Pada awalnya revolusi industri dan filsafat pencerahan. Pada awalnya kedua hal ini diyakini sebagai awal dari era modern melalui lahirnya konsep-konsep sekularisasi, humanisme dan kebebasan. Semacam usaha manusia untuk mengalahkan berbagai ketakutan serta menegakkan kedaulatannya atas alam dan masyarakat. Ilmu pengetahuan dan teknologi pun diciptakan untuk mempermudah manusia, namun entah bagaimana proses detailnya – keadaan ini mulai berbalik. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak lagi mempermudah namun justru menjadi komponen vital pengendali manusia.
Revolusi industri yang pada
awalnya diharapkan dapat membantu mengalahkan ketakutan akibat ketidakpastian
kehidupan tradisional justru melahirkan efek bumerang bagi masyarakat sendiri.
Layaknya euphoria yang meledak-ledak, pada saat itu Eropa mengalami pertumbuhan
industri besar-besaran. Perubahan dalam hal ini tentu saja bukan hanya tentang
pergeseran siklus kehidupan dari tradisional yang benar-benar bergantung kepada
alam menuju modernisasi yang bergantung pada industrialisasi, tetapi juga
berbicara tentang perubahan perilaku dan kesadaran manusia.
Aku bukan orang yang menentang
industrialisasi. Menentang secara membabi-buta tanpa mengikutsertakan logika
sama saja dengan menjadi naif. Dan tampaknya hidup juga mengajariku bahwa
kenaifan bukanlah sesuatu yang pantas untuknya. Apa yang membuatku muak walau
tak mampu sepenuhnya mengelak adalah industrialisasi yang pada akhirnya
melahirkan fetisisme komoditas yang tentu saja berujung pada alienasi. Tentang
sebuah kultur pendewaan komoditas yang menjadi penyebab keterasingan produksi atau
buah karya manusia.
Rasa muak itu pada akhirnya menyentuh titik klimaks saat fenomena fetisisme komoditas juga menyentuh hal-hal yang aku anggap sakral. Fetisisme pada kenyataannya mengubah segala pola pikir, spiritual, adat kebiasaan, pengalaman estetis, cara hidup, keyakinan-keyakinan individu atau masyarakat melalui persinggungannya dengan nilai-nilai budaya dan estetika. Musik, contohnya. Kalau kata Theodore Adorno, “Kekuatan ideologi industri budaya sudah sedemikian rupa hingga konformitas (keseragaman) menggantikan kesadaran.”
Aku tidak lahir dan tumbuh dalam
keluarga ataupun lingkungan yang menyukai seni. Sepanjang yang aku ketahui,
kedua orang tua’ku menjalani hidupnya dengan sangat serius. Aku tak pernah
paham tentang musik yang menjadi kesukaan papa, aku tidak pernah diberitahu
tentang siapa penyanyi favorit mama. Yang aku sadari, aku tidak pernah menjadi
anak yang penurut. Hidup dalam idealisme yang mungkin menurut orang lain tidak
wajar. Ada rasa muak saat aku dipaksa untuk menjalani hal-hal yang seragam.
Bukannya membangkang, namun aku terlalu percaya kalau idealisme bukan
keangkuhan. Bahwa idealisme adalah keteguhan untuk menjadi aku yang sebenar-benarnya.
Sepanjang hidup, aku membutuhkan
perbedaan. Aku tidak mau melahap bacaan chick-lit ala remaja, aku tidak mau
tenggelam dalam khayalan yang disuguh-suguhkan sejumlah drama komedi dan
terlebih lagi aku tidak mau terhanyut dalam romantisme yang sama.
Entah apa yang ada di dalam pikiranku kira-kira lima atau enam tahun yang lalu. Yang jelas aku hanya menurut sewaktu intuisi memintaku untuk mendengar hal yang belum aku dengar sebelumnya. Sebagian orang menyebut hal itu Nothing Else Matters, sebagian lagi menyebutnya karya Metallica, sebagian lagi menyebutnya wujud penyembahan setan, sebagian lagi menyebutnya sebagai kebisingan. Awalnya aku datang tanpa persepsi apalagi ekspektasi. Namun lama kelamaan lagu itu tidak melulu berbicara soal alunan melodi enam menit tiga puluh detik. Lagu itu pada akhirnya tumbuh dengan berbagai makna – yang jujur, termasuk sulit untuk aku jabarkan. Aku tidak terlalu paham dengan musikalisasi, yang jelas saat enam menit tiga puluh detik itu berlangsung – aku tidak lagi merasa seperti penikmat musik yang duduk diam atau berjingkrak dalam irama. Entah bagaimana caranya, yang jelas atmosfer enam menit tiga puluh detik itu menjadi sangat nyata, senyata kekonyolan romantisme pertama yang aku alami di bangku kuliah, senyata cemooh mereka yang tak setuju dengan idealisme yang menjadi buah pikirku, senyata kejutan-kejutan yang diberikan oleh hidup tanpa henti.
Metallica tak pernah menjadi satu-satunya soundtrack buatku. Ada begitu banyak nama dan ada satu yang terbesar. Dan mungkin jika dibandingkan dengan yang lain, pengagumanku akan segala sesuatu yang datang dari Metallica begitu terlambat. Salahkan aku yang memang kurang peka terhadap keajaiban mereka. Namun satu hal yang aku paham, Nothing Else Matters datang sebagai antidot atas keseragaman romantisme yang ditawarkan dunia dengan industri musiknya. Romantisme yang kalau boleh jujur telah direkayasa oleh fetisisme komoditas industri yang memuakkan. Mungkin Metallica belum pernah menyentuh sisi humanisku yang terdalam, namun lewat kegaharan dan kebisingannya – mereka dan musiknyalah yang mampu membawaku ke dalam romantisme yang tak meninggalkan hakikatnya untuk terbebas dari hingar-bingar fetisisme.
I'm on anggityamarini@gmail.com and @marinisaragih.
0 comments:
Post a Comment