Mereka itu teman-temanku, tapi kau diam saja.
Jangan bilang orang lain, nanti mereka berkhotbah
sampai mulutnya berbusa-busa. Capek aku mendengarnya.
Kata mama, dulu papa mati karena teman-temanku itu.
Lalu dia menangis meraung-raung,
tak berhenti-berhenti sampai dua tahun.
Setiap sore aku bersama mereka.
Kami diam saja; tanpa suara.
Buat apa bersuara? Toh, mereka pun tahu kalau suaraku sumbang.
Yang aku lihat, suara itu hanya milk yang rupawan.
Kalau aku yang bersuara, nanti bakal diarak lagi keliling kampung,
seperti orang gila. Sudah dihina, dilempari pula.
Cih.
Sebentar lagi pukul lima, kau pulang sajalah.
Teman-temanku...
Friday, January 31, 2014
Sunday, January 26, 2014
Menulis yang Kamu Sampaikan
"Biarkan sejarawan mereka yang menulis, kalau aku yang menulis,
terkesan bukan ranahnya. Itu saja.”
Kalimat ini muncul pada fitur
pesan singkat ponselku. Nama pengirimnya namamu. Kubaca sekali dua kali,
kututup fiturnya. Kubuka, kubaca tiga empat kali. Kututup. Begitu selama lima
sampai enam menit. Di menit ketujuh dan delapan aku mencoba mempersetankannya,
tapi gagal. Jadi kuputuskan untuk menyimpan pesanmu itu. Di tempat tersembunyi,
supaya tak terbaca orang lain. Tapi kalau dipikir-pikir, dibaca orang lain pun
tak apa-apa. Toh, mereka tak tahu siapa namamu. Toh, mereka tak paham seperti
apa kamu...
Tuesday, January 21, 2014
Kopi dan Yang Terpenting

Aku ingat cerita sekitar empat
belas tahun lalu. Waktu itu aku masih bersekolah di kelas satu sekolah menengah
pertama. Mendiang papa memintaku untuk membuatkannya kopi sebagai sajian pulang
kerja. Aku menurut saja, tanpa memperdulikan takaran seberapa banyak kopi,
seberapa banyak gulanya. Bukannya tak pernah mempertanyakan seberapa manis atau
seberapa kental kopi yang menjadi seleranya. Katanya, ia tidak peduli dengan
hal-hal semacam itu. Buatnya yang terpenting, kopi itu tidak diseduh - tapi
direbus bersamaan airnya. Kata papa, rasanya...
Sunday, January 12, 2014
Kalau Bisa, Aku Mau Menjadi Rumah Saja
Kalau bisa, aku mau menjadi rumah saja. Supaya kamu punya tempat untuk berteduh.
Yang menaungimu dari panasnya hiruk-pikuk dunia dewasa. Kalaupun mereka menghujanimu dengan sumpah-serapah, kamu tak perlu bergegas mencari payung. Ada atap yang akan menjagamu dari kuyup. Tunggu saja sampai reda. Supaya tak kedinginan, jangan lupa teguk kopi panasmu.
Kalau bisa, aku mau menjadi rumah saja. Supaya kamu punya tempat untuk tertawa-tawa.
Hidup ini lucu, bukan? Apalagi Tuhan gemar berkelakar. Saat orang-orang menghardik tawamu, tertawa saja di sini. Yang keras, terbahak-bahak sampai sakit perut. Tak akan ada tetangga...
Saturday, January 11, 2014
Buat Si Pengirim Kopi
Mungkin kamu menganggapku sebagai salah satu manusia paling labil yang belum pernah kamu temui. Benar-benar belum pernah, bukan? Toh, secara harafiah kita memang belum pernah bertemu.
Mempertanyakan ini, mempertanyakan itu. Mengambil keputusan ini, lantas berpikir dan mengubahnya. Ada kenaifan yang mungkin kamu lihat lahir akibat dangkalnya pemahaman. Tapi, semakin dewasa, yang bertambah banyak bukan hanya flek hitam pada wajah yang memang hampir tak pernah aku gubris ini. Tanda tanya juga semakin banyak. Dan semakin dewasa, rasa-rasanya aku tak lagi pantas untuk abai pada tanda tanya tadi. Harus segera menggantinya menjadi...
Saturday, January 4, 2014
Kataku, Ini Sabtu Malam yang Memuakkan
Bagaimana Sabtu malammu? Menyenangkan? Ada berapa banyak kalimat yang kau baca hari ini? Seberapa kaku perutmu akibat terpingkal-pingkal dengan mereka yang menjadi karibmu? Apakah hari ini biasa saja untukmu? Berapa jam yang kau habiskan untuk berpikir tentang cara terbaik menghabiskan hari ini? Berapa kali kau mengganti saluran televisi karena tak ada satupun tayangan yang sanggup mengusir bosanmu? Atau jangan-jangan kau sama sepertiku yang hari ini merasa muak?
Kau tahu? Aku muak hari ini. Oh, tenang saja. Ini bukan karena tanpa laki-laki atau hal-hal semacam itu. Sampai malam ini aku masih mempersetankannya. Aku muak...
Subscribe to:
Posts (Atom)
anggityamarini. Powered by Blogger.