Saturday, November 3, 2012

The Passionate Alive Legend

“Playing and winning without sharing the emotion is nothing, but you and me, us, we did it all together.” (FIlippo Inzaghi, 2012)

Apakah kalian pernah memiliki seseorang yang mampu membuat kalian tersenyum hanya dengan melihatnya menjalani sesuatu? Mungkin hal tersebut tidak sefantastis nobel-nobel perdamaian yang dapat mengubah dunia, tidak semenggiurkan tumpukan kekayaan para milyader atau tidak semegah popularitas selebriti papan atas. Namun dengan melihatnya kalian sadar bahwa sesederhana apapun, hal tersebut adalah hal yang mengubah hidupnya. Hal yang membuat dia mampu menjalani hidup di atas rata-rata.

Dan ya, aku pernah melihatnya walaupun tidak mengenal dan belum pernah bertemu dengannya. But for God’s sake segala sesuatu yang ada di dalam diri pria ini membuatku gila! I don’t even understand how complicated God created this man for he simply amazed everyone who loves football – if one of you weren’t I bet you weren’t such a human. Tidak perlu berlembar-lembar halaman dan berpuluh-puluh paragraf untuk menceritakan segala sesuatu yang membuat dunia mengaguminya. Words can’t describe. Dia hidup untuk sepakbola. That’s the best thing about him.

 How has this man lived his passion up? (photo by: Chris Wright) 

Nama pria ini cukup sederhana, Filippo Inzaghi. Ya sesederhana itu, namun dunia memanggilnya Super Pippo. Kalian boleh bercerita tentang ketajamannya dalam mencetak gol dan selebrasinya yang meledak-ledak atau mungkin bersikap hiperbolis terhadap hal-hal yang menggelitik seputar kehidupan pribadi dan berbagai pesona yang dimilikinya (ah, to be honest he is as hot as hell!), tapi ada satu hal yang membuat dia benar-benar berbeda jika dibandingkan dengan sederet nama pesepakbola kelas wahid lainnya. Hal yang membuatnya tetap bersinar di tengah-tengah gencarnya regenerasi sepakbola dunia. Yep, lupakan sejenak soal insting dan kemampuannya dalam mencetak gol for something inside is more charming than it and I call that thing as passion. 

Sebutkan sejumlah nama pesepakbola yang kalian tahu dan aku berani bertaruh ada banyak nama yang memiliki kemampuan lebih hebat jika dibandingkan dengan apa yang dia miliki. The guy might as well have been born offside.”, seorang Sir Alex Ferguson bahkan pernah melempar joke semacam ini untuknya. Tidak perlu marah atau berang, terima saja karena ini memang benar. Namun lain soal kalau kalian berbicara soal passion. Passion adalah hal terbesar yang dimiliki seorang Inzaghi. Passion yang membuat dunia sepakbola menaruh hormat padanya dan passion’lah yang membuat cap legenda melekat pada dirinya. Piacenza, Leffe, Verona, Parma, Atalanta, Juventus dan AC Milan adalah sejumlah klub yang pernah mencicipi bagaimana luar biasanya berada dalam satu lapangan dengan seorang pesepakbola yang memilih untuk meledak-ledak di dalam passion daripada kontroversi.

 Pippo Inzaghi, one of real blessings for Milan 

 Entah Milanista macam apa yang sanggup melupakan apa yang terjadi pada tanggal 13 Mei 2012 lalu.  Malam itu Milan tidak melawan tim-tim raksasa  seperti Juventus atau rival sepanjang masa Inter Milan dan tidak ada pula gelar juara yang akan jatuh ke tangan Milan. Pertandingan itu memang hanya pertandingan melawan tim yang dipastikan akan mengecap rentetan laga Serie B musim ini. Namun apa yang terjadi pada malam itu membuktikan tentang kebenaran dari legenda seorang Pippo Inzaghi, kebenaran tentang legenda yang menceritakan rasa hausnya yang besar dalam mencetak gol. Bermain di menit-menit terakhir tidak membuat kibaran banner yang mengelu-elukan namanya di deretan tribun selatan San Siro menjadi sia-sia. Gol yang telah menjadi signature seorang Inzaghi sontak membuat pertandingan terhenti. Menit-menit akhir yang seharusnya diisi dengan perjuangan mati-matian kedua tim berganti dengan pemandangan yang sangat… ah entahlah, yang jelas that was the irreplaceable time.  Selebrasi dramatisnya yang meledak-ledak menimbulkan luapan emosi tersendiri bagi seluruh Milanisti. Kinda emotion that got me so speechless, to be honest I couldn’t even throw those “Oi oi oi, oi oi oi oi, Pippo Inzaghi segna per noi” chants that time. To hold some tears was really hard to do.

 To watch him warmed our hearts for we could see that what he did meant the life to him
Dan bersyukurlah karena Inzaghi bukan seorang yang egois, terlebih lagi bersyukurlah karena Inzaghi ternyata lahir untuk menjadi seorang Milanisti yang mendedikasikan hidupnya untuk tetap menjaga dan menambah rentetan sejarah dari klub yang pernah dibelanya selama lebih dari satu dekade. Dalam wawancaranya beberapa waktu lalu Pippo bahkan sempat menyatakan kalau dia berbeda dengan Del Piero. Del Piero bisa memakai jersey lain setelah bertahun-tahun merumput bersama Juventus, namun Pippo tidak. Jersey Milan adalah jersey terakhirnya. Dan yep, Inzaghi memutuskan untuk menjadi pelatih Allievi Nazionali. 

Call me hyperbolic, but to see his photos as a coach simply makes me and probably some Milanisti happy. Rasanya menyenangkan dan melegakan waktu mengetahui bahwa seorang Pippo pada akhirnya berusaha untuk membagi passion yang dia miliki kepada anak didiknya. Kharisma merupakan modal paling kuat yang dimiliki Inzaghi sebagai seorang pelatih. Dan what makes it outstanding, kharisma yang ada di dalam diri Inzaghi itu muncul karena setiap orang paham dan melihat kalau sepakbola adalah passion terbesarnya, kalau dia tidak pernah setengah-setengah dalam sepakbola. Pippo pernah menghabiskan malam-malamnya dengan menonton sejumlah rekaman video pertandingan Serie C. Bayangkan seorang striker dunia menghabiskan waktunya dengan melakukan hal semacam ini. Lewat tindakan sederhana yang bahkan mungkin dianggap bodoh oleh sebagian orang ini mungkin Pippo ingin membuktikan bahwa selalu ada hal yang bisa dipelajari dalam setiap pertandingan, sekecil apa pun itu.

 Wondering how they will be for they have a coach like Pippo

And what about to think something further now? Squad yang dilatihnya hanya tim junior, lebih junior dibandingkan dengan Primavera. Namun sadarkah kalau sebenarnya masa depan Milan dimulai dari squad ini?  Pippo pernah memberikan statement kalau dia tidak akan marah terhadap anak didiknya yang melakukan kesalahan passing, dia malah akan marah terhadap anak didiknya yang tidak serius dalam latihan dan hidup tidak sehat. Lewat perkataannya Pippo ingin memberikan pelajaran kalau karir seorang pesepakbola tidak hanya ditentukan oleh skill atau kehebatannya dalam bermain, tetapi above all ditentukan oleh mental dan attitude. Pippo juga menerapkan hal baru dalam squad yang cukup sederhana namun looks so effective. Dia mengajak mereka untuk makan siang bersama, tujuannya cuma satu; mempersatukan seluruh tim. Tim yang hebat tidak akan pernah lahir kalau di dalamnya tidak ada unity, bukan? Dan terlebih lagi di tengah-tengah maraknya isu penurunan wibawa seorang pelatih di mata squad, Pippo tetap berusaha menjadi pelatih yang dihormati tim asuhannya dengan menjadi seorang pelatih yang berani blak-blakan, dengan menjadi seorang pelatih yang dengan jujur mampu mengutarakan setiap hal positif dan negatif yang ada pada anak didiknya.

Bayangkan bagaimana jadinya squad muda ini nanti. Bayangkan kalau di masa depan akan ada Christian Maldini dan Di Molfetta yang bermain untuk Milan 1st team atau Vido dan Mastalli yang akan mencetak hattrick. Bayangkan akan seperti apa Milan nanti kalau sejak dini bibit-bibit unggul yang ada di tim junior bukan hanya mendapat didikan bagaimana bermain sepakbola yang benar tetapi juga dididik bagaimana menjadi pesepakbola yang living in their passion dan menjadi the real Milan sejak muda. 

In the end tidak berlebihan kalau banyak yang berharap bahwa lewat apa yang dikerjakannya sekarang, Pippo akan ikut memberikan pengaruh luar biasa bagi masa depan Milan. Karena bagaimana pun juga, untuk menjadi lebih baik Milan tidak butuh orang luar. Yang dibutuhkan Milan adalah mereka yang pernah hidup untuk Milan, mereka yang punya hati untuk Milan, mereka yang paham atas apa yang sesungguhnya dibutuhkan Milan and so far Pippo has been counted in it. Menjadi tim yang mandiri dan memiliki signature adalah pencapaian tersendiri bagi semua klub. Waktu orang-orang melihat Milan dan keberhasilannya, orang-orang juga akan melihat “Milanisti-Milanisti” yang bekerja di dalamnya, bukannya orang asing. And to be honest this is Milan that I miss.

Johan Cruyff pernah berbicara satu hal tentang Pippo, “He does not know how to play football… Just always turn out to be in the right place.” Another joke or mock? I don’t think so. Mungkin memang benar masih banyak pesepakbola yang lebih paham cara bermain sepakbola dibandingkan dengan Pippo atau mungkin sebagian orang menganggapnya tidak bisa bermain sepakbola. Tetapi satu hal yang perlu digarisbawahi, sepakbola menjadi tempat yang tepat bagi seorang Pippo dan dia sudah membuktikan dan masih belum berhenti membuktikannya. Ah whatever they said Pippo, I mean Mister Pippo – above all you are that Milan for real. Grande Super Pippo!


PS: this writing has also been published on tribunselatansansiro.blogspot.com

2 comments:

anggityamarini. Powered by Blogger.

© Bittersweet Footy Script, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena