yang berbeda, katanya seperti ini; “Pagi itu, sebagaimana pagi-pagi lainnya, Prabu Rahwana hanya berbekal cinta untuk menanyakan cinta kepada sang cinta.”

Pada dasarnya, membaca buku ini adalah kesenangan tersendiri buatku. Rasanya menyenangkan saat memiliki waktu untuk menjelajahi kejahatan yang diceritakan turun-temurun sebagai kejahatan yang sejahat-jahatnya. Dan di sepanjang penjelajahan itu aku pun menemukan kalau mungkin – ya, tentu saja mungkin, karena ini pun fiksi belaka – selama ini, kita saja yang merepotkan diri perihal kebaikan dan kejahatan. Lupa kalau sebaik-baiknya hal, ada juga jahatnya. Sejahat-jahat suatu hal, ada juga baiknya. Semacam mengiyakan perkataan Rahwana yang satu ini; “Akulah Sang Kegelapan, yang darinya lahir kesetaraan. Akulah Sang Kelam, yang memberi ruang bagi benderang untuk dipuja.”

Ya sudah, mati sajalah kau, Rama.
Read More

Saturday, April 12, 2014

Untuk Teman Virtual

Sebenarnya kalau dipikir-pikir, menulis hal semacam ini pasti akan menjadi kekonyolan tersendiri buatku. Bukan apa-apa, tapi aku pun tak berbeda jauh dengannya.

Namun aku melihat ke belakang. Yang sudah-sudah, yang dulu-dulu. Dan kalau mau jujur sekaligus picisan, aku benar-benar bersyukur. Dulu semuanya tak terkendali. Bila ditanya siapa yang salah, tentu aku yang tak bisa memegang kendali.

Cerita-cerita soal hidup di jalanan, tak punya tempat pulang, meminum sisa minuman bersoda berwadah McDonalds yang dipungut di pinggir jalan untuk menahan lapar, terdepak dari bangku kuliah, mengerjakan pekerjaan buruh kasar dari pagi sampai hampir dini hari demi bayaran yang tak seberapa bahkan ditunggak - semuanya tak pernah menjadi dongeng buatku.

Aku tak pernah bangga. Aku malu semalu-malunya, karena kalau aku bisa memegang kendali, aku pikir aku akan menjadi lebih terhormat di mata orang lain dan mataku sendiri.

Jadi, pagi ini seorang teman virtual sedikit mengeluh tentang tumpukan pekerjaannya. Keluhan yang serupa denganku beberapa waktu belakangan. Jadi aku paham rasanya. Namun lucunya, keluhannya membuatku sedikit iri.

Tapi sebetulnya, bukankah itu yang kita harapkan? Keluhan menjadi salah satu pertanda kalau semuanya berjalan normal. Bukannya mau membanding-membandingkan, merasa kuat atau bijaksana. Tapi rasa-rasanya, penyebab keluhan semacam ini lebih baik jika dibandingkan cerita-cerita dulu. 

Namun sekali lagi aku paham. Dia manusia, aku manusia, kita semua manusia.

Jadi, teman virtual, membangkanglah sekali-kali. Tak perlu menjadi berandal. Membangkanglah barang sebentar saja. Satu atau dua jam, satu atau dua hari. Karena waktu yang sebentar itu akan membuatmu rindu pada apa-apa yang menjadi biang keluhmu. 

Namun di atas segalanya, teman, ingat-ingatlah semua yang baik, semua yang manis, semua yang sedap didengar - nanti kamu akan menyadarinya sendiri kalau sebenarnya kita semua tak pernah kekurangan alasan untuk berbahagia.

Bandung, 12 April 2014
Read More

Sunday, March 16, 2014

Gerald

Honestly, I thought to write it in Bahasa, but I was pretty sure that it would be something cheesy. You know how much I hate anything cheesy, though if we took the bigger guts, we had to say that we were also being cheesy.

So, how's life? It has been a little bit long time since we didn't have our talk hours. Our lives have been hectic in their ways. That's fucked up, but who are we to always deny anything fucked up?

I suddenly think of that last September, when life threw its shits on us. When we got insane at what we faced. I remember the night when we finally talked about God and His plans on us. I just couldn't believe it, after our dirty-punk-weird talk, we decided to think of what God exactly wanted from us.

I think of some "what ifs". What if we didn't attend the same church? What if we didn't throw some comments on Facebook? What if we didn't go to different cities? What if we didn't decide to be friends?

Well, I guess that would be no this weird friendship story. I guess I wouldn't have a mate who sang me New Found Glory's Too Good to Be by phone, though it sounded a little bit - sorry - horrible. For God's sake, you have to admit that you don't have the brilliant voice.Then I guess I wouldn't have a man who emailed me a reminder to keep going to the church every Sunday. And maybe, I wouldn't read a tweet about how blessed yourself because of me. Yea, me. The fucked up me.

So, can I stop it before getting worse? Just take a really good care there. I miss you even more, I love you even bigger - as a mate, absolutely. I will never ever get crush on you, noted it.

Read More

Tuesday, February 18, 2014

Abang

Papa, aku punya seorang abang - tapi tak sedarah dengan kita. Ia tak pernah menendang-nendang perut mama dari dalam rahim yang ukurannya pun aku tak tahu. 

Aku bertanya macam-macam padanya, ia juga menjawab macam-macam. Kami bercerita ini dan itu, tertawa-tawa sambil sesekali mengisyaratkan kecewa pada sederet nama.

Papa, sudah lama aku tak berbicara dengan abang. Abang yang asli, yang sedarah dengan kita. Aku tak pernah rindu dia, besok-besok kami juga pasti bertemu. Sekarang kubiarkan saja dia sibuk dengan apa yang dikerjakannya. Toh, mau senyaring apapun suaraku juga tak akan didengarnya.

Sebentar lagi abang yang tak sedarah dengan kita itu akan punya anak kedua. Akan kubelikan buku dongeng, supaya nanti kalau sudah besar dia tak akan kaget mendengar omongan orang-orang yang tak ada habisnya. Supaya nanti kalau sudah besar matanya tak lagi mengerjap-ngerjap penuh harap pada kilau tawaran dunia.

Papa, berkenalanlah dulu dengan abangku yang satu ini. Meskipun tak memanggilmu "papa", tapi ia satu-satunya yang bilang; "Oalah, cepat sembuh ya," padaku.

Bandung, 18 Februari 2014
Read More

Saturday, February 15, 2014

60

Tadinya, aku juga tidak paham apa artinya 60. Angka 6 dan 0 yang diletakkan berdampingan, jadilah 60. 

Menurut numerologi yang entah apa maksud dan tujuannya, 60 itu berarti ibu dari segala angka. Angka yang berarti simbol dari prinsip mengemong, kepedulian. Katanya, 60 itu angka yang bekerja dan membangun, tugasnya menjaga harmoni.

Jenius-jenius teologi itu juga bilang kalau ada unsur manusia dalam 60. Angka 6 sering mereka terjemahkan sebagai angka manusia. Ingat ayat Alkitab kalau manusia diciptakan pada hari ke-6, bukan? Omongan mereka aku lanjutkan dengan melihat 0. 0 berarti kosong. Kata Tong Som Cong, kosong adalah berisi. Berarti 60 itu manusia kosong tapi ada isinya. Mungkin begini. Sejatinya, manusia itu tak ada apa-apanya, tapi bukan berarti ia tak bisa melakukan hal-hal yang bermakna.

Kalau ini omongan cendekia-cendekia Muslim. Kata mereka, saat berusia 60 tahun, Nabi Muhammad melaksanakan Haji Wada' yang disertai puluhan ribu umat Muslim dari entah berapa banyak suku dan kabilah yang telah memeluk Islam. Ia berangkat dari Madinah pada hari Sabtu tanggal 25 bulan Dzulqa'adah tahun ke-10 Hijriah. Aku pernah membaca kalau mereka meyakini bahwa tahun ini adalah tahun kemenangan Nabi Muhammad dan umat Muslim, pasalnya, di tahun ini mereka bisa melaksanakan ibadah haji dengan aman dan damai.

Astrologi Cina juga melihat peristiwa tadi lewat kacamatanya. Kalau tidak salah, ini bertepatan dengan tahun 631 Masehi, yang dalam kalender Cina berada dalam pengaruh shio kelinci berunsur logam emas. Mereka bilang dalam astrologi Cina, ini hanya terjadi dalam siklus 60 tahunan. Konon, orang akan memasuki tahun di mana shio dan unsurnya sama dengan shio dan unsur sewaktu mereka dilahirkan.  

Ah, membicarakan 60 saja sampai serumit itu. Dasar manusia-manusia kurang piknik! Itu istilah yang aku kenal dari Mas Zen, lengkapnya Zen Rachmat Sugito. Kamu tak perlu mengenalnya, dia hanya orang aneh yang mengingatkanku untuk selalu berpikir. Kurasa dia pun bukan orang yang menulis untuk dikenal di sana-sini. Mungkin di antara sekian banyak orang yang mengaku mengidolakan mendiang Pram, dia adalah bagian dari segelintir orang yang paham kalau seandainya mendiang Pram masih hidup - ia pun akan gulana sendiri melihat riuhnya gembar-gembor pengidolaan itu. Pram tak mau jadi idola, itu yang aku yakini. Tapi tunggu, sepertinya aku pun jadi kurang piknik.

Buatku, 60 itu sederhana saja. Ia memang angka biasa. Tapi terkadang hal-hal biasa juga jago dalam mengingatkan hal-hal tertentu.

Kamu tahu? Buatku, 60 itu berarti 15 tahun kita. Kita di sini tentu saja aku dan kamu. Aku yang membandel dan nekat melamar pekerjaan sebagai asisten manajer keuangan walau tak mahir menyembunyikan ke-4 tatoku. Aku dengan segala kedegilan yang tak mempedulikan "merokok membunuhmu". Aku yang menjadi tegar tengkuk tak mau berhenti menumpahkan kata demi kata di atas kertas - baik kertas secara harafiah, maupun kertas-kertas elektronik yang baru kelihatan wujudnya bila aku sudah mengisi paket internet bulanan. 

Tentang kamu, ya kamu. Kamu yang membuatku bertanya-tanya tentang apa yang sedang kamu terima sekarang, bahagia atau siksa. Hey, aku harap bukan kemungkinan yang terakhir. Kamu ya kamu, siapa lagi? Orang yang mengajariku tentang perasaan maha kurang ajar lagi memuakkan bernama rindu, yang teramat mahir membuat lidahku tak lagi terbiasa untuk mengucap kata "papa".

Ya sudah - bagaimanapun kamu sekarang - selamat jadi 60 tahun, Pa. Ternyata kamu dan Sócrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Oliveira dilahirkan pada tanggal yang benar-benar sama. Maaf karena aku tak menyimpan fotomu, maaf karena aku tak lulus kuliah.

Bandung, 19 Februari 2014




Read More
anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena