“The question is: Kamu pernah nyinyirin orang di Twitter
ga? Tapi ga perlu dijawab, masih pagi. Have a great day, Angitya.. :)” (A virtual friend, October 2012)
Dan ternyata
memang benar kalau saat mencintai sesuatu kita tidak akan hanya menerima
hal-hal yang menyenangkan, hal-hal manis yang membuat kita merasa beruntung
mampu mencintai hal tersebut. Kadang ada hal-hal memuakkan yang harus kita
telan mentah-mentah. Dan anehnya, kalau kita berani untuk tidak hanya membuka
hati tetapi juga logika, semuanya akan kembali pada satu pelajaran yang paling
kita butuhkan. Ya, terkadang hal yang paling kita butuhkan adalah hal yang
sangat memuakkan. Hal-hal yang membuat kita sadar kalau terkadang kita
mencintai dengan cara yang salah.
Hari ini aku mengalaminya.
Tepat setelah menyaksikan salah satu laga paling menyeramkan yang menurutku
pernah terjadi. Mungkin terdengar berlebihan, tapi 3 kali pergantian formasi
dalam satu pertandingan membuatku yakin kalau that was horrible enough. Tapi sudahlah, aku tidak akan membahas
apa yang terjadi selama pertandingan itu. Pertandingan yang jujur membuatku
semakin paham kalau siapapun yang ada di lapangan Renzo Barbera tadi malam,
mereka adalah orang-orang hebat. Orang-orang yang mampu menjalani hal-hal
paling absurd sekalipun.
Dan ya aku
mencintai Milan.
Aku mencintai Milan
lebih dari sekumpulan perempuan yang tergila-gila dengan ketampanan sejumlah bintang
lapangan yang tergabung di dalamnya. Aku mencintai Milan lebih dari sekumpulan perempuan yang
memaksakan diri untuk berbicara dan menonton sepakbola hanya untuk mencari
perhatian sejumlah laki-laki. Milan just gave me one different thing. I found
some priceless people in my ridiculous Milan
madness even though I haven’t met a lot of them yet. I love them, I even
respect them. Dan hal terakhir inilah yang mungkin membuatku berangsur subjektif.
Sebuah fanatisme yang membuahkan konsep berpikir yang pada akhirnya berujung
pada subjektivitas yang terlihat normal namun tak benar. Dan fanatisme yang
sama pulalah yang sering kali berubah menjadi tameng untuk melindungi
orang-orang tadi, orang-orang yang memang tidak bermakna biasa buatku.
Rasanya menggelikan waktu mengingat kembali apa yang sudah terjadi. Waktu aku berbicara pada satu orang bagaimana memuakkannya menghadapi mereka yang tak bisa menikmati debat dan diskusi, bagaimana menjijikkannya ketika mengetahui bahwa perbedaan konsep berpikir justru menimbulkan sindiran-sindiran yang menusuk dari belakang. Dan ya, aku bilang padanya kalau aku benci hal ini. Membenci, apapun alasannya, bukan hal baik tapi ini bukan yang terburuk. Karena yang terburuk adalah kenyataan kalau sedikit demi sedikit aku justru berubah menjadi orang yang aku benci, karena pada akhirnya aku menggunakan fanatisme yang aku agung-agungkan sebagai senjata untuk membela diri dari nurani sendiri, bukan sindiran orang lain dengan konsep berpikir yang tak sejalan.
Rasanya menggelikan waktu mengingat kembali apa yang sudah terjadi. Waktu aku berbicara pada satu orang bagaimana memuakkannya menghadapi mereka yang tak bisa menikmati debat dan diskusi, bagaimana menjijikkannya ketika mengetahui bahwa perbedaan konsep berpikir justru menimbulkan sindiran-sindiran yang menusuk dari belakang. Dan ya, aku bilang padanya kalau aku benci hal ini. Membenci, apapun alasannya, bukan hal baik tapi ini bukan yang terburuk. Karena yang terburuk adalah kenyataan kalau sedikit demi sedikit aku justru berubah menjadi orang yang aku benci, karena pada akhirnya aku menggunakan fanatisme yang aku agung-agungkan sebagai senjata untuk membela diri dari nurani sendiri, bukan sindiran orang lain dengan konsep berpikir yang tak sejalan.
Menikmati
pembelaan diri itu memang menyenangkan. Rasanya nyaman tapi sejujurnya tak
pernah aman. Dan tadi pagi aku hanya berkicau seperti biasa. Mencoba beradu argumen
dengan seseorang yang kuakui memang hebat. Apa yang aku temukan di akun sosial
medianya cukup membuatku yakin kalau dia hebat. Tapi hei, dia alasan kenapa aku
berubah menjadi orang yang aku benci. I
counted him as a sucker for he was dealing with the priceless one who I found.
Iya, dia orang yang aku tusuk dari belakang dengan sindiran. Halus memang,
mungkin tak seberapa jika dibandingkan dengan yang lain tapi tetap saja dari
belakang. Tak adil. Pengecut. Argumen tadi aku akhiri dengan kalimat klasik “Just argued, no hurt feelings”. Tapi
kalau boleh jujur, ini memuakkan. Rasanya seperti menelan muntah sendiri karena
pada dasarnya aku sempat tak jujur. Kata orang-orang, munafik.
Tidak ada yang
salah dengan fanatisme yang berujung pada perbedaan konsep berpikir. Yang salah
waktu kita menjadi munafik dengan alasan fanatisme. Sepertinya Milan memang
gila. Aku menemukan hal-hal yang mungkin tidak akan aku temukan kalau aku
mencintai klub lain, bukan Milan.
Mungkin terdengar konyol, tapi terkadang hal konyol juga bagian dari kebenaran.
Dan ya kamu, maaf dan terimakasih. Kamu orang hebat dan aku sudah belajar dari
orang hebat.
PS: That’s
Anggitya, not Angitya.
0 comments:
Post a Comment