Apakah kalian pernah memiliki seseorang yang mampu membuat kalian
tersenyum hanya dengan melihatnya menjalani sesuatu? Mungkin hal tersebut tidak
sefantastis nobel-nobel perdamaian yang dapat mengubah dunia, tidak
semenggiurkan tumpukan kekayaan para milyader atau tidak semegah popularitas
selebriti papan atas. Namun dengan melihatnya kalian sadar bahwa sesederhana
apapun, hal tersebut adalah hal yang mengubah hidupnya. Hal yang membuat dia
mampu menjalani hidup di atas rata-rata.
Dan ya, aku pernah melihatnya walaupun tidak mengenal dan belum pernah
bertemu dengannya. But for God’s sake segala
sesuatu yang ada di dalam diri pria ini membuatku gila! I don’t even understand how complicated God created this man for he
simply amazed everyone who loves football – if one of you weren’t I bet you
weren’t such a human. Tidak perlu berlembar-lembar halaman dan
berpuluh-puluh paragraf untuk menceritakan segala sesuatu yang membuat dunia
mengaguminya. Words can’t describe.
Dia hidup untuk sepakbola. That’s the
best thing about him.
How has this man lived his
passion up? (photo by: Chris Wright)
Nama pria ini cukup sederhana, Filippo Inzaghi. Ya sesederhana itu,
namun dunia memanggilnya Super Pippo. Kalian boleh bercerita tentang
ketajamannya dalam mencetak gol dan selebrasinya yang meledak-ledak atau
mungkin bersikap hiperbolis terhadap hal-hal yang menggelitik seputar kehidupan
pribadi dan berbagai pesona yang dimilikinya (ah, to be honest he is as hot as
hell!), tapi ada satu hal yang membuat dia benar-benar berbeda jika
dibandingkan dengan sederet nama pesepakbola kelas wahid lainnya. Hal yang
membuatnya tetap bersinar di tengah-tengah gencarnya regenerasi sepakbola
dunia. Yep, lupakan sejenak soal insting dan kemampuannya dalam mencetak gol for something inside is more charming than
it and I call that thing as passion.
Sebutkan sejumlah nama pesepakbola yang kalian tahu dan aku berani
bertaruh ada banyak nama yang memiliki kemampuan lebih hebat jika dibandingkan
dengan apa yang dia miliki. “The guy might as well have been born offside.”, seorang Sir
Alex Ferguson bahkan pernah melempar joke
semacam ini untuknya. Tidak perlu marah atau berang, terima saja karena ini
memang benar. Namun lain soal kalau kalian berbicara soal passion. Passion adalah
hal terbesar yang dimiliki seorang Inzaghi. Passion
yang membuat dunia sepakbola menaruh hormat padanya dan passion’lah yang membuat cap legenda melekat pada dirinya.
Piacenza, Leffe, Verona, Parma, Atalanta, Juventus dan AC Milan adalah sejumlah
klub yang pernah mencicipi bagaimana luar biasanya berada dalam satu lapangan
dengan seorang pesepakbola yang memilih untuk meledak-ledak di dalam passion daripada kontroversi.
Pippo Inzaghi, one of real blessings for Milan
Entah Milanista
macam apa yang sanggup melupakan apa yang terjadi pada tanggal 13 Mei 2012
lalu. Malam itu Milan tidak melawan
tim-tim raksasa seperti Juventus atau
rival sepanjang masa Inter Milan dan tidak ada pula gelar juara yang akan jatuh
ke tangan Milan. Pertandingan itu memang hanya pertandingan melawan tim yang
dipastikan akan mengecap rentetan laga Serie B musim ini. Namun apa yang terjadi
pada malam itu membuktikan tentang kebenaran dari legenda seorang Pippo
Inzaghi, kebenaran tentang legenda yang menceritakan rasa hausnya yang besar
dalam mencetak gol. Bermain di menit-menit terakhir tidak membuat kibaran banner yang mengelu-elukan namanya di
deretan tribun selatan San Siro menjadi sia-sia. Gol yang telah menjadi signature seorang Inzaghi sontak membuat
pertandingan terhenti. Menit-menit akhir yang seharusnya diisi dengan
perjuangan mati-matian kedua tim berganti dengan pemandangan yang sangat… ah
entahlah, yang jelas that was the
irreplaceable time. Selebrasi
dramatisnya yang meledak-ledak menimbulkan luapan emosi tersendiri bagi seluruh
Milanisti. Kinda emotion that got me so
speechless, to be honest I couldn’t even throw those “Oi oi oi, oi oi oi oi, Pippo Inzaghi segna per noi” chants that time.
To hold some tears was really hard to do.
To watch him warmed our hearts for we could see that
what he did meant the life to him
Dan bersyukurlah karena Inzaghi bukan seorang yang egois, terlebih lagi
bersyukurlah karena Inzaghi ternyata lahir untuk menjadi seorang Milanisti yang
mendedikasikan hidupnya untuk tetap menjaga dan menambah rentetan sejarah dari
klub yang pernah dibelanya selama lebih dari satu dekade. Dalam wawancaranya
beberapa waktu lalu Pippo bahkan sempat menyatakan kalau dia berbeda dengan Del
Piero. Del Piero bisa memakai jersey lain setelah bertahun-tahun merumput
bersama Juventus, namun Pippo tidak. Jersey Milan adalah jersey terakhirnya.
Dan yep, Inzaghi memutuskan untuk menjadi pelatih Allievi Nazionali.
Call me hyperbolic, but to see his photos as a coach simply makes me
and probably some Milanisti happy. Rasanya menyenangkan dan melegakan waktu
mengetahui bahwa seorang Pippo pada akhirnya berusaha untuk membagi passion yang dia miliki kepada anak
didiknya. Kharisma merupakan modal paling kuat yang dimiliki Inzaghi sebagai
seorang pelatih. Dan what makes it
outstanding, kharisma yang ada di dalam diri Inzaghi itu muncul karena
setiap orang paham dan melihat kalau sepakbola adalah passion terbesarnya, kalau dia tidak pernah setengah-setengah dalam
sepakbola. Pippo pernah menghabiskan malam-malamnya dengan menonton sejumlah
rekaman video pertandingan Serie C. Bayangkan seorang striker dunia menghabiskan waktunya dengan melakukan hal semacam
ini. Lewat tindakan sederhana yang bahkan mungkin dianggap bodoh oleh sebagian
orang ini mungkin Pippo ingin membuktikan bahwa selalu ada hal yang bisa
dipelajari dalam setiap pertandingan, sekecil apa pun itu.
Wondering how they will be for they have a coach like
Pippo
And what about to think something further now? Squad yang dilatihnya hanya tim junior, lebih junior dibandingkan dengan Primavera. Namun sadarkah kalau sebenarnya masa depan Milan dimulai dari squad ini? Pippo pernah memberikan statement kalau dia tidak akan marah terhadap anak didiknya yang melakukan kesalahan passing, dia malah akan marah terhadap anak didiknya yang tidak serius dalam latihan dan hidup tidak sehat. Lewat perkataannya Pippo ingin memberikan pelajaran kalau karir seorang pesepakbola tidak hanya ditentukan oleh skill atau kehebatannya dalam bermain, tetapi above all ditentukan oleh mental dan attitude. Pippo juga menerapkan hal baru dalam squad yang cukup sederhana namun looks so effective. Dia mengajak mereka untuk makan siang bersama, tujuannya cuma satu; mempersatukan seluruh tim. Tim yang hebat tidak akan pernah lahir kalau di dalamnya tidak ada unity, bukan? Dan terlebih lagi di tengah-tengah maraknya isu penurunan wibawa seorang pelatih di mata squad, Pippo tetap berusaha menjadi pelatih yang dihormati tim asuhannya dengan menjadi seorang pelatih yang berani blak-blakan, dengan menjadi seorang pelatih yang dengan jujur mampu mengutarakan setiap hal positif dan negatif yang ada pada anak didiknya.
Bayangkan bagaimana jadinya squad muda ini nanti. Bayangkan kalau di masa depan akan ada Christian Maldini dan Di Molfetta yang bermain untuk Milan 1st team atau Vido dan Mastalli yang akan mencetak hattrick. Bayangkan akan seperti apa Milan nanti kalau sejak dini bibit-bibit unggul yang ada di tim junior bukan hanya mendapat didikan bagaimana bermain sepakbola yang benar tetapi juga dididik bagaimana menjadi pesepakbola yang living in their passion dan menjadi the real Milan sejak muda.
In the end tidak berlebihan kalau banyak yang berharap bahwa lewat apa yang dikerjakannya sekarang, Pippo akan ikut memberikan pengaruh luar biasa bagi masa depan Milan. Karena bagaimana pun juga, untuk menjadi lebih baik Milan tidak butuh orang luar. Yang dibutuhkan Milan adalah mereka yang pernah hidup untuk Milan, mereka yang punya hati untuk Milan, mereka yang paham atas apa yang sesungguhnya dibutuhkan Milan and so far Pippo has been counted in it. Menjadi tim yang mandiri dan memiliki signature adalah pencapaian tersendiri bagi semua klub. Waktu orang-orang melihat Milan dan keberhasilannya, orang-orang juga akan melihat “Milanisti-Milanisti” yang bekerja di dalamnya, bukannya orang asing. And to be honest this is Milan that I miss.
Johan Cruyff pernah berbicara satu hal tentang Pippo, “He does not know how to play football… Just always turn out to be in the right place.” Another joke or mock? I don’t think so. Mungkin memang benar masih banyak pesepakbola yang lebih paham cara bermain sepakbola dibandingkan dengan Pippo atau mungkin sebagian orang menganggapnya tidak bisa bermain sepakbola. Tetapi satu hal yang perlu digarisbawahi, sepakbola menjadi tempat yang tepat bagi seorang Pippo dan dia sudah membuktikan dan masih belum berhenti membuktikannya. Ah whatever they said Pippo, I mean Mister Pippo – above all you are that Milan for real. Grande Super Pippo!
PS: this writing has also been published
on tribunselatansansiro.blogspot.com
sumpah keren banget
ReplyDeleteTerima kasih sudah membacaaaa :)
ReplyDelete