Tidak semuanya buku baru, bahkan di antaranya ada beberapa yang kubaca ulang. Sekadar rindu sambil sedikit menguji apakah pendapat pertama sama dengan yang kedua. Jadi, ini adalah tiga yang pertama dari sembilan buku yang belakangan aku selesaikan – selesai kubaca tentunya - nanti, kapan-kapan, akan kutulis sendiri bukuku.
1. Lorca: Memoar Penjahat Tak Dikenal – Sihar Ramses Simatupang
Kata mendiang Pram tentang buku ini; “Berbobot! Karena isinya sarat dengan kejadian, tidak mengada-ada. Bobotnya pada perjalanan pribadi, tidak kosong, belajar pada lingkungan hidup. Juga tidak menarik kesimpulan sembarangan!”
Jujur saja, kalimat mendiang Pram ini yang mendorongku untuk membeli buku yang satu ini saat menghadiri bazar buku di Perpustakaan Kota Kediri. Waktu itu aku masih tinggal di Kediri. Demi apapun, aku rindu nasi pecalnya! Pikirku waktu itu; “Siapa Sihar ini?” Namanya pun belum pernah kudengar. Ah, dungunya.
Ia bercerita tentang Lorca dan mengambil latar kehidupan wilayah Indonesia Timur yang keras. Seperti berada di sarang mafia. Kehidupan yang tak lazim, yang pikirku hanya ada di film-film. Tunggu, tentu saja ini kisah fiksi.
Jadi, Lorca adalah laki-laki yang mungkin menjadi penjahat kelas kakap karena memang dididik untuk menjadi penjahat. Bukan didikan laiknya sekolah-sekolah formal. Ia dididik oleh keluarganya yang tak mau tahu dengan dia dan saudara-saudaranya, ia dididik oleh egosentris orang-orang. Yang penting dirinya sendiri, masa bodoh orang lain mau mati atau hidup. Pikirku, itu latar belakang psikologis yang ada dalam buku ini. Ada miris yang tak dibuat-buat saat membaca bagaimana Sihar menggambarkan tokoh Lorca. Namun di atas segalanya, ada semacam hal tak kasat mata yang membuatku mengutuki apapun yang aku anggap menggangguku waktu itu.
Bukannya berusaha menjadi satu dengan cerita di dalamnya. Ketahuilah, buatku kalau hal itu terjadi, aku pikir tak akan ada tindakan yang lebih hiperbolis jika dibandingkan dengannya. Namun perihal membaca, tak ada kenikmatan yang melebihi nikmatnya membaca buku dengan latar peristiwa yang mirip. Aku bilang mirip karena bukan bentuknya yang sama, tapi prinsip.
Jadi, aku ikut merutuk; “Mampus,” saat membaca bagaimana Lorca menghabisi nyawa sejumlah orang. “Jancuk,” saat membaca bagaimana Lorca meninggalkan mantan pengemis yang menjelma menjadi pelacur – perempuan yang sebenarnya menjadi cinta pertamanya waktu remaja. Aku ikut bergidik ngeri bercampur jijik saat membaca bagaimana Lorca dan pelacur tadi bersenggama, mempersetankan nanah, keringat dan apapun yang menjadi bagian dari diri mereka kala itu.
Jika salah seorang kritikus sastra meyakini bahwa novel ini adalah cerita tentang dunia maskulin, bagiku lebih dari itu. Buatku ini cerita tentang dunia manusia. Manusia yang sebenar-benarnya. Manusia yang terkadang memutuskan untuk menjadi keji karena tak mau lagi diperlakukan keji oleh hidup. Aku juga berpikir, jangan-jangan Lorca dan kehidupannya adalah potret nyata tentang secuil bagian dari yang disebut-sebut oleh mendiang Pram sebagai Bumi Manusia.
Mungkin nama-nama tokoh atau gambaran kejadian yang ada di dalamnya tak seperti yang kerap kita lihat di negeri ini. Tapi pikirku, inilah kelemahan imajinasi atau bahkan, kelemahan tulisan-tulisan populer yang belakangan menyerbu dunia sastra negeri ini.
Selayaknya karya fiksi, tentulah imajinasi berperan di dalamnya. Namun terpikirkankah oleh kita bahwa ada kejadian-kejadian yang memang tak tertangkap publikasi, yang tak tertulis dalam sejumlah karya?
Aku pikir Lorca adalah tentang hal-hal ini. Di satu sisi, ia membawaku kepada dunia imajinasi yang tak terpikirkan sebelumnya. Namun di sisi lain, ia begitu menyadarkanku dari rayuan dan nina bobo sastra-sastra populer. Karya-karya di mana penulislah yang dikendalikan oleh tokoh-tokoh yang diciptakannya. Mereka membiarkan diri saat tokoh-tokoh tadi memaksa mereka untuk menghindari absurditas. Mereka pasrah-pasrah saja saat digiring oleh hantu berwujud ketakutan tak ada yang mau membaca tulisan mereka.
Sebagai catatan, beberapa hari setelah membaca buku ini, aku berbincang secara virtual dengan Sihar. Aku memanggilnya dengan sebutan Bang Sihar. Dalam percakapan kami, dia sendiri terheran-heran mengapa aku bisa sampai membeli dan membaca buku ini. Pertanyaan yang justru membuatku tak kalah heran. Pikirku, mana ada penulis yang heran saat orang lain membaca karyanya. Ternyata, Bang Sihar mengaku kalau penerbitnya sendiri pun tak mempublikasikan buku ini. Tak niat, pikirku. Tak heran pula saat menyadari bahwa proses penyuntingan tulisan tak dilakukan dengan sempurna. Ada banyak kesalahan penulisan yang luput begitu saja. Gila! Aku pikir ini benar-benar gila - kegilaan yang pada akhirnya semakin meyakinkanku bahwa terkadang, kualitas memang tak sudi berjodoh dengan popularitas.
2. Kitab Omong Kosong – Seno Gumira Ajidarma
Hal tersulit dalam membaca buku ini adalah melepaskan diri dari prasangka. Sejak awal – tepatnya sejak pertama kali membaca tulisan Seno - aku langsung menganggapnya sebagai laki-laki paling romantis seantero negeri. Lantas, tujuan awalku membaca buku ini bukan untuk menikmati romantisme. Jujur saja, sebelum membaca buku ini aku sedang muak-muaknya dengan romantisme – apapun bentuknya. Yang kutakutkan dan sebisa mungkin kuhindari adalah; menutup buku dan menyimpannya kembali ke dalam rak karena muak. Menjadi satu dengan buku-buku yang aku putuskan untuk tidak kubaca sampai habis karena perasaan yang sama. Semacam perasaan yang di satu sisi menyadarkanku bahwa aku memang seorang pembaca yang buruk, karena tak bisa berjauh-jauhan dengan prasangka.
Namun pada akhirnya aku setuju kalau Seno tetaplah Seno. Ia menjadikan romantisme sebagai penyangga yang kokoh bagi keliaran dan absurditas imajinasi. Buku ini adalah Ramayana milik Seno. Ia sukses bermain-main dengan cerita pewayangan yang melegenda. Ia tak gagal dalam merangkai imajinasinya dengan relevansi historiografis. Namun di atas segalanya, pikirku, ia berhasil menertawakan apa-apa saja yang menjadi kebanggaan banyak orang.
Maneka adalah tokoh sentral dari Kitab Omong Kosong. Perempuan yang sedari kecil dititipkan oleh ayahnya di sebuah rumah bordir. Punggungnya telah berajah kuda semenjak lahir. Rajah yang diyakini banyak orang sebagai kutukan yang tak main-main. Sumber keonaran, biang kerok dari segala malapetaka. Setiap malam, kuda itu akan keluar dari punggung Maneka. Berlari ke seantero negeri dalam wujud Persembahan Kuda dari Kerajaan Ayodya yang dipimpin oleh Sri Rama.
Rasanya ingin menghajar Sri Rama, rasanya ingin menjambak rambutnya lalu meludahinya sampai mampus. Tentu saja ini adalah efek yang muncul saat membaca Sri Rama yang menjadi buah pikir dan khayal seorang Seno Gumira. Kontradiksi Sri Rama. Jika selama ini keberadaan Sri Rama dianggap sebagai keberadaan juruselamat yang akan memusnahkan semua kejahatan – dalam kitab ini, Sri Rama tak ubahnya pria pengecut, penuh prasangka buruk, gila kekuasaan dan labil yang rela melakukan apapun asalkan ia tetap terpandang sebagai raja.
Keberhasilan Seno tak hanya melulu soal Sri Rama. Ia juga berhasil menciptakan Walmiki, sang pencerita Ramayana. Lucunya, Walmiki lah yang dihakimi oleh tokoh-tokoh ciptaannya. Satu persatu, tokoh-tokoh ciptaannya pamit, undur diri dari kisah Ramayana yang diceritakannya di sepanjang hidup.
Apa-apa yang digembar-gemborkan sebagai kebenaran, sejatinya ia adalah omong kosong belaka. Pikirku, ini yang menjadi gagasan utama Seno. Kebenaran tak butuh hiruk-pikuk, tak menjadi satu dengan hingar-bingar, ia adalah karib dari keheningan. Setidaknya, aku pikir, ini adalah kesimpulan yang aku tarik selesai membaca kisah Maneka dan Satya, laki-laki muda yang menolong Maneka dalam pelariannya. Mereka berdua memburu kitab yang diyakini sebagai sumber segala pengetahuan, yang bernama Kitab Omong Kosong yang terbagi menjadi lima bagian terpisah. Dunia Seperti Adanya Dunia, sebagai kitab pertama. Dunia dalam Pandangan Manusia dan Dunia yang Tidak Ada sebagai kitab kedua dan ketiga. Kitab keempat berjudul Mengadakan Dunia. Dan kita kelima, kitab yang paling menciutkan nyaliku adalah, Kitab Keheningan.
Seno menamparku. Ia bercerita tentang perjuangan dua anak manusia dalam mengejar ilmu pengetahuan, pikirku, tentu ini bertolak belakang dengan kecenderungan manusia yang lebih gemar mengejar pemuasan nafsu. Namun, ini bukan tamparan yang sebenarnya. Karena pada kenyataannya, ilmu pengetahuan itu pun tak jarang diperalat oleh nafsu. Ia meninggalkan elegansinya dan berubah menjadi perihal yang kampungan. Orang-orang menjadi sombong karena ilmu. Saling menghabisi karena dipenuhi nafsu untuk mencari ilmu, mereka pikir, dengan menjadi orang yang berilmu mereka akan sanggup menguasai apa yang ingin mereka kuasai. Dan bukankah kita juga seperti itu? Jika pada awalnya pengetahuan digunakan untuk saling menghidupi, belakangan justru digunakan untuk saling mematikan. Berdebat tentang lingkar otak, berseteru tentang siapa yang paling benar, merendahkan yang dianggap tak pintar, menyombongkan jam membaca – ya, hal-hal semacam itu.
Lantas, kata Seno dalam Kitab Omong Kosong, semuanya adalah omong kosong. Buat apa meributkan omong kosong belaka? Lebih baik menjadi hening, bukan diam – tapi, hening.
3. Rahwana Putih – Sri Teddy Rusdy
Kata beberapa orang, aku ini Batak murtad. Lancar berbahasa Jawa – walau bukan kromo – tapi tak paham bahasa Batak. Menikmati masakan Jawa, tapi tak suka masakan Batak. Ditambah lagi, aku juga cenderung tertarik pewayangan. Ya, masa bodoh. Namanya juga pendapat. Nde’pikir karo mlaku ae.
Rahwana adalah tokoh pewayangan yang kerap digambarkan sebagai rajanya kegelapan. Ia begitu pekat, begitu kejam, begitu marah. Ia memiliki banyak wajah yang aku anggap sebagai potret-potret kejahatan. Kedurjanaannya begitu mutlak. Namun, buku ini adalah sebaliknya. Ia mengapresiasi Rahwana. Menggambarkan bagaimana sudut pandang Rahwana.
Dalam buku ini, Rahwana tak berjuang untuk membuktikan bahwa sebenarnya ia adalah sebentuk sosok yang putih. Ia tetap mengakui bahwa ia pribadi yang hitam. Ia tak takut menjadi hitam, ia teguh pada citra gelapnya lantas berkata demikian; “Tapi aku membawa kesetaraan pada kegelapanku, pada pekatku tak ada lagi rona kemunafikan. Aku legam tak bisa dirusak oleh warna apapun, baik duka maupun sesal.”
Rahwana adalah biang keonaran. Ia adalah sumber malapetaka. Kata orang-orang seperti itu. Namun di antara segala gonjang-ganjing argumentasi manusia, ia adalah penghayat kehidupan yang diberikan Pemberi Hidup. Katanya begini; “Sejarahku bukanlah rangkaian huuf-huruf yang tertulis atau susunan kata-kata yang tertutur tentang diriku. Sejarahku adalah gerak yang melintasi ruang dan waktu. Karena itu, segala tulisan dan tuturan tentang Prabu Rahwana bukanlah sejarah hidupku.”
Wajah Rahwana tak hanya satu. Semacam kemunafikan, kalau boleh mengira. Namun, perihal wajahnya yang tak hanya satu itu pun, ia berkata begini; “Wajah satu hanyalah selubung bagi manusia yang tak memiliki keberanian untuk menampakkan kesejatian wajahnya yang beragam.”Ah, siapa yang sebenarnya munafik?
Katanya, Rahwana tidak mencintai Shinta. Itu bukan cinta, tapi nafsu belaka. Ia tidak dibutakan oleh cinta, ia dibutakan oleh nafsu. Lantas menjadi gila, tamak dan tolol. Namun lagi-lagi ada yang berbeda, katanya seperti ini; “Pagi itu, sebagaimana pagi-pagi lainnya, Prabu Rahwana hanya berbekal cinta untuk menanyakan cinta kepada sang cinta.”
Pada dasarnya, membaca buku ini adalah kesenangan tersendiri buatku. Rasanya menyenangkan saat memiliki waktu untuk menjelajahi kejahatan yang diceritakan turun-temurun sebagai kejahatan yang sejahat-jahatnya. Dan di sepanjang penjelajahan itu aku pun menemukan kalau mungkin – ya, tentu saja mungkin, karena ini pun fiksi belaka – selama ini, kita saja yang merepotkan diri perihal kebaikan dan kejahatan. Lupa kalau sebaik-baiknya hal, ada juga jahatnya. Sejahat-jahat suatu hal, ada juga baiknya. Semacam mengiyakan perkataan Rahwana yang satu ini; “Akulah Sang Kegelapan, yang darinya lahir kesetaraan. Akulah Sang Kelam, yang memberi ruang bagi benderang untuk dipuja.”
Ya sudah, mati sajalah kau, Rama.